Tautan-tautan Akses

Hasil Studi, Publik Khawatir Layanan Kesehatan Tak Mampu Tampung Pasien Corona


Seorang petugas medis mengecek peralatan medis di rumah sakit darurat untuk pasien COVID-19 di Wisma Atlet, Kemayoran, 23 Maret 2020. (Foto: Antara via Reuters)
Seorang petugas medis mengecek peralatan medis di rumah sakit darurat untuk pasien COVID-19 di Wisma Atlet, Kemayoran, 23 Maret 2020. (Foto: Antara via Reuters)

Pandemi COVID-19 di Indonesia memunculkan kekhawatiran di masyarakat mengenai ketidakmampuan fasilitas kesehatan menampung dan melayani pasien. Kekhawatiran itu bersumber pada minimnya jumlah tes, terbatasnya pasokan APD bagi tenaga medis, dan masih terbukanya jalur transportasi dan mobilitas manusia.

Hasil studi yang dilakukan oleh Amrta Institute, Lokataru Foundation, YLBHI, LBH Jakarta, Rujak Center for Urban Studies dan Urban Poor Consortium mengungkapkan bahwa 88,4 persen responden khawatir layanan kesehatan tidak mampu menampung warga yang sakit.

Para petugas medis mengambil sampel darah dalam lantatur tes cepat di tengah wabah virus corona (COVID-19) di Bandung, Jawa Barat, 4 April 2020. (Foto: Antara via Reuters)
Para petugas medis mengambil sampel darah dalam lantatur tes cepat di tengah wabah virus corona (COVID-19) di Bandung, Jawa Barat, 4 April 2020. (Foto: Antara via Reuters)

Nila Adhianie Direktur AMRTA Institute dalam penjelasan yang disampaikan secara virtual (4/5) mengatakan tingginya kekhawatiran warga terhadap kemampuan layanan kesehatan bersumber dari beberapa hal diantaranya; keterbatasan jumlah tes, pasokan Alat Perlindungan Diri bagi tenaga medis yang kurang memadai dan masih terbukanya jalur transportasi dan mobilitas manusia.

Pengujian yang dilakukan Indonesia dibandingkan dengan 10 negara terbanyak korban COVID-19 menunjukkan bahwa persentase pengujian di Indonesia adalah sangat kecil. Persentase dimaksud adalah perbandingan tes yang dilakukan dengan populasi.

Hasil Studi, Publik Khawatir Layanan Kesehatan Tak Mampu Tampung Pasien Corona
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:00 0:00

“Di sisi yang lain keterbatasan jumlah test ini juga membuat orang-orang yang sebetulnya dia positif tapi nggak tahu, dia tetap berkegiatan secara normal, padahal pada saat yang bersamaan dia sedang menularkan virus, apalagi kalau dia bertemu dengan orang yang rentan yang memang sudah punya penyakit bawaan atau berusia lanjut,” jelas Nila Adhianie.

Dia menambahkan sejumlah negara seperti Italia, Jerman dan Spanyol sudah melakukan tes terhadap tiga persen dari seluruh populasi, Amerika Serikat dan Rusia sudah melakukan tes terhadap sekitar dua persen penduduknya. Sedangkan tes di Indonesia belum mencapai 0,1 persen.

Warga Morowali Utara yang sedang mengikuti pemeriksaan kesehatan dengan rapid test di Rumah Sakit Umum Daerah Kolonodale, 4 April 2020. (Foto: Courtesy/Ivan Tagora)
Warga Morowali Utara yang sedang mengikuti pemeriksaan kesehatan dengan rapid test di Rumah Sakit Umum Daerah Kolonodale, 4 April 2020. (Foto: Courtesy/Ivan Tagora)

Hasil yang sama muncul saat Indonesia dibandingkan dengan seluruh negara di Asia Tenggara. Singapura dan Brunei menjadi negara terbanyak melakukan tes (sekitar tiga persen dari populasi), sedangkan Indonesia baru menguji 0,0318 persen penduduknya. Jumlah ini jauh dibawah Vietnam yang sudah menguji 0.2681 persen penduduknya. Berkat pengujian intensif dan kebijakan social distancing yang ketat pada 26 April 2020, Vietnam kini sudah mulai membuka sebagian kegiatan ekonominya.

