WAJAH DI BALIK SUARA: Pak Kamargo
Meja kerja itu tertata rapi. Di sana ada tumpukan reel acara radio dan kertas-kertas script tersusun jelas, namun semuanya terlihat teratur. Sesosok pria berkacamata duduk di sana, di depan komputer. Pembawaannya tenang, tapi serius. Itulah Kamargo Tirtosupono, penyiar paling senior di VOA Indonesia. Sudah 45 tahun dia mengabdi di sini.
“Banyak orang mengira nama saya Kak Margo,” ujarnya sambil tertawa. Memang, pembawa acara Dunia Jazz setiap Minggu malam ini jarang menggunakan nama lengkapnya.
Pak Kamargo adalah ayah dari tiga orang anak dan kakek dari enam orang cucu, yang semuanya berdiam di Amerika. Salah seorang cucunya, Chris, adalah pemain drum kelompok musik O.A.R., sebuah band beraliran rock namun punya unsur reggae, ska dan folk. Asal tahu saja, band ini kini mulai terkenal di Amerika.
Sebelum bekerja di VOA Pak Kamargo menghabiskan lima tahun sebagai penyiar di BBC London (1950-1955) dan dua tahun setelahnya di United States Information Service di Jakarta. Pada tahun 1957 dia pindah ke Washington. Namun ketertarikannya atas bidang radio telah berawal sejak masa mudanya, yang ia buktikan lewat keaktifannya di Radio Tentara Pelajar di Yogyakarta.
Sejarah hidupnya jauh membayang, setali dengan nafas bangsa ini. Dia ada di Jalan Pegangsaan saat bendera Merah Putih dikibarkan pertama kali oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Kala itu usianya baru 18 tahun, dan bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat.
Sekarang, di Washington, rutinitas hariannya bermula di saat orang-orang umumnya masih tidur pulas. Sebagai salah seorang produser acara siaran Evening Show, dia harus tiba di kantor sebelum pukul 04:00. Sesampainya di kantor dia lalu mulai menyiapkan materi untuk dipakai dalam siaran yang bermula pada jam 07:30, yang berarti jam 18:30 WIB.
Hari itu Pak Kamargo bercerita tentang pengalaman menariknya sebagai penyiar VOA. “Suatu ketika ibu mertua saya di Jakarta sakit, dan tidak saya duga dokter yang merawatnya ternyata ‘mengenali’ saya lewat suara,” cerita Pak Kamargo, yang juga merupakan penyiar televisi pertama di Indonesia. Dokter itulah yang menjaga dan merawat ibu mertuanya sampai akhir hayatnya. “Dia bilang sudah sejak SMP dengar suara saya di siaran VOA,” ujarnya sambil terharu.