Bila Homesick Menyerang... Tinggal di Negeri Orang: Jauh di Mata, Dekat di Hati
“Kalau saya orangnya menganut manajemen kebatinan. Saya paling kangen dengan makanan Indonesia, itu yang nggak bisa dihilangkan, soalnya di sini nggak ada Kelapa Gading sih (sambil tertawa). Sejak di sini saya belajar memasak, padahal dulu di Indonesia tidak bisa memasak. Sekarang saya sering memasak rendang, jadi bisa-bisa kalau pulang ke Indonesia saya bisa buka restoran dengan menu spesial rendang!” –Nia Sutadi, penyiar dan produser. “Saya memang pernah merasa homesick, tapi tidak pernah sampai mengganggu kehidupan saya. Tapi kalau soal terkenang-kenang, saya memang sering. Itu karena sedari teenager saya sudah meninggalkan kampung halaman saya di Pulau Bangka untuk pergi bersekolah di Yogyakarta dan Medan. Bagi saya, di mana saya tinggal, disitulah tanah airku.” –Ninie G. Syarikin, MC dan penyiar.
“Saya nggak pernah homesick, tapi sering foodsick. Dan saya kangen sekali dengan sate di Indonesia. Sejak tinggal di sini mau nggak mau saya harus belajar masak. Semuanya berawal dari foodsick itu.” –Teresita Wiharyani, penyiar.
“Saya nggak pernah homesick. This is my home.” –Ridi Djajakusuma, penyiar.
“Saya sudah hampir delapan tahun di sini. Kalau homesick mungkin iya, tapi yang membuat saya paling kangen itu adalah Irian, tempat saya besar dulu. Saya pengen berkunjung ke Irian, go back to Irian. Saya ingin merasakan lagi makan kelapa di pulau.” –Irawan Nugroho, MC dan penyiar.
“Kalau homesick saya pernah, sejak awal datang ke Amerika di tahun ’93. Saya paling kangen dengan keluarga dan makanan, terutama makanan khas Semarang yang susah didapat di sini, seperti tahu pong dan pecel kangkung.” –Hana Sinjaya, penyiar dan produser.
“Saya nggak pernah merasa homesick, lantaran saya tidak pernah merasa terikat dengan tempat. Saya jarang makan makanan Indonesia, tapi sering makan Indomie.” –Isa Ismail, MC dan penyiar.