Tautan-tautan Akses

Merayakan Tahun Baru Songkran di Amerika - 2003-04-28


Udara pagi yang dingin dan mendung tidak membuat segan masyarakat Laos dan sejumlah warga Amerika untuk bergegas menuju Wat Lao Buddhavong, sebuah wihara Buddha yang terletak di Manassas, sekitar satu jam perjalanan mobil ke barat kota Washington D.C. Sedini pukul 7:00 di pagi hari Sabtu, 19 April lalu, masyarakat telah memenuhi wihara untuk menyajikan sarapan bagi para bhiksu yang mengabdikan diri di sana. Hari itu mereka merayakan tahun baru Buddha, yang dikenal dengan Songkran. Reporter Anne Budianto dan Susy Tekunan berkesempatan menyaksikan jalannya perayaan meriah tersebut.

Songkran atau Tahun Baru Buddha, memang kurang lazim dirayakan di Indonesia. Songkran tidaklah sama dengan Waisak, yang lebih dikenal di Indonesia, di mana umat Buddha memperingati kelahiran, saat menerima pencerahan agung dan wafatnya Siddharta Gautama. Menurut Ajan Jandapan Jakawalo, Wakil Ketua Wihara Wat Lao Buddhavong, Songkran merupakan perayaan penting bagi masyarakat Laos, sebagaimana masyarakat lainnya di dunia merayakan tahun baru dengan meriah.

Umumnya Songkran dirayakan selama 3 hari, di akhir pekan kedua bulan April. Penanggalan Buddha ini didasarkan pada perhitungan bulan. Songkran 2546 yang jatuh pada tanggal 13 April 2003 merupakan perayaan besar bagi umat Buddha di Thailand, Myanmar, Kamboja, dan tentu saja Laos. Masyarakat imigran dari keempat negara tersebut merayakan Songkran di Amerika sesuai budaya masing-masing. Di daerah Washington D.C., terdapat 4 wihara yang menyelenggarakan festival Songkran dengan jadwal berbeda-beda, mulai 13 hingga 27 April lalu.

Ketika reporter VOA memasuki pekarangan Wat Lao Buddhavong, mereka disambut dengan penyematan bunga pita oleh seorang perempuan. Tanda keberuntungan ini disematkan pada setiap tamu yang datang. Ada pula tanda keberuntungan lain yang diberikan saat memasuki wihara, berupa bros berbentuk sepasang burung dari pita. Di hari Songkran masyarakat membawa berkat rejeki berupa uang atau makanan ke wihara. Sebagai ucapan terima kasih, bros tadi diberikan pada pengunjung. Acara dimulai dengan penyajian sarapan untuk para bhiksu, sebagai ucapan terima kasih masyarakat kepada mereka. Dilanjutkan dengan memandikan patung Buddha dengan air suci, yang dilakukan para bhiksu. Nah, inilah inti dari perayaan Songkran. Selain untuk mempererat kebersamaan dan saling berbagi rejeki, Songkran bermakna membersihkan diri, jiwa dan raga, dalam rangka tahun baru. Uniknya di tempat-tempat lainnya seperti di Thailand, masyarakat sering mengungkapkan kegembiraan dengan saling menyiramkan air, sehingga basah kuyup tak keruan.

Namun pagi itu, suasana khidmat mewarnai wihara. Semua orang berkumpul di balai utama. Dinding balai berhias lukisan aneka warna yang menggambarkan kelahiran, perjalanan dan wafatnya Pangeran Siddharta Gautama. Selain itu digambarkan pula adegan-adegan mitologi latar budaya masyarakat Laos. Di tengah ruangan terdapat sebuah patung Buddha berwarna keemasan, berhias relief khas Laos dengan warna meriah. Altar berhiaskan patung kepala Buddha, dan nyala lilin hasil karya para biksu. Agak sulit menembus kerumunan pengunjung, yang masing-masing membawa bingkisan dan makanan. Di kiri ruangan terdapat seorang bhiksu yang mengumumkan nama-nama orang yang menyumbangkan uang untuk kesejahteraan wihara. Di hadapannya terdapat sebuah nampan perak, tempat orang meletakkan amplop-amplop uang.

Sementara di sebelah kanan balai, terdapat seorang bhiksu yang memberkati orang-orang yang mengantri di hadapannya. Selagi mendoakan, tak lupa ia mencelup sebuah sapu lidi ke baskom air suci, lalu menciprat air ke orang yang minta diberkati. Ini merupakan tanda pembersihan diri. Ada pula sekelompok orang yang membawa pohon-pohon berhias daun dari uang, tanda kesejahteraan yang dipersembahkan untuk wihara. Suasana riuh menghening ketika acara sembahyang bersama dimulai. Mereka sama-sama memberkati bingkisan yang dibawa. Isinya beragam, mulai dari perlengkapan mandi sampai tissue, juga makanan, amplop-amplop berisi uang dan bunga.

Selanjutnya orang berdesakan keluar balai untuk mengantri di sisi 3 meja panjang tempat menyerahkan bingkisan dan makanan. Sebuah kendaraan hias yang nantinya dipakai untuk pawai, diparkir di dekat meja. Di kiri-kanan antrian terdapat kios-kios untuk berdoa, membasuh patung-patung Buddha dengan air, juga menjual makanan dan cenderamata. Masyarakat bebas memilih, apakah ingin menikmati makanan di luar diiringi gemercik air mancur dan hembusan udara segar, atau lesehan di dalam balai bersama keluarga dan para bhiksu serta biarawati. Makanan Laos hampir serupa dengan makanan Indonesia, yang terdiri dari ayam, ikan dan sayuran yang dimasak dengan santan dan rempah. Kemangi merupakan bumbu penyedap utama. Lauk tadi dihidangkan dengan nasi ketan, dan dimakan langsung dengan tangan. Hmm, sedapnya…

Di antara pengunjung banyak gadis manis berpakaian adat Laos, yang terbuat dari songket berhias benang keemasan. Rupanya, di antara mereka ada yang berpartisipasi dalam pemilihan Putri Brahman. Menurut tradisi Laos, dalam perayaan Songkran diadakan pemilihan 7 gadis untuk berperan sebagai anak-anak Dewa Brahman. Satu diantaranya akan terpilih untuk mencuci patung kepala Dewa Brahman dalam puncak perayaan Songkran. Acara juga dimeriahkan dengan tari-tarian, dan pawai kendaraan hias. Di akhir hari, sungguh berat rasanya meninggalkan keriaan yang kami alami.

Bagi umat Buddha di tanah air, selamat Tahun Baru 2546 dari kami!

Oleh: Anne Budianto

XS
SM
MD
LG