Tautan-tautan Akses

Perempuan Penyintas Bencana di Sulteng Desak Pemenuhan Hak atas Tempat Tinggal yang Layak dan Aman


 Suasana pelaksanaan kegiatan Temu Perempuan Penyintas yang dilangsungkan di aula gedung Inspektorat Provinsi Sulawesi Tengah (3/12/2019) Foto : Yoanes Litha
Suasana pelaksanaan kegiatan Temu Perempuan Penyintas yang dilangsungkan di aula gedung Inspektorat Provinsi Sulawesi Tengah (3/12/2019) Foto : Yoanes Litha

Kebutuhan tempat tinggal yang layak dan aman, serta jaminan perlindungan dari kekerasan menjadi harapan yang disuarakan dalam kegiatan Temu Perempuan Penyintas di Palu, Sulawesi Tengah.

Kegiatan Temu Perempuan Penyintas, 2 dan 3 Desember 2019, menjadi ruang bagi para perempuan untuk menyampaikan beragam persoalan yang mereka hadapi, setelah selama satu tahun dua bulan terakhir, tinggal di lokasi-lokasi pengungsian yang berada di Palu, Sigi dan Donggala.

Kegiatan ini diorganisasi oleh relawan-relawan yang tergabung dalam Pelatihan Vokasi yang difasilitasi oleh Solidaritas Perempuan Palu dan Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan, sebagai bagian dari rangkaian peringatan 16 hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) pada tanggal 25 November - 10 Desember 2019.

Srihartini (50) asal Kelurahan Talise, kota Palu mengeluhkan kesulitan ekonomi yang dirasakannya pascabencana alam tsunami yang membuatnya kehilangan rumah tinggal. Kini bahkan untuk membayar tagihan listrik dan air pun ia merasa kesulitan.

“Memang ibu uang air itu cuma lima belas ribu rupiah, tapi dengan keadaan kami yang morat-marit, bagaimana ceritanya itu, untuk air yang lima belas ribu itu, kita ngos-ngosan (sulit) cari, karena banyak teman-temannya kami yang tidak ada pekerjaan, termasuk saya, karena rumah saya habis total” ujar Srihartini dengan nada sedih.

Temu Perempuan Penyintas bencana yang dilangsungkan di aula gedung Inspektorat Provinsi Sulawesi Tengah (3/12/2019) Foto : Yoanes Litha
Temu Perempuan Penyintas bencana yang dilangsungkan di aula gedung Inspektorat Provinsi Sulawesi Tengah (3/12/2019) Foto : Yoanes Litha

Fasilitas toilet dan kamar mandi, ketersediaan air bersih yang terbatas serta kurangnya sarana penerangan pada malam hari, juga menjadi permasalahan yang dikeluhkan Ramlah yang rumahnya rusak akibat likuefaksi di desa Sibalaya Barat, Kabupaten Sigi.

“Jadi dibangun huntara kita dihidupkan tapi tidak ada airnya, kita dimatikan pelan-pelan, kemudian sanitasi yang sangat-sangat buruk saya katakan. MCK-MCK (Mandi Cuci Kakus) yang ada itu tidak dilengkapi dengan lampu penerangan, alat-alat kebersihan. Kita kalau mau ke WC tengah malam, kita perempuan was-was,” ungkap Ramlah.

Nurhayati asal desa Lero, Kabupaten Donggala, mengatakan dengan ukuran hunian sementara yang seluas empat kali empat meter persegi, terasa sangat sempit untuk ditinggali bersama suami dan kedua anak putrinya yang berusia remaja. Oleh karenanya ia sangat berharap pemerintah dapat segera membangunkan hunian tetap yang jauh lebih layak untuk ditinggali.

Perempuan Penyintas Bencana di Sulteng Desak Pemenuhan Hak atas Tempat Tinggal yang Layak dan Aman
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:31 0:00

“karena tidak menutup kemungkinan selama tinggal di huntara tidak menjami keselamatan dan keamanan bagi kami, jadi yang ingin saya aspirasikan di sini menuntut kepada pemerintah kapan kejelasan kami mau dibangunkan huntap yang dari kabupaten Donggala,” ungkap Nurhayati.