Data Kementerian Kesehatan per 29 April 2020 menunjukkan terdapat 252.238 Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP). Dengan kemampuan melakukan tes sebanyak kurang lebih 3.000 per hari, maka dibutuhkan waktu 84 hari (tiga bulan) untuk melakukan pengujian hanya pada ODP dan PDP yang tercatat sampai tanggal 29 April 2020.

Menguji ODP dan PDP sangat penting dilakukan karena berbagai penelitian menunjukkan besarnya angka penderita positif COVID-19 yang tidak menunjukkan gejala atau bergejala ringan.

Jumlah tes yang memadai sangat dibutuhkan untuk menghasilkan estimasi yang tepat dan menghasilkan respon kebijakan pemerintah yang juga tepat. Jumlah tes yang rendah dikhawatirkan menghasilkan estimasi yang lebih rendah dari apa yang sebenarnya terjadi dan ujungnya menghasilkan respon kebijakan yang tidak tepat.

Ubedilah Badrun, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, meningkatnya kekhawatiran publik terhadap kemampuan fasilitas layanan kesehatan di masa pandemi COVID-19 juga karena banyaknya paramedis yang turut terpapar virus corona.

“Dan makin khawatir misalnya kalau kemudian jumlah dokter semakin berkurang karena menjadi korban, saya cukup sedih juga itu, jumlah dokter semakin berkurang, bahkan yang ahli tentang wabah juga makin berkurang, perawat juga makin berkurang jumlahnya, inikan menimbulkan kekhawatiran. Di saat yang sama pelayanan kesehatan, fasilitas rumah sakit sudah luar biasa.”

Seorang petugas medis mengenakan pakaian pelindung melihat dari jendela ruang isolasi Rumah Sakit Undata di Palu, Sulawesi Tengah, 1 Februari 2020. (Foto: AFP)
Seorang petugas medis mengenakan pakaian pelindung melihat dari jendela ruang isolasi Rumah Sakit Undata di Palu, Sulawesi Tengah, 1 Februari 2020. (Foto: AFP)

Dia mengatakan yang harus diwaspadai adalah potensi penyebaran virus corona di desa-desa setelah puluhan ribu orang yang sudah keluar dari Jabodetabek sebelum pelarangan mudik diberlakukan.

“Jadi bisa dibayangkan misalnya mereka yang pulang kampung duluan sebelum pelarangan, itu jumlahnya puluhan ribu. Itu mereka hidup di desa dan mereka sekian persen membawa virus dan tidak ada test di desa. Di desa kan sangat terbatas fasilitasnya, saya tidak tahu akan seperti apa, dan ini yang tidak diantisipasi oleh pemerintah,” ungkap Ubedilah.

Selain masalah kesehatan, studi yang melibatkan 1.110 responden di 34 provinsi itu juga meneliti dampak ekonomi dan sosial. Sebanyak 38 persen responden belum dapat bekerja dari rumah karena alasan pekerjaan. Sebanyak 33 persen responden yang tempat tinggalnya menyewa sudah merasa kesulitan membayar sewa. Sebanyak 46 persen mengatakan perusahaan tempatnya bekerja dapat bertahan lima hingga enam bulan ke depan, 37 persen menjawab bisa bertahan satu hingga empat bulan ke depan dan sebanyak 17 persen sudah mengalami PHK.

Agar dapat segera mengatasi bencana nasional COVID-19, pemerintah diharapkan tegas dan fokus pada core atau inti masalah yaitu kesehatan. Jaminan layanan kesehatan yang baik sangat diharapkan masyarakat agar risiko ketidakpastian yang timbul dapat ditekan. Kecepatan pengambilan keputusan sangat diperlukan, karena daya tahan masyarakat sudah terus menurun. [yl/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG