Tautan-tautan Akses

Ahli: Korea Utara Sangat Rentan terhadap Perubahan Iklim


Seorang pria berjalan di ladang jagung di Nampho, Korea Utara, pada bulan Juni 2015, saat apa yang disebut media sebagai "kekeringan terburuk dalam 100 tahun."
Seorang pria berjalan di ladang jagung di Nampho, Korea Utara, pada bulan Juni 2015, saat apa yang disebut media sebagai "kekeringan terburuk dalam 100 tahun."

Perubahan iklim global bisa berdampak serius terhadap Korea Utara karena bisa memperburuk masalah krisis pangan negara tersebut yang sudah kronis, seperti yang diperingatkan oleh para ahli dan organisasi internasional.

Menurut badan iklim dan cuaca Korea Utara, Hydro-Meteorological Service, suhu rata-rata tahunan negara itu telah bertambah 1.9 derajat celcius selama sepuluh tahun belakangan. Suhu udara di ibukota, Pyongyang, telah naik 1.6 derajat. Chunggang County, daerah yang memiliki suhu terdingin mengalami kenaikan yang serupa.

Kim Hyun-kyung, ahli meteorologi Badan Administrasi Meteorologi Korea Selatan, mengatakan Korea Utara lebih rentan terhadap perubahan iklim dibanding negara tetangga, Korea Selatan, karena lokasi georafis.

“Korea Utara akan lebih terkena dampak perubahan iklim karena lokasinya lebih dekat dengan sebuah benua dan di letak ketinggiannya melebihi Korea Selatan,” ujar Kim.

Menurut survei baru-baru ini yang dilakukan oleh Korea Environmental Institue (Badan Lingkungan Korea), badan pemerintah yang mempelajari kebijakan mengenai lingkungan, lebih dari 70 persen pembelot Korea Utara yang telah meninggalkan negara asalnya melaporkan pernah mengalami dampak perubahan iklim yang signifikan seperti udara panas, hujan deras dan musim dingin yang tidak menentu.

Pada awal bulan Agustus, banjir bandang yang dipicu hujan musiman melanda Korea Utara, berdampak kepada 22.000 orang dan 4.000 hektar tanah pertanian, berdasarkan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB. Pada bulan Juni, badan berita Korea Utara melaporkan Korea Utara mengalami kekeringan yang paling akut selama 100 tahun terakhir.

Produksi pangan di Korea Utara sering terhambat karena kekeringan dan banjir. Bulan lalu, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memprediksi Korea Utara akan memproduksi 3,7 juta ton beras dan jagung tahun ini, 14 persen penurunan dari tahun lalu yang diakibatkan oleh kekeringan. Badan PBB ini mengingatkan Korea Utara krisis pangan dapat memburuk tahun depan.

Para ahli di Seoul mengatakan kerusakan parah hutan dan infrastruktur yang buruk negara tersebut juga memperlemah kemampuan Korea Utara untuk mengatasi bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim

“Kemampuan untuk mengatasi dan menimalisasikan kerusakan akibat perubahan iklim adalah hal yang penting. Jika fasilitas drainase air atau penyimpanan air telah dipersiapkan, hujan deras tidak akan menyebabkan kerusakan parah,” ujar Myung Soo-jeong, peneliti dari Korea Enviromental Institue.

North Korea appears to be trying to address the situation. In a rare move, North Korean leader Kim Jong Un acknowledged the country’s weather forecasting technology is outdated and called for improvement during his field guidance trip to the Hydro-Meteorological Service last year. Kim said there have been many “incorrect forecasts as the meteorological observation has not been put on a modern and scientific basis,” according to the official Korean Central News Agency.

Korea Utara tampaknya berusaha untuk mengatasi situasi tersebut. Dalam sebuah kesempatan yang langka, pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengakui teknologi prakiraan cuaca negara itu sudah usang dan menyerukan perbaikan dalam kunjungannya ke Hydro-Meteorological Service tahun lalu.

Kim mengatakan ada banyak "prakiraan yang salah disebabkan teknologi pengamatan meteorologi yang belum moderen dan ilmiah," menurut Badan Pusat Berita Korea (KCNA).

Jee Abbey Lee bekontribusi untuk laporan ini, bersama dengan VOA Korea.

XS
SM
MD
LG