Pekan ini Amerika mengenang Rosa Parks, seorang perempuan sederhana yang pada tanggal 1 Desember 1955 melakukan perbuatan berani yang mengubah cara warga Amerika berhubungan satu sama lain.
Selagi naik sebuah bus, yang memisahkan tempat duduk untuk warga kulit putih dan kulit berwarna, di kota Montgomery, ibukota negara bagian Alabama, supir bis itu minta agar Rosa Parks pindah ke tempat duduk di belakang, yang disediakan untuk orang kulit berwarna. Ketika ia menolak pindah, Rosa Parks ditangkap polisi, diadili dan dinyatakan bersalah melanggar undang-undang pemisahan ras yang berlaku waktu itu.
Bertahun-tahun kemudian, Rosa Parks menjelaskan, “Saya tidak mau duduk di belakang. Menurut saya, saya tidak harus duduk di belakang. Saya berpendapat, peraturan itu tidak layak.”
Banyak orang berpendapat, Rosa Parks yang kelelahan setelah bekerja sebagai penjahit, waktu itu kakinya sakit sehingga tidak mau pindah tempat duduk. Kisah sebenarnya jauh lebih rumit.
Ini bukan suatu kebetulan. Rosa Parks sudah sejak lama merasa tersinggung karena diharuskan duduk di bagian belakang. Bahkan 12 tahun sebelumnya, Rosa Parks pernah diusir dari bus karena tidak mau pindah duduk ke belakang.
Rosa Parks adalah anggota sebuah organisasi nasional yang memperjuangkan hak-hak kaum kulit hitam. Ia ikut dalam kampanye partisipasi pemilu. Waktu itu, itu adalah kegiatan yang berbahaya.
Ia mendapat dukungan penuh dari sebuah organisasi dalam protes itu. Organisasi ini tidak lama kemudian mengangkat seorang pemuda berumur 26 tahun bernama Martin Luther King Jr. sebagai pemimpin. Pemuda ini kemudian namanya melejit secara nasional.
Penahanan Rosa Parks, dan pidato-pidato Martin Luther King Jr. membuat sejumlah besar warga kulit hitam tidak mau naik bis selama 13 bulan. Banyak di antara mereka harus berjalan kaki beberapa kilometer ke tempat kerja setiap hari.
Setahun kemudian, Mahkamah Agung memutuskan bahwa undang-undang pemisahan tempat duduk dalam bis itu melanggar konstitusi. Untuk pertamakalinya dalam sejarah Amerika, warga non-kulit putih boleh duduk di manapun mereka mau dalam bis umum. Sepuluh tahun kemudian, tindakan Rosa Parks itu membuahkan pembauran di restoran-restoran dan fasilitas-fasilitas publik.
Sambutan orang pekan lalu atas berita mengenai kematian Rosa Parks, yang meninggal dunia pada usia 92 tahun sangat luar biasa.
Kongres Amerika menjadikan Rosa Parks perempuan pertama yang jenazahnya disemayamkan di bawah kubah utama Gedung Capitol. Penghormatan ini biasanya hanya diberikan untuk presiden dan pahlawan perang.
Puluhan ribu orang datang memberikan penghormatan terakhir. Presiden Bush memberikan penghormatan di sebuah gereja di Washington. Sehari kemudian, mantan Presiden Bill Clinton memberikan penghormatan di sebuah gereja di Detroit, di mana Rosa Parks pernah tinggal selama hampir 50 tahun. Di gereja Rosa Parks di Alabama, Menteri Luar Negeri Condoleeza Rice, yang juga berkulit hitam dan berasal dari Alabama, mengatakan “Tanpa Rosa Parks, mungkin saya tidak akan berdiri di sini sebagai Menteri Luar Negeri.”
Sebelum meninggal, Rosa Parks memperoleh Piagam Penghormatan Kongres. Kota Montgomery yang dulu pernah mengusirnya, memberikan penghargaan serupa.
Rosa Parks tidak senang menjadi terkenal. Ia mengatakan, ia hanya ingin mengilhami orang lain, terutama kaum muda di seluruh dunia, “agar mereka memiliki rasa pengabdian untuk membuat hidup mereka sendiri dan orang lain berguna.”
Rosa Parks menunjukkan bahwa seorang warga biasa dapat mengubah suatu bangsa. Memang diperlukan keberanian, dan keberanian Rosa Parks sungguh sangat luar biasa. (voa/djoko)