Tautan-tautan Akses

Staf VOA: Karlina Amkas - 2005-03-14


International Broadcaster ke tiga yang datang tahun lalu, tepatnya 25 Nopember 2004, adalah Karlina Amkas. Dunia radio merupakan dunia baru baginya. Namun, dunia jurnalistik, khususnya media cetak, telah ia geluti selama hampir 20 tahun, dimulai dari majalah kampus hingga ke harian ibukota.

Ketika ditanya apa yang membuat wanita ini tertarik untuk bergabung dengan VOA? Karlina, demikian ia biasa dipanggil, tidak langsung menjawab. Setelah beberapa saat tersenyum, "Cenderung klasik dan pribadi," ia akhirnya buka suara. "Memang sudah dalam daftar rencana jangka panjang hidup saya untuk bekerja di media internasional," imbuhnya.

Bila pemerintah Indonesia dulu punya Pelita (pembangunan lima tahun), Karlina punya Pelita (pencapaian lima tahun) dalam hidupnya. Setiap lima tahun sekali, ia mencanangkan target-target yang hendak ia capai dalam lima tahun ke depan.

Target untuk bekerja di media internasional adalah salah satu yang ia buat pada 1995, dua tahun setelah ia meraih gelar MA dalam Journalism Studies di Journalism, Media and Cultural Studies, University of Wales College of Cardiff (kini Cardiff University), Inggris. Tapi, target itu kemudian ia tunda karena sebagai wanita yang sudah menikah ia mendulukan masa reproduksi dan menyediakan waktu 5 tahun. "Berapapun dapatnya that's it. Ternyata Allah mempercayakan saya tiga anak laki-laki."

Pada tahun 2000, Karlina kembali membuat dua resolusi yang baginya besar. Pertama, menjadi dosen. Kedua, go international. Alhamdulillah terkabul. Ia menjadi dosen di tiga universitas swasta di Jakarta mulai tahun itu sambil terus menekuni profesi utamanya sebagai jurnalis di Harian Pos Kota, tempatnya bekerja sejak Juni 1986. Terakhir, Karlina menjabat redaktur luar negeri dan halaman khusus, yang diberi nama familia di koran tersebut. Resolusi kedua menyusul terkabul dua tahun kemudian namun baru dua tahun berikutnya ia bisa go international dengan bergabung ke VOA. Tepatnya sejak 29 Nopember 2004.

Setelah tiga bulan tinggal di Amerika, Karlina mengaku senang. Dalam hal transportasi, misalnya. Ia membandingkan ibukota Amerika, Washington DC, dengan Jakarta, ibukota Indonesia, tempat ia lahir dan dibesarkan hampir 40 tahun terakhir. "Di sini jadwal bis kota dan KRL teratur. Bisa dibilang 95 persen tepat waktu. Selain itu, walau kosong, tak ada cerita bis putar balik dengan alasan ngejar setoran!" serunya sambil tertawa. "Sopir di sini pun jujur. Ongkos dari penumpang 'gak masuk kantong," imbuhnya dalam logat khas Betawi.

Hal lain yang ia amati adalah sekolah-sekolah di Amerika siap untuk menerima pelajar dengan aneka asal usul. Tiga anaknya tak terhambat. "Syarat utama sekolah bukan hanya pada akademis tapi kelengkapan cakupan imunisasi dasar," ungkap Karlina. "Imunisasi BCG, polio, DPT dan lainnya," ia menjelaskan. Ia yakin bila syarat itu juga diterapkan di Indonesia bisa mendongkrak cakupan imunisasi dasar bagi anak-anak Balita dan usia anak sekolah hingga 100 persen. "Bila itu terjadi otomatis menurunkan angka kematian bayi dan Balita secara bermakna," ujarnya dengan mimik serius.

Karlina mengaku masih sering kangen dengan situasi rumahnya di Jakarta. Ia merindukan kokok ayam, aneka jajan pasar, ketupat sayur dan nasi uduk, yang dijual tetangganya, tiap pagi. Teriakan mbok pecel, mas sayur, dan abang selendang mayang, yang tiap siang lewat depan rumah, tek-tek penjual mie maupun kelenengan tukang tongseng, suara jangkrik dan kodok di malam hari. Ia juga kangen pada keramaian di kantor Pos Kota di mana para penjual sate, somay, buah campur, dan baso tiap petang hilir mudik di antara kesibukan kerja para wartawan. "On top of that," kata Karlina, "Saya merindukan suara azan dan alunan ayat-ayat suci Al Quran yang selalu terdengar dari masjid dekat rumah dan belakang kantor Pos Kota."

Satu hal yang tak ia kangeni dari Jakarta. "Kemacetan lalu lintas," cetusnya dalam tawa.

Untung tempat tinggalnya di Alexandria, Virginia, cukup 'menyibukkan'-nya. Ia mengamati puluhan burung aneka warna yang ramai mencicit di semak dan pagar belakang atau puluhan bangau yang kerap mampir di lapangan rumput luas di belakang rumah. Ia sering mengintip tupai-tupai yang lincah bergerak dalam segala kondisi cuaca. Dan, bersama anak-anak, ia menghitung ratusan gerbong kereta barang yang lewat, yang panjangnya tak putus dari pandang matanya dari ujung ke ujung. "Bayangkan kalau rangkaian kereta sepanjang itu melintasi Jakarta, macetnya kayak apa?" serunya kembali tertawa.

Untuk mengusir kerinduan pada Jakarta yang masih sering datang, Karlina menyibukkan diri. Mengurus persiapan sekolah anak-anak di pagi hari dan memeriksa PR mereka di malam hari. Di akhir pekan, kesibukan tidak menyusut. Sabtu ia menemani anak-anak ke perpustakaan atau mengikuti seminar-seminar kecil tentang pendidikan di sekolah anak. Kemudian, belanja makanan dan kebutuhan rumah. Di sela-sela itu, ia menyempatkan diri untuk memasak dan membersihkan rumah. Hal-hal yang tak ia lakukan di Jakarta karena sudah diserahkan ke pembantu rumah tangga maupun katering.

Setiap hari Minggu, ia memboyong anak-anak bersekolah agama di madrasah. Setelah itu, ia bersilaturahim dengan 'saudara-saudara' yang baru di Amerika. "Di mana pun, dengan siapa pun, saya ingin menguatkan tali silaturahim," cetusnya. Tinggal di Amerika bukan halangan baginya untuk melanjutkan kebiasaan yang ia yakini baik itu.

Masih membuat target Pelita? "Nanti. Akhir tahun ini," jawabnya. "Saat ini saya ingin menjadi broadcaster andal," tandasnya. Ia percaya pengalaman mengajar, latar belakang jurnalistik, dan kesediaan 'keluarganya' yang baru di VOA untuk membantu dan memberinya kesempatan merupakan modal mencapai targetnya. Amien.

XS
SM
MD
LG