Tautan-tautan Akses

UNICEF: Anak-anak Pengungsi Rohingya Kehilangan Masa Depan yang Layak


Anak-anak pengungsi Rohingya belajar dengan fasilitas yang kurang layak di kamp pengungsi Cox's Bazar, Bangladesh (foto: ilustrasi).
Anak-anak pengungsi Rohingya belajar dengan fasilitas yang kurang layak di kamp pengungsi Cox's Bazar, Bangladesh (foto: ilustrasi).

Hasil kajian badan PBB untuk Dana Anak-Anak (UNICEF) menunjukkan lebih dari setengah juta anak pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh, tidak memperoleh pelajaran keterampilan hidup yang mereka butuhkan untuk mempersiapkan mereka menghadapi masa depan atau melindungi mereka dari pelecehan dan eksploitasi saat ini.

Ratusan ribu anak Rohingya mendekam dalam kamp-kamp pengungsi yang kotor dan penuh sesak di Cox's Bazar selama dua tahun - sejak eksodus massal 745 ribu pengungsi yang melarikan diri dari penganiayaan dan kekerasan di Myanmar dimulai.

Badan PBB untuk Dana Anak-Anak (UNICEF) melaporkan, lebih dari seperempat juta anak hingga usia 14 tahun mendapat pendidikan non-formal, sementara lebih dari 25 ribu lainnya tidak mendapat pendidikan.

Penulis laporan UNICEF itu, Simon Ingram, mengatakan remaja paling terimbas. Menurutnya, 97 persen anak, usia 15 hingga 18 tahun, tidak bersekolah, membuat mereka berisiko.

“Kalau kita menemui remaja-remaja di kamp, mereka berbicara tentang bahaya yang mereka hadapi, terutama pada malam hari, ketika pengedar Narkoba beroperasi, dan perkelahian antar-geng dilaporkan rutin terjadi. Kasus-kasus perdagangan manusia juga dilaporkan, meskipun sulit diketahui. Kamp bisa sangat membahayakan bagi anak perempuan dan perempuan,” kata Ingram.

UNICEF dan mitranya telah mendidik lebih dari 190 ribu anak Rohingya di lebih dari 2.000 pusat. Badan-badan itu mengimbau pemerintah Myanmar dan Bangladesh agar mengizinkan penggunaan sumber daya pendidikan nasional kedua negara itu untuk memberi pendidikan yang lebih terstruktur bagi anak-anak Rohingya.

Kepada VOA, Ingram mengatakan, UNICEF mengimbau pemerintah Myanmar agar memberi pendidikan kepada anak-anak di kamp-kamp pengungsi. Sampai sekarang, ia mengatakan, anak-anak telah diajarkan bahasa Birma oleh guru sukarela dari populasi pengungsi.

“Dengan niat terbaik di dunia sekalipun, itu tidak sama dengan menghadirkan guru yang terlatih dengan baik, orang yang berpengalaman menyampaikan kurikulum pemerintah Myanmar sendiri. Jadi, itulah yang benar-benar kami inginkan dan itulah yang saat ini sedang kami bicarakan dengan pemerintah Myanmar dan kami berharap, kami akan menerima tanggapan positif,” tambahnya.

Ingram mengatakan, sangat penting bagi anak-anak pengungsi untuk diajarkan bahasa Burma karena itu adalah bahasa yang akan mereka butuhkan seandainya dan jika mereka pulang ke Myanmar. Sayangnya, ia mencatat, remaja Rohingya akan terus hidup dalam ketidak-jelasan sampai mereka aman untuk pulang. Ia mengakui, pulang bukanlah kemungkinan yang realistis dalam waktu dekat.(ka/jm)

Recommended

XS
SM
MD
LG