Tautan-tautan Akses

Dua Diaspora Indonesia Angkat Isu Rasisme dan Xenofobia di Era Corona Lewat Karya Foto


Karya seni foto diaspora Indonesia mengangkat isu rasisme dan xenofobia (Dok: IG/@edacyu, Eda Yu, Mashael, Christine Oh)
Karya seni foto diaspora Indonesia mengangkat isu rasisme dan xenofobia (Dok: IG/@edacyu, Eda Yu, Mashael, Christine Oh)

Dua diaspora Indonesia di AS, Eda Yu dan Reinhardt Kenneth, menyerukan isi hati mereka terkait isu rasisme dan xenofobia alias ketakutan terhadap warga asing, yang mencuat di tengah pandemi virus corona, melalui karya foto yang berhasil mendapat sorotan media lokal dan mengundang komentar publik.

Gerah akan berbagai pemberitaan seputar pandemi virus corona, khususnya yang terkait dengan isu rasisme dan xenofobia terhadap komunitas Asia atau Amerika keturunan Asia, fotografer fesyen asal Indonesia, Reinhardt Kenneth di Los Angeles, lalu membentuk tim untuk sebuah proyek foto bertajuk #HateisaVirus alias kebencian adalah virus.

“Saya menuangkan segala amarah, ketakutan, dan rasa sakit hati saya ke dalam seni, ke dalam apa yang bisa saya kerjakan dengan baik, yaitu fashion photography,” ujar fotografer kelahiran tahun 1997 ini.

Reinhardt Kenneth, fotografer fesyen asal indonesia di Los Angeles (dok: Reinhardt Kenneth)
Reinhardt Kenneth, fotografer fesyen asal indonesia di Los Angeles (dok: Reinhardt Kenneth)

Kegelisahannya ini juga dipicu oleh berbagai cerita dari teman-temannya yang adalah warga Amerika keturunan Asia, yang kerap mengalami pelecehan di tengah pandemi virus corona.

“Aku punya teman yang tinggal di New York. Tiap kali dia dan teman-temannya naik subway (red: kereta bawah tanah), selalu dilecehkan dengan perkataan seperti ‘itulah akibatnya kalau makan kucing, anjing, dan kelelawar,’ padahal sebagian besar orang-orang ini adalah warga Amerika, sebagian besar belum pernah makan kelelawar atau yang lainnya. Itu yang udah generalisasi, kan?” tegas pria yang sudah menggeluti dunia fotografi sejak masih berumur 14 tahun ini.

Salah satu hasil karya fotonya yang mengangkat isu xenofobia menjadi sorotan media local di Amerika, bahkan mengundang komentar publik. Foto ini menampilkan dua model keturunan Asia berbusana megah dan mengenakan masker. Di belakang mereka terpampang poster-poster dengan pesan seperti “I am not a virus” atau saya bukan virus.

Foto bertajuk #HateisaVirus karya fotografer Indonesia, Reinhardt Kenneth di Los Angeles (dok: Reinhardt Kenneth)
Foto bertajuk #HateisaVirus karya fotografer Indonesia, Reinhardt Kenneth di Los Angeles (dok: Reinhardt Kenneth)

Karya fotonya ini tidak hanya sangat mengena di hati para warga keturunan Asia yang pernah mengalami perlakuan buruk di era pandemi virus corona, tetapi juga orang-orang yang pernah mengalami diskriminasi.

“Foto ini berhasil merangkumkan ide yang ingin saya tuangkan. Foto ini tampak seperti kerusuhan, tapi ini adalah kerusuhan untuk cinta, kebaikan, kasih, dan bukan berdasarkan kekerasan. Ini adalah tanda solidaritas dan persatuan,” katanya.

Merupakan suatu kebanggaan bagi Reinhardt ketika melihat bahwa hasil karyanya ini bisa memberikan dampak yang besar dalam kehidupan seseorang, juga memberikan keberanian bagi para korban pelecehan dan kejahatan kebencian untuk membuka diri dan bersuara.

“Banyak banget orang yang udah step-up, dan meninggalkan komentar, bertukar pikiran, berdebat di kolom komentar, dan mengirim pesan langsung ke aku dan menyampaikan kisah pribadinya,” ceritanya.

Foto bertajuk #HateisaVirus karya fotografer Indonesia, Reinhardt Kenneth di Los Angeles (dok: Reinhardt Kenneth)
Foto bertajuk #HateisaVirus karya fotografer Indonesia, Reinhardt Kenneth di Los Angeles (dok: Reinhardt Kenneth)

Tidak hanya sebuah foto yang bagus atau kesuksesan yang ingin diraihnya. Cita-cita Reinhardt adalah menginspirasi publik melalui hasil karyanya.

