Tautan-tautan Akses

2 Siswa Afrika Selatan Tunda Mimpi Kuliah di AS


Mahasiswa Universitas California Los Angeles (UCLA) di Los Angeles, California, AS 15 November 2017. (Foto: REUTERS/Lucy Nicholson)
Mahasiswa Universitas California Los Angeles (UCLA) di Los Angeles, California, AS 15 November 2017. (Foto: REUTERS/Lucy Nicholson)

Pelajar internasional yang sedang menempuh pendidikan di berbagai perguruan tinggi Amerika, sekarang ini sebenarnya sudah bisa kembali ke Amerika. Tetapi sejumlah rintangan dan kekhawatiran memaksa mereka tetap di rumah. Selain itu, sebagai siswa kulit hitam, mereka merasa terancam tinggal di negara yang sedang mengalami kerusuhan terkait keadilan ras.

Tarika Pather, usia 20 tahun, mahasiswi Afrika Selatan, tidak pernah mengira bahwa dirinya akan terjebak di dalam rumahnya di Johanannesburg.

Seharusnya, calon arsitek ini sudah memulai kuliahnya di Smith College, negara bagian Massachusetts, Amerika. Tetapi, beberapa bulan sejak ia diterima untuk kuliah di kampus tersebut, virus corona melumpuhkan perjalanan global.

Selain itu, pemerintah Amerika pada Juni lalu mengatakan akan mencabut visa untuk siswa internasional yang tidak menghadiri perkuliahan langsung di kelas. Keputusan itu akhirnya dibatalkan.

Namun, pengajuan untuk aplikasi visa di konsulat Amerika di Afrika Selatan masih ditangguhkan. Melalui aplikasi Google Hangouts, Tarika Pather mengatakan,

"Jadi, pada dasarnya, saya sedang menunggu apakah ada kemungkinan mendapat visa. Karena, jika saya bisa memperoleh visa untuk musim gugur ini, Smith college akan mengizinkan beberapa siswa tinggal di perumahan kampus dengan syarat yang sangat ketat," kata Tarika.

"Tetapi, kalau tidak mendapat visa untuk kuliah mulai musim gugur, dan semua proses administrasi mandek, saya berharap bisa masuk kuliah pada musim semi 2021, yang biasanya dimulai pada Februari," lanjutnya.

Kampus Universitas Carnegie Mellon di Pittsburgh, 7 Juni 2019. (Foto: AP / Gene J. Puskar)
Kampus Universitas Carnegie Mellon di Pittsburgh, 7 Juni 2019. (Foto: AP / Gene J. Puskar)

Khaya Kingston, juga kini ada di rumahnya, di Afrika Selatan. Seharusnya, dia sudah memulai kuliahnya lagi di Harvey Mudd College, California. Kingston, mahasiwa tahun kedua, terpaksa pulang setelah perguruan tinggi tempatnya menuntut ilmu, memulangkan semua mahasiwa setelah libur musim semi.

Bandara Johanessburg sebenarnya masih beroperasi. Tetapi, sulit untuk mendapatkan penerbangan internasional.

Dan sebagai pemuda kulit hitam, Kingston dan orangtuanya juga khawatir akan gelombang protes yang terjadi di Amerika, menentang kebrutalan polisi terhadap orang kulit berwarna.

"Orangtua saya percaya, saya akan bertanggung jawab dalam situasi seperti ini. dan akan berbuat sebisa saya untuk menghindari hal seperti itu terjadi. Mereka lebih khawatir jika saya jatuh sakit," kata Kingston melalui aplikasi Google Hangouts.

"Sepertinya, saya punya kerabat di Amerika. Jadi, kalau saya sakit, dan tidak bisa pulang, atau seseorang sakit dan saya tidak bisa pulang, mereka tidak senang kalau saya berada di negara lain. Tetapi, sepertinya, kini mereka tidak khawatir lagi kalau saya pergi," lanjutnya.

Berbagai protes terkait Black Lives Matter di Amerika juga mengkhawatirkan Pather.

“Sebagai orang kulit coklat, seperti orang India, saya merasa tidak nyaman sama sekali, bahkan di negara bagian sebelah utara. Di Philadelphia, misalnya, ketika terjadi protest Black Lives Matter, saya tahu, saya membaca, dan teman saya memberitahu bahwa ada pengunjuk rasa neo-Nazi, yang berbaur dengan massa," kata Pather.

"Mereka ini menyulut kerusuhan, memukuli orang, dan berbuat onar. Jadi, saya merasa lebih takut dan sangat tidak nyaman pergi ke Amerika sekarang, berbeda dari apa yang saya rasakan beberapa waktu lalu," lanjutnya.

Para pengunjukrasa Black Lives Matter, 2 Agustus 2020. (Foto: AP)
Para pengunjukrasa Black Lives Matter, 2 Agustus 2020. (Foto: AP)

Meskipun sebenarnya kaum muda tidak terlalu khawatir, ancaman virus corona justru membebani pikiran orangt ua mereka.

“Kalian tahu, pandemi menimbulkan berbagai kekhawatiran lain. Kami sangat prihatin karena Amerika tidak menangani virus itu. Dan apa yang akan mereka lakukan terhadap mahasiswa setelah mereka tiba di sana," kata Denise Fouche, ibu Pather.

Sementara itu, kedua mahasiswa berusaha menyibukkan diri. Pather magang di perusahan yang bergerak dalam bidang arsitektur. Kingston yang kuliah dalam bidang fisika dan ilmu komputer, menjadi sukarewalan dalam tim ilmu data yang melacak perkembangan virus di Afrika Selatan.

Keduanya memang berada sangat jauh dari Amerika, jauh dari ruang-ruang kelas, jauh dari bangunan-bangunan yang dirambati itu. Tetapi, mereka percaya, apa yang mereka lakukan adalah juga bentuk pendidikan.[ew/ka]

XS
SM
MD
LG