Tautan-tautan Akses

Kekhawatiran akan Dominasi ASN Non-Papua untuk Wilayah Pemekaran Mencuat


Lebih dari 6.000 Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) mengikuti Presidential Lecture Ke–2 di Jakarta pada 24 Juli 2019. (Foto: Kementerian Sekretariat Negara)
Lebih dari 6.000 Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) mengikuti Presidential Lecture Ke–2 di Jakarta pada 24 Juli 2019. (Foto: Kementerian Sekretariat Negara)

Pembahasan rencana pembentukan tiga provinsi baru di Papua terus berlanjut. Sebagai wilayah baru, ketiganya tentu membutuhkan keberadaan Aparatur Sipil Negara (ASN). Sejumlah pihak khawatir, posisi tersebut nantinya mayoritas justru tidak diisi oleh Orang Asli Papua (OAP).

Menyusul keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 106/2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo menggulirkan wacana penerimaan pegawai negeri sipil di tiga provinsi baru tersebut.

“Tugas jangka pendek yang harus diselesaikan Kementerian PANRB dengan BKN adalah mempersiapkan penerimaan pegawai baru khusus untuk orang asli papua yang nanti akan ditempatkan di rencana tiga provinsi pemekaran Papua,” ujar Tjahjo merujuk pada Badan Kepegawaian Negara (BKN) dalam konferensi pers virtual, pada Senin (9/5).

Pernyataan tersebut langsung menimbulkan pertanyaan di Papua. Pasalnya, hingga kini belum ada aturan turunan dari peraturan pemerintah tersebut berupa Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang dapat mendorong pemberlakuan PP.

Anggota DPR Papua, John NR Gobay, mengatakan hingga saat ini pihak pemerintah daerah belum membuat aturan turunan tersebut.

“Peraturan Pemerintah Nomor 106 tahun 2021 itu kan mengamanatkan kita membuat Perdasi dan Perdasus. Nah, ini kan kita belum mengerjakan. Di dalam PP 106/2021 itu juga memerintahkan untuk kita melakukan penyiapan regulasi terkait dengan kepegawaian. Ini kan kita juga belum mengerjakan,” kata Gobai, pada diskusi pemekaran Papua yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional, pada Kamis (19/5).

Maka dari itu, Gobay merasa heran dengan pernyataan Tjahjo yang terkesan buru-buru mengumumkan soal penerimaan kepegawaian di tiga provinsi baru itu nantinya.

"Tiba-tiba beliau mengeluarkan statement untuk penerimaan pegawai khusus Orang Asli Papua di tiga Daerah Otonom Baru (DOB). Bagaimana ceritanya? Lalu bagaimana dengan perintah PP 106/2021,” sindir Gobai.

Dia mengingatkan, persoalan kepegawaian di Papua cukup kompleks dan sangat berbeda dengan wilayah lain. Gobai memberi contoh, masalah yang belum selesai adalah pengangkatan ribuan pegawai honorer yang menggantung. Di sektor pendidikan, data menunjukkan Papua membutuhkan 33.000 guru. Namun, daerah tidak memiliki kewenangan untuk membuka perguruan tinggi yang dapat memenuhi kebutuhan akan tenaga pendidik tersebut.

“Kita punya persoalan terkait ASN. Bagaimana kita membuat regulasi turunan PP 106/2021 ini, untuk dapat mengatasi persoalan ASN. Termasuk juga penempatan jabatan. Ini kita belum mengatur dalam regulasi daerah,” tambah Gobai.

Mahasiswa Papua melancarkan aksi protes terhadap rencana pemekaran Provinsi Papua yang diwacanakan oleh pemerintah pusat dalam aksi yang digelar di Malang, Jawa Timur, paada 10 Mei 2022. (Foto: AFP/Kresno Putri)
Mahasiswa Papua melancarkan aksi protes terhadap rencana pemekaran Provinsi Papua yang diwacanakan oleh pemerintah pusat dalam aksi yang digelar di Malang, Jawa Timur, paada 10 Mei 2022. (Foto: AFP/Kresno Putri)

Pengisian ASN Dipertanyakan

Dalam riset yang dilakukan oleh Dr Riris Katharina pada 2017, perbandingan jumlah pegawai negeri sipil di Provinsi Papua, antara OAP dengan non-OAP tidak berimbang. Peneliti di Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri BRIN ini meyakini bahwa kondisi tersebut masih berlangsung hingga saat ini.

“Dan itu juga menjadi kecemasan kita. Ketika ini dimekarkan, kemudian menjadi pertanyaan SDM yang duduk di dalam birokrasi yang menjalankannya administrasi dan teknokrasi di dalam pemerintahan itu kemudian siapa,” kata Riris.

Meski pemerintah pusat berkomitmen menempatkan OAP dalam struktur birokrasi, tetapi ada aturan hukum yang harus ditaati pada proses tersebut.

“Ketika ketentuan peraturan perundang-undangan terkait ASN tidak terpenuhi, sehingga tidak mampu mendudukkan OAP dalam kursi-kursi birokrasi tadi, maka tetap akan menimbulkan persoalan baru lagi di Papua,” tambah Riris.

