Tautan-tautan Akses

Gugatan Kivlan Zen, Presiden Didesak Bentuk Pengadilan HAM Ad Hoc


Koalisi masyarakat sipil saat menggelar konferensi pers soal gugatan Kivlan Zen di kantor KontraS, Kamis, 15 Agustus 2019. (Foto: dokumentasi KontraS)
Koalisi masyarakat sipil saat menggelar konferensi pers soal gugatan Kivlan Zen di kantor KontraS, Kamis, 15 Agustus 2019. (Foto: dokumentasi KontraS)

Koalisi masyarakat sipil mendesak Presiden Joko Widodo untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc guna menyelesaikan pelanggaran HAM berat menyusul adanya gugatan Kivlan Zen terhadap Wiranto.

Koalisi masyarakat sipil menilai gugatan perdata Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa (PAM Swakarsa) yang diajukan Kivlan Zen terhadap Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto dapat memperkuat bukti pelanggaran HAM dalam Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Terlebih kata Staf Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Dimas Bagus Arya, Kivlan dalam gugatan tersebut mengakui telah membentuk, mendanai dan mengerahkan PAM Swakarsa.

Sementara posisi Wiranto sebagai Panglima ABRI yang menjadi atasan Kivlan kala itu patut dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan prinsip komando di militer.

"Di salah satu poin itu ada semacam surat perintah untuk pembentukan Pam Swakarsa yang menjadi salah satu aktor yang menyebabkan tewasnya masyarakat sipil dan mahasiswa ketika peristiwa Semanggi I dan Semanggi II," jelas Dimas Bagus di kantor Kontras, Jakarta, Kamis (15/8).

Dimas menambahkan gugatan ini juga dapat menjadi rujukan bagi Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dalam penyidikan dan penuntutan kasus yang mandek di Kejaksaan Agung. Karena itu, penting bagi, kedua negara ini segera memanggil Kivlan Zen dan Wiranto untuk dimintai keterangan. Tidak terkecuali melakukan upaya pemanggilan paksa kepada keduanya sebagai individu yang diduga bertanggungjawab dalam kasus pelanggaran HAM berat ini.

Sementara itu, Maria Katarina Sumarsih, ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas dalam Tragedi Semanggi I, mendesak Presiden Jokowi untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc. Sumarsih juga berharap presiden berani memerintahkan Jaksa Agung untuk menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM pada sisa akhir kepemimpinannya.

Sumarsih. (Foto: VOA/Sasmito)
Sumarsih. (Foto: VOA/Sasmito)

"Presiden Habibie saat peristiwa terjadi juga menyatakan bahwa selaku presiden akan mengusut penembakan mahasiswa di Semanggi dengan seadil-adilnya sesuai hukum yang berlaku. Tetapi sudah 20 tahun tidak ada kemajuan apa-apa. Presiden SBY dan presiden Jokowi juga menjanjikan seperti itu," jelas Sumarsih.

Menanggapi hal ini, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ifdhal Kasim mengatakan, pemerintah tidak akan tergesa-gesa mengambil sikap terkait gugatan Kivlan Zen kepada Wiranto. Menurutnya, pemerintah akan mengamati terlebih dahulu jalannya persidangan kasus ini sebelum mengambil kebijakan.

"Kita mengamati saja perkembangan yang terjadi itu, kalau memang yang terjadi di pengadilan bisa dijadikan bukti. Tentu itu akan punya dampak, bisa digunakan Kejaksaan dan Komnas HAM untuk menyelesaikan kasus yang disebutkan Kivlan," kata Ifdhal saat dihubungi VOA, Jumat (16/8).

Kendati demikian, Ifdhal juga kurang meyakini gugatan Kivlan ini akan membantu dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Sebab, selama ini Kivlan tidak mau memenuhi panggilan Komnas HAM guna memberikan keterangan.

Kivlan Zen menggugat perdata Wiranto ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Wiranto dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembentukan Pam Swakarsa pada tahun 1998. Sidang perdana gugatan telah dimulai Kamis (15/8) kemarin.

Dalam gugatannya, Kivlan menuntut ganti rugi sebesar Rp1,1 triliun. Alasannya, Kivlan telah mengeluarkan uang sebesar Rp8 miliar untuk pembentukan Pam Swakarsa. Namun, uang tersebut tidak pernah diganti atasannya yakni Wiranto. [sm/lt]

Recommended

XS
SM
MD
LG