Tautan-tautan Akses

Warga Uighur Temukan Rasa Aman di AS


Seorang pria beretnis Uighur di Turpan, Xinjiang, 31 Oktober 2013. (Foto: Reuters/Carlos Barria)
Seorang pria beretnis Uighur di Turpan, Xinjiang, 31 Oktober 2013. (Foto: Reuters/Carlos Barria)

Para pejabat PBB dan aktivis HAM menyatakan China terus meningkatkan persekusinya terhadap warga etnis Uighur. Mereka mengurung hingga satu juta orang anggota kelompok etnis yang sebagian besar muslim itu dalam kondisi yang oleh para pengamat digambarkan mirip dengan kamp konsentrasi. Banyak di antara mereka yang berhasil meloloskan diri dari penindasan itu pada akhirnya memilih untuk bermukim di kawasan Washington DC. Kini Washington menjadi tempat tinggal terbesar komunitas Uighur di Amerika Serikat.

Di sebuah taman di pinggiran Washington, tepatnya di kawasan Fairfax, Virginia, anak-anak Uighur terbebas dari teror yang dialami para orang tuanya di tanah kelahiran mereka di provinsi Xinjiang, China. Di sana, anak-anak tersebut bebas bermain dan berbicara dalam bahasa Uighur, suatu hal yang tidak akan mungkin mereka lakukan di tanah air mereka sendiri.

Irade Kashgary adalah salah seorang pendiri sekolah bahasa Uighur Ana Care & Education, di kawasan utara negara bagian Virginia. Aktivis Uighur itu mengatakan kegembiraannya atas kebebasan tersebut.

“Saya gembira karena saya memiliki kebebasan ini dan kemampuan untuk berbicara terus terang untuk keluarga saya dan warga Uighur. Tetapi pada saat bersamaan, rasanya ada sesuatu yang hilang. Pada waktu kita tidak memiliki akses ke identitas kita, ke tanah air kita, kita tidak bisa merasa utuh sepenuhnya," ujar Irade Kashgary.

Sementara bagi Erik Jalil, warga Amerika keturunan Uighur yang berusia 18 tahun, maupun anak-anak pengungsi yang lari menyelamatkan diri ke Amerika, tanah air seperti mimpi yang samar-samar.

“Kekecewaan terbesar saya adalah saya tidak akan dapat kembali. Itu adalah tempat di mana saya berasal. Saya selalu ingin melihat tempat orang tua saya tumbuh besar. Mereka selalu menggambarkan betapa indahnya tempat itu," ujar Erik Jalil yang juga aktivis Uighur itu.

Aktivis HAM Omer Kanat mengkhawatirkan kemungkinan tidak adanya pengungsi yang akan kembali jika China melanjutkan kampanye kolonisasinya.

“Situasi di sana digambarkan oleh para pakar barat sebagai genosida kultural, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Itulah yang terjadi di kawasan terhadap bangsa Uighur," ujar Omer Kanat, Direktur Uighur Human Rights Project.

Amerika telah menawari warga Uighur tempat yang aman untuk berlindung dan para anggota Kongres Amerika telah memberikan pernyataan dukungan dengan legislasi yang mengecam pelanggaran HAM di Xinjiang.

Atas hal tersebut, Ketua DPR Amerika Nancy Pelosi menegaskan, “Sekitar tiga juta orang Uighur berada dalam kamp-kamp pendidikan… apa? Dan mengapa dunia tidak angkat bicara? Kita harus melakukannya.”

Sementara itu Senator Marco Rubio dari Partai Republik menyatakan bahwa penindasan China terhadap keyakinan agama dan komunitas agama memang nyata.

"Memang jahat. Ini terlalu mengerikan untuk diabaikan," ujarnya.

Meski demikian, sejauh ini, kata-kata mereka belum mengarah pada tindakan.

“Amerika Serikat tidak dapat berbuat banyak karena mereka harus mempertahankan hubungan dengan China, tetapi jelas saya menginginkan lebih banyak dukungan dari Amerika Serikat," ujar Erik Jalil.

Sangat ironis. Sewaktu para pengungsi menikmati kedamaian di tempat tinggal baru, ternyata banyak orang Uighur yang mengatakan hati mereka masih pedih karena tidak tahu kapan mereka dapat melihat tanah airnya lagi. [uh/ab]

XS
SM
MD
LG