Riris mengungkap fakta, bahwa terdapat wilayah di Papua Selatan yang anggota DPRD-nya seratus persen merupakan non-OAP. Kondisi semacam ini memperuncing pertentangan antara OAP dan non-OAP.

Dalam isu pemekaran misalnya, kawasan Papua Selatan relatif lebih bisa menerima karena suara OAP lebih kecil. Hanya dalam skala lebih luas, atau seluruh Papua, suara penolakan dari OAP menjadi terdengar.

“Sehingga dengan pemekaran ini, saya melihat dia tidak akan menyelesaikan tapi justru akan semakin memperuncing,” tegas Riris.

Persiapan SDM Penting

Dalam isu pemekaran, kesempatan bagi OAP untuk menjadi ASN sebenarnya turut mempengaruhi sikap masyarakat.

“Masyarakat juga banyak menginginkan hadirnya daerah otonomi baru, karena imajinasi mereka tentang adanya buliran posisi-posisi baru. Kemudian ada distribusi kesejahteraan, lapangan pekerjaan yang dalam sektor formal bisa menjadi ASN,” ujar Peneliti Gugus Tugas Papua dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia.

Sejalan dengan Riris, Alfath juga mengingatkan bahwa terdapat efek samping dari kebijakan pemekaran yang dilakukan oleh pemerintah pusat.

“Misalnya dalam jabatan-jabatan struktural, banyak sekali pendatang yang masuk ke dalam posisi posisi tersebut. Ini yang harus disiap-siagakan,” ujarnya.

Seorang pemuda asal Papua tampak ikut serta dalam aksi demo menuntut penutupan Freeport, di Jakarta, pada 29 Maret 2018. (Foto: Reuters/Beawiharta)
Seorang pemuda asal Papua tampak ikut serta dalam aksi demo menuntut penutupan Freeport, di Jakarta, pada 29 Maret 2018. (Foto: Reuters/Beawiharta)

Gugus Tugas UGM memilih upaya berbeda dalam konteks penyiapan SDM OAP, sebelum pemekaran dilakukan. Lembaga ini telah bekerja sama dengan pemerintah daerah, seperti Kabupaten Puncak dan Kabupaten Mappi, dengan membawa anak muda dari dua wilayah itu berkuliah di Yogyakarta.

“Ada sekitar 30 Orang Asli Papua dari Mappi dan Puncak, bekerjasama dengan kami, dan mereka menguliahkan anak mudanya di UGM, Universitas Sanata Dharma dan Universitas Amikom, untuk mengisi posisi-posisi strategis ketika nanti mereka kembali ke daerah asal,” jelas Alfath.

Alfath mengingatkan, banyak rekayasa sosial bisa dilakukan sepanjang semua pihak memiliki komitmen dan political will untuk memperbaiki keadaan.

Sementara dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, M Nur Solikhin, mengingatkan seluruh pihak harus menyelesaikan terlebih dahulu masalah-masalah terkait indikator pemekaran sebelum kebijakan tersebut diterapkan. Dia mempertanyakan kerja tim kajian persiapan pemekaran, dalam menyelesaikan problem tersebut, melalui undang-undang pemekaran.

“Jadi tidak hanya sekedar memecahkan wilayah dengan membentuk struktur pemerintahannya, tapi dalam konteks sosial politik, sosial ekonomi, itu juga harus menjadi perhatian, pelayanan dasar bagi masyarakat,” ucapnya.

Kekhawatiran akan Dominasi ASN Non-Papua untuk Wilayah Pemekaran Mencuat
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:47 0:00

Presiden Kirimkan Surpres

Dalam perkembangan berbeda, DPR telah menerima Surat Presiden (Surpres) terkait pembahasan tiga DOB di Papua. Dengan demikian, pemerintah dan DPR akan segera membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Provinsi Papua Selatan (Ha Anim), RUU tentang Provinsi Papua Tengah (Meepago), dan RUU tentang Provinsi Papua Pegunungan Tengah (Lapago).

Wakil Ketua DPR RI Lodewijk F. Paulus menegaskan presiden telah menugaskan kementerian atau lembaga terkait sebagai perwakilan pemerintah untuk membahas bersama dengan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DPR yang ditugaskan dalam Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI.

“Yang jelas saya sudah terima tembusannya (surpres.red). Ada. Setelah itu kita akan acarakan dalam rapim dan kita bawa dalam Rapat Bamus. Tentunya, itu akan kita sahkan dalam rapat paripurna. Jadi sudah siap dibahas, sudah final,” kata Lodewijk dalam rilis resmi DPR RI, pada Selasa (17/5).

Lodewijk tidak menampik terdapat masyarakat Papua yang masih menolak pemekaran.

“Jadi, meskipun ada yang menolak, itu tetap lanjut. Karena itu kan namanya aspirasi. Orang macam-macam pandangannya, kita tampung maunya apa nanti akan kita bahas selanjutnya,” tambahnya. [ns/rs]

Recommended

XS
SM
MD
LG