Tautan-tautan Akses

Marinir Perempuan AS Jalani Pelatihan Intensif


Sejak tahun 2002, lebih dari 160.000 personil perempuan militer Amerika Serikat telah ditugaskan di Irak dan Afghanistan. Sejumlah besar dari mereka adalah marinir, yang semuanya harus melewati pelatihan intensif, atau yang disebut dengan istilah “boot camp”, di basis militer Pulau Parris, negarabagian South Carolina.

Pelatihan bagi para marinir perempuan di Pulau Parris berlangsung selama 12 minggu. Dari 4.600 marinir baru di basis militer ini, hanya tercatat 600 perempuan. Di Pulau Parris mereka menjalani pelatihan selama 12 minggu, yang meskipun berlangsung secara terpisah dari para marinir laki-laki, memiliki intensitas yang sama tingginya.

Salah satu mariner perempuan di Pulau Parris adalah Hope Quintana, yang baru berusia 18 tahun. Ia datang dari Colorado, dan telah menjalani pelatihan selama enam minggu.

“Saya ingin mendapat pengalaman baru. Ide untuk menjadi mariner datang dari ibu saya, yang mengatakan ini cara baru untuk melihat hidup dan sekaligus merupakan tantangan,” ujar Hope.

Tapi pelatihan yang dijalani Hope ternyata lebih berat dari yang dibayangkannya semula. Bersama mariner baru lainnya, Hope harus memenuhi standar ketangguhan fisik, yang mengharuskan mereka berlari jarak jauh dan berenang dengan menggunakan seragam militer, boot dan ransel. Mereka juga harus mahir menembak dengan senapan M-16, dan berlatih perang selama 54 jam secara non-stop.

Bahkan bagi mereka yang terlahir dalam keluarga militer, pelatihan semacam ini dianggap sulit. Demikian menurut Jackie Joe Anderson, yang dibesarkan di sebuah basis militer lain, tempat ayahnya bertugas.

”Laki-laki punya kepercayaan diri alami. Mereka yakin bisa melakukan (hal yang berat) dan tidak peduli apa pendapat orang. Tapi perempuan biasanya lebih gugup—‘Saya tidak sanggup melakukan ini’— mereka terlampau menganalisa segala hal. Anda tidak boleh berpikir terlalu banyak, dan lakukan apa yang diperintahkan oleh instruktur Anda, secara benar,” jelas Jackie.

Pelatihan bagi para mariner perempuan dipimpin oleh sejumlah instruktur perempuan, bertujuan untuk menanamkan ketangguhan dalam situasi penuh tekanan, dan agar para marinir dapat bekerja dalam tim, serta memiliki kualitas kepemimpinan.

Para instruktur perempuan terkadang dikenal memiliki reputasi yang justru lebih tegas dibanding instruktur laki-laki. Ini diakui Sersan Melissa Rieff, yang telah menjadi instruktur marinir selama tujuh tahun.

“Ketika saya berteriak, suara saya terdengar lebih nyaring daripada suara laki-laki, karena nada suara saya lebih tinggi,” ujar Melissa.

Para marinir perempuan mengaku awalnya sempat kaget mendengar teriakan instruktur mereka.

“Awalnya sulit, karena saya tidak terbiasa berteriak, tapi lama-kelamaan terbiasa. Para instruktur peduli kepada kami. Jika mereka memberikan perintah, Anda lakukan seperti yang diperintahkan. Tapi kalau mereka mengejek, lupakan saja,” kata Jackie Joe Anderson.

Perempuan dalam militer Amerika tidak diperbolehkan bertugas pada garis depan pertempuran. Namun bukan berarti mereka bebas bahaya. Para personil militer perempuan bertugas mendukung operasi militer, mulai dari mengendarai kendaraan sampai menerbangkan pesawat tempur. Ini tugas-tugas beresiko tinggi. Dari 3.000 lebih personil militer Amerika yang tewas sejak Perang Irak mulai tahun 2003, 75 diantaranya adalah perempuan.

Menurut Jackie, ia siap berangkat ke Irak. Tapi Andrea Boseman (19) asal South Carolina, agak khawatir.

“Kalau pilihannya tergantung pada saya, saya tidak mau pergi. Tapi bila saya ditugaskan ke sana, maka saya akan pergi. Saya bangga bertugas di sana untuk melayani negara saya sebagai seorang marinir,” kata Andrea.

Menurut data, 16 persen marinir perempuan baru di Pulau Parris tidak menyelesaikan pelatihan dasar secara penuh, sebagian besar karena mengalami cedera. Namun mereka yang menyelesaikan pelatihan mengaku memperoleh kebanggaan, rasa hormat dan kepercayaan diri yang sebelumnya tidak mereka miliki.

XS
SM
MD
LG