Tautan-tautan Akses

Kisah Professor Agama Islam di Amerika: Khaled Abou el Fadl - 2002-08-01


Banyak pakar Muslim dari negara-negara Islam, yang ahli mengenai agama Islam, bermukim di Amerika dan mengajar di berbagai universitas di Amerika. Salah seorang di antaranya adalah Prof. Khaled Abou el Fadl, yang sekarang mengajar hukum Islam dan Timur Tengah di Universitas California di Los Angeles UCLA. Berikut ini perjalananannya dari seorang anak yang belajar agama di Kuwait dan Mesir, sampai menjadi gurubesar di universitas terkenal di Amerika.

Ketika masih muda Prof. Abou el Fadl belajar agama Islam pada seorang guru agama. Diukur dari cara mengajar sekarang, cara mengajarnya waktu itu memang agak kuno. Apa yang ia pelajari pada waktu itu?

"Saya diwajibkan membaca buku kumpulan hadits, yang disebut "Kebun orang-orang Salih' dan buku kedua berjudul 'Riwayat Hidup Para Sahabat Nabi.' Hampir selama setahun kami mempelajari hanya dua buku itu."

Gurunya memintanya agar jangan membaca buku-buku lain dulu, karena gurunya mengkhawatirkan anak yang masih muda seperti dia akan mempunyai pikiran macam-macam, kalau membaca banyak buku, apalagi kalau bukunya kontroversial. Dan kepada murid-murid juga dianjurkan tidak hanya memraktekkan apa yang dipelajari, tetapi jugamengingatkan orang lain, termasuk orang tua mereka kalau tingkah laku mereka tidak sesuai dengan apa yang sudah ia pelajari dari buku yang terbatas itu.Seperti dikatakannya:

"Dikatakan kepada saya, meskipun saya baru mengikuti beberapa pelajaran yang diberikannya, saya disuruh mengingatkan kepada orang-orang Muslim siapa saja kalau cara hidup mereka tidak sesuai dengan Islam."

Karena masih muda, ia tidak berpikir panjang, melakukan apa yang dikatakan oleh gurunya. Maka ia pun segera mengecam orang tuanya, saudara-saudaranya, karena mereka, misalnya memakai dasi, karena itu adalah bagian pakaian orang non Muslim, sedang menurut yang dipelajarinya, orang Muslim harus berpenampilan lain dari orang bukan Muslim. Pada masa kecilnya, memang hal semacam itu, memakai pakaian seperti yang dipakai orang-orang barat, seperti jas, celana panjang, dan sebagainya,, masih dipersoalkan. Hal itu, karena belum banyak penafsiran terhadap isi kitab-kitab hadits, misalnya mengenai berpakaian itu. Sekarang kontroversi semacam itu sudah boleh dikatakan tidak ada lagi di dunia Islam.

Setelah beberapa kali ia beradu mulut dengan orang-tua dan saudara-saudaranya mengenai apakah mereka bertingkah-laku sesuai dengan Islam apa tidak, akhirnya ayahnya membuat persetujuan: "Ia sedang duduku dan membaca di ruang keluarga. Saya masih ingat. Dan saya memang siap untuk mengecamnya lagi, mengenai apa, saya sudah lupa. Dan akhirnya ayah saya menutup buku yang sedang ia baca, menatap saya dan mengatakan:'baik, selama enam bulan atau setahun ini kamu yakin bahwa kami semua berbuat dosa dan kamu tahu mana yang benar. Maka baiklah, mari membuat persetujuan dan saya akan menghormati persetujuan ini."

Persetujuan itu adalah Abou el Fadl kecil harus mengaji kepada seorang guru lain di masjid dekat rumah. Guru ini terkenal luas pengetahuannya dan besar toleransinya. Kemudian setelah dalam waktu tertentu, setelah ia mengaji kepada guru barunya itu, pendapatnya mengenai apa yang benar dan salah tetap tidak berubah, maka ayahnya dan seluruh keluarga akan mengikuti apa pun yang dikatakan oleh anaknya itu, tanpa bertanya-tanya lagi.

Fadl muda menerima persyaratan itu dan pergilah ia belajar pada guru barunya. Prof. Abu el Fadl mengenang masa lalunya:

"Pengetahuan agama saya ternyata sedikit sekali dibanding dengan pengetahuannya dan pengetahuan murid-murid lain yang sudah lama belajar padanya. Kalau saya mengajukan satu ayat al Quran atau sebuah hadits untuk mendukung argumentasi saya, ia membalasnya dengan 10 atau 20 ayat al Quran dan hadits Nabi, yang cukup menggoyahkan apa yang selama ini saya anggap benar." Saat itulah, kata Prof. Abou el Fadl, merupakan titik balik sikapnya mengenai ajaran Islam. Dan mulai saat itu pulalah ia melihat kekayaan tradisi Islam. Selain kemudian ia mendapatkan pendidikan di negara-negara Timur Tengah, ia juga belajar di universitas-universitas terkemuka di Amerika Serikat: Yale, Universitas Pennsylvania, dan Princeton.

Menengok ke belakang, ke pengalamannya di masa lalu, Profesor Abu el Fadl berpendapat, bahwa sebenarnya ia waktu itu, seperti juga banyak anak muda sekarang yang sering merasa benar sendiri, sedang mencari jati-diri dalam suatu masyarakat yang saluran untuk menyatakan pendapat sangat terbatas. Katanya:

"Keadaan seperti itu mengakibatkan frustrasi dan kegelisahan, dan apa yang dikemukakan oleh kelompok-kelompok ekstrim itu terasa memberikan kebebasan yang besar, memberikan keberdayaan. Kata-kata mereka mejadi seperti impian."

Dan dalam perjalanan hidupnya kemudian, Prof. Abu el Fadl akhirnya belajar pada banyak ahli fiqh lain yang tidak serta-merta mengacungkan telunjuk ke-otoriterannya. Katanya:

"Mereka tidak berpegang pada kata-kata keras, slogan dan retorika, karena itu mereka tidak begitu mudah dikenal. Tetapi para fuqaha ini betul-betul membaca banyak buku, mereka betul-betul menggunakan naskah-naskah, mereka benar-benar mencerminkan tradisi toleran dalam Islam, yang mengakui keberagaman. Mereka selalu berbicara "menurut pendapat ini-ini-ini' dan 'menurut pendapat saya,' dan pada penutup pembicaraan selalu mengatakan 'wallahu a'lam' - hanya Tuhanlah yang paling tahu."

Sekarang Khaled Abu el Fadl sedang tekun menggali kekayaan kecendekiawanan Islam, beberapa di antaranya masih terawat rapi dalam bentuk manuskrip di perpustakaan-perpustakaan di Turki dan Mesir. Melalui mata kuliah yang ia kuliahkan di Fakultas Hukum Universitas California di Los Angeles, ia turunkan tradisi itu ketika iamengajar para calon ahli hukum Barat.

XS
SM
MD
LG