“Aku ingin, banyak anak-anak muda di sana, di luar, yang lihat (foto saya) itu bisa terinspirasi atau bisa setidaknya mengubah kehidupan mereka."

Eda Yu Ceritakan Kisah Pelecehan dan Kejahatan Kebencian Lewat Foto

Kegelisahan yang sama juga dirasakan oleh diaspora Indonesia, Eda Yu yang tinggal di kota New York. Perempuan yang berprofesi sebagai jurnalis dan penulis ini melihat masih kurangnya karya seni yang menyuarakan isu seputar sentimen anti Asia, xenofobia, dan kekerasan rasial yang semakin sering terjadi di tengah pandemi virus corona.

Bersama kedua rekannya, Mashael dan Christine Oh, Eda membuat proyek foto yang menceritakan kembali beberapa insiden kejahatan kebencian yang dialami oleh masyarakat keturunan Asia di Amerika di tengah pandemi ini, dimana ia menjadi model proyek foto tersebut.

Karya seni foto diaspora Indonesia mengangkat isu rasisme dan xenofobia (Dok: IG/@edacyu, Eda Yu, Mashael, Christine Oh)
Karya seni foto diaspora Indonesia mengangkat isu rasisme dan xenofobia (Dok: IG/@edacyu, Eda Yu, Mashael, Christine Oh)

Salah satu fotonya bercerita mengenai seorang perempuan Asia yang dipukul di bagian mukanya, karena tidak mengenakan masker saat berada di luar.

Publik pun menanggapi unggahan fotonya di akun media sosial Eda dengan positif, walau ada juga beberapa orang yang memberikan komentar miring.

“Banyak orang dari berbagai komunitas, bahkan yang bukan keturunan Asia pun ikut menyebarkan unggahan saya. Mereka mengajak komunitasnya untuk menghentikan kejahatan berdasar ras,” ujarnya.

Eda Yu berharap, proyek fotonya ini bisa mengena di hati warga Amerika keturunan Asia seperti dirinya dan meningkatkan kesadaran komunitas mengenai isu ini.

“Ini adalah saatnya untuk kelompok yang berbeda bersatu dan membela, serta tidak menghakimi orang yang tidak bersalah.”

Kejahatan Kebencian Terhadap Warga Amerika Keturunan Asia Meningkat di Era Corona

Berdasarkan laporan yang diterima oleh sejumlah organisasi masyarakat Amerika keturunan Asia di Amerika Serikat, kejahatan kebencian meningkat tajam di tengah pandemi virus corona. Hal ini diakui oleh John Yang, presiden dan direktur eksekutif organisasi Asian Americans Advancing Justice yang mengedepankan hak-hak sipil dan hak asasi manusia dari warga Amerika keturunan Asia, yang kantornya berpusat di Washington, D.C.

“Ini adalah para korban yang mengalami insiden kebencian dan secara sukarela melaporkan diri. Selama beberapa minggu terakhir ini terdapat sebanyak 1,500 kasus. Ini menunjukkan bahwa masalah ini sudah menjadi isu biasa di Amerika Serikat,” ujar John Yang kepada VOA.

John Yang menyayangkan beberapa pejabat tinggi tertentu yang menggunakan kata-kata yang tidak dikenal oleh ahli medis dan ilmuwan, seperti virus China, flu China, atau ‘Kung-flu.’

“Kata-kata ini menjadi stigma di komunitas Asia dan memicu persepsi yang salah mengenai penyakit dan virus (corona). Ini sudah jelas kondisi medis,” jelasnya.

Tidak hanya kejahatan kebencian yang meningkat, hal ini juga berdampak besar kepada sektor usaha kecil masyarakat Amerika keturunan Asia, seperti restoran dan supermarket, yang dikarenakan oleh xenofobia.

Asian Americans Advancing Justice kini tengah berupaya untuk membantu menghentikan insiden kebencian, salah satunya melalui webinar dan pelatihan seputar apa yang bisa dilakukan oleh para pengamat insiden kebencian, untuk melemahkan situasi dan melindungi korban.

“Bersama-sama kita semua menghadapi pandemi ini, ketidakpastian ini. Kita harus mencoba menggunakan ini sebagai momen pemersatu.” [di/aa]

XS
SM
MD
LG