Peningkatan kasus Kekerasan berbasis gender dan perkawinan anak

Ihsan Basir, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sulawesi Tengah dalam pertemuan itu mengakui keberadaan hunian-hunian sementara yang tidak responsif gender, khususnya untuk memperhatikan kebutuhan perempuan terhadap ketersediaan toilet dan kamar mandi yang harusnya dipisah dari laki-laki. Kekurangan-kekurangan itu menurutnya sudah disampaikan kepada kementerian PUPR serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

“Ternyata perempuan itu, kalau laki-laki membutuhkan satu toilet maka perempuan dua. Satu banding dua mestinya dan itu sudah kita masukkan ke PUPR karena memang perempuan lebih membutuhkan waktu yang lebih lama, jumlah air yang lebih banyak,” jelas Ihsan

Hunian-hunian sementara yang tidak responsif gender mempengaruhi kenyamanan dan rasa aman perempuan. Ihsan mengatakan pendataan yang dilakukan melalui tenda ramah perempuan dan anak yang didirikan di 12 lokasi mencatat 115 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang meliputi kasus pemerkosaan, percobaan pemerkosaan, pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.

Ihsan Basir Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sulawesi Tengah saat menjelaskan peningkatan kasus perkawinan usia anak di huntara dalam kegiatan Temu Perempuan Penyintas (3/12/2019) Foto : Yoanes Litha
Ihsan Basir Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sulawesi Tengah saat menjelaskan peningkatan kasus perkawinan usia anak di huntara dalam kegiatan Temu Perempuan Penyintas (3/12/2019) Foto : Yoanes Litha

Di sisi lain pihaknya juga mendapatkan terjadinya 82 kasus perkawinan usia anak. Jumlah itu menurutnya masih bisa lebih tinggi karena tenda ramah perempuan dan anak hanya ada di 12 lokasi dari jumlah 76 lokasi pengungsian yang berada di Palu, Sigi dan Donggala.

“Nah, ini kemudian menjadi problem yang sangat kita dalami, mengapa kemudian terjadi? Bukan hanya persoalan pelecehan dan perkosaan tapi juga perkawinan anak yang meningkat. Kasusnya sudah mencapai 82 kasus yang dilaporkan secara resmi di 12 titik itu,” kata Ihsan.

Ihsan mengatakan perlu dilakukan sejumlah perbaikan di hunian sementara diantaranya dengan memperbanyak jumlah toilet dan kamar mandi yang terpisah antara laki-laki dan perempuan serta penerangan yang memadai pada malam hari, membangun lebih banyak pos ramah perempuan serta ruang ekspresi untuk anak dan remaja di kompleks hunian sementara. Pihaknya sudah mengusulkan kepada pemerintah pusat agar Sulawesi Tengah dijadikan payung proyek mekanisme baku penanganan bencana responsif gender di Indonesia.

Bupati Sigi Irwan Lapata (berkacamata), mengamati miniatur hunian tetap (huntap) tipe 36 yang akan dibangun sebanyak 500 unit, bantuan dari Habitat Humanity Indonesia. (2/12/2019) Foto : Yoanes Litha
Bupati Sigi Irwan Lapata (berkacamata), mengamati miniatur hunian tetap (huntap) tipe 36 yang akan dibangun sebanyak 500 unit, bantuan dari Habitat Humanity Indonesia. (2/12/2019) Foto : Yoanes Litha

Organisasi nonpemerintah bantu pemenuhan huntap

Hingga kini berbagai pihak masih terus bekerja untuk membangun hunian-hunian tetap bagi kebutuhan warga yang harus direlokasi dari zona merah tsunami, likuefaksi dan berada di zona patahan sesar Palu Koro, tetapi juga pembangunan hunian tetap di situ (tanpa relokasi). Salah satunya dilakukan oleh Habitat for Humanity Indonesia yang pada 3 Desember 2019 memulai pelaksanaan pembangunan 150 hunian tetap tahan gempa di desa Lolu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Organisasi non-profit yang merupakan bagian dari Habitat for Humanity International yang berasal dari Amerika Serikat itu optimis untuk membangun 500 unit hunian tetap hingga tahun 2021 mendatang.

“Ini memenuhi standar konstruksi, tahan gempa, jadi desain sudah kita tentukan. Ini tipe 36 meter persegi, ada dua kamar dan ada toiletnya juga,” kata Helbert Barimbing, Chief of Party Disaster Response Habitat for Humanity Indonesia.

Diharapkan dengan tersedianya hunian tetap itu, akan membantu pemulihan kehidupan warga terdampak bencana seperti sediakala. Memasuki akhir tahun 2019, organisasi itu telah membangun 1039 hunian sementara, 13 MCK umum, 400 toilet keluarga serta pembangunan fasilitas air bersih yang melayani sekitar 700 keluarga di wilayah Kabupaten sigi. (yl/ka)

Recommended

XS
SM
MD
LG