Tautan-tautan Akses

Kehadiran Pesawat Pembom AS di Laut China Selatan Tenangkan Asia Tenggara


Dua pembom B-52H Stratofortress Angkatan Udara AS dan dua Koku Jieitai (Angkatan Pertahanan Diri Jepang) F-15 melakukan misi bilateral pelatihan militer rutin di sekitar Jepang. (Foto Courtesy)
Dua pembom B-52H Stratofortress Angkatan Udara AS dan dua Koku Jieitai (Angkatan Pertahanan Diri Jepang) F-15 melakukan misi bilateral pelatihan militer rutin di sekitar Jepang. (Foto Courtesy)

Penerbangan pesawat-pesawat bomber Amerika di atas wilayah Laut China Selatan yang disengketakan dapat meningkatkan keamanan negara-negara Asia Tenggara yang juga mengklaim kawasan perairan itu. Pesawat-pesawat itu dapat membantu memantau adakah ekspansi maritim oleh China, pemain utama dalam sengketa itu.

Para analis meyakini penerbangan berkala pesawat pembom B-52 akan memberi perlindungan bagi Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam dari Beijing, yang menekankan klaim kedaulatan maritimnya di Laut China Selatan yang kaya sumberdaya.

Komando Pasifik Angkatan Udara Amerika pekan lalu menyatakan bahwa pesawat pembom Stratofortress “melancarkan operasi” di Laut China Selatan dan Samudra Hindia pada 23 dan 25 September. Pesawat jenis B-52 itu bertolak dari Guam untuk melakukan “misi pelatihan rutin,” sebut pernyataan itu.

Yun Sun, peneliti senior dalam Program Asia Timur di lembaga kajian Stimson Center, Washington, mengatakan, negara-negara pengklaim di Asia Tenggara seharusnya merasa berani dan bersemangat oleh penerbangan tersebut, yang menunjukkan dedikasi dan kesungguhan Amerika dalam menghadapi perilaku China di kawasan itu.

Militer China pekan lalu memprotes langkah yang disebutnya “provokatif” dan menyerukan aksi tindak lanjutnya.

China mengklaim sekitar 90 persen kawasan Laut China Selatan sebagai miliknya, membuat negara itu memimpin dalam akses ke wilayah yang kaya sumber daya ikan, cadangan bahan bakar dan jalur pelayaran. Empat negara Asia Tenggara beserta Taiwan mengklaim seluruh atau sebagian wilayah laut itu, tetapi tidak dapat menandingi kekuatan militer China .

Washington, yang tidak mengklaim laut seluas 3,5 juta kilometer persegi itu menegaskan bahwa Laut CinaSelatan tetap terbuka bagi pelayaran internasional. Pemerintah Amerika secara berkala mengirim pesawat militer di laut itu dan sekitarnya, menambah jalur pelayaran kapal-kapal angkatan laut yang disebutnya sebagai pelaksanaan kebebasan navigasi.

Pada tahun 2015, China memprotes penerbangan dua pesawat pembom B-52 Amerika di dekat kepulauan Spratly di Laut China Selatan sebagai suatu “provokasi yang seharusnya dicegah,” sebut kantor berita resmi Beijing Xinhua. Juni lalu, Angkatan Udara Amerika menerbangkan dua B-52 ke tempat yang sama dari pangkalan di Samudra Hindia, lapor Air Force Times situs internetnya ketika itu.

Washington menggunakan penerbangan B-52 sebagai taktik “menekan” terkait sengketa dagang kedua negara, kata Alan Chong dari S. Rajaratnam School of International Studies in Singapore. Pemerintah Amerika telah memungut pajak terhadap barang-barang impor China senilai 250 miliar dolar tahun ini.

Misi pesawat bomber itu juga adalah memperingatkan China agar tidak melakukan penguatan militernya di kawasan itu, jelasnya.

“Ini menciptakan lebih banyak ruang bermanuver bagi Pentagon dan pemerintahan Trump. Dan China, menurut saya, harus mengawasinya dengan cermat. Ini adalah perkembangan yang menurut saya akan disambut baik sebagian besar negara di Asia Tenggara, meskipun mereka tidak mengakuinya secara terbuka, karena ini adalah cara memberi isyarat kepada China bahwa mereka tidak boleh melakukan penguatan militer melebihi apa yang telah mereka lakukan,” jelasanya.

Negara-negara Asia Tenggara cenderung membungkam sewaktu Beijing menempatkan rudalnya di pulau-pulau kecil di sana, mengadakan latihan angkatan lautnya, dan mempertimbangkan pendirian stasiun-stasiun pembangkit listrik tenaga nuklir di sana. Langkah-langkah tersebut pada tahun lalu menyusul reklamasi besar-besaran untuk menyiapkan infrastruktur baru di pulau-pulau kecil itu.

China juga menolak putusan Mahkamah Arbitrase Internasional tahun 2016, dalam kasus yang diajukan Filipina, terkait landasan hukumnya untuk mengklaim laut yang membentang dari Hong Kong hingga ke Kalimantan. Beijing mengutip catatan-catatan sejarah untuk mendukung klaimnya.

Sebagian negara di Asia Tenggara itu kini menerima bantuan China , yang semakin membungkam kritik terhadap negara itu. Vietnam menerima turis China dalam jumlah amat besar, sementara Filipina akan menerima miliar dolar bantuan pembangunan dari China .

Para pejabat di Amerika awal tahun ini menyatakan mereka menghendaki Vietnam membeli lebih banyak lagi senjata Amerika. Juli lalu, dua kapal dan sebuah pesawat Amerika turut serta dalam latihan gabungan dengan Filipina di Laut China Selatan.

Para analis menyatakan kehadiran militer Amerika dapat mencegah China merebut pulau-pulau kecil lagi di laut tersebut.

Collin Koh, peneliti keamanan laut di Nanyang Technological University di Singapura mengatakan, “Penerbangan pesawat-pesawat bomber ini, bukan hal baru. Penerbangan itu telah dilakukan selama beberapa waktu ini, jadi ini dimaksudkan bukan hanya untuk memberi peringatan China , tetapi juga bagi para pelaku potensial lainnya di sekitar kawasan yang diperkirakan Amerika akan hadir di sana.”

Negara-negara Asia Tenggara menerima kehadiran militer Amerika karena mereka memperkirakan tidak ada konflik dengan Amerika Serikat, kata Jonathan Spangler, direktur South China Sea Think Tank di Taipei.

“Sudah jelas sebagian besar pengklaim di Laut China Selatan merasa tidak begitu terancam dengan kehadiran militer Amerika dibandingkan dengan kehadiran militer China . Akibatnya, kehadiran militer Amerika dapat lebih menenangkan dibandingkan dengan kehadiran mililiter China , yang dapat menimbulkan kegelisahan,” imbuhnya. [uh/ab]

XS
SM
MD
LG