Tautan-tautan Akses

Komnas Perempuan: 60 Persen Korban KDRT Hadapi Kriminalisasi


Data pengaduan Komnas Perempuan dari 2011 hingga Juni 2013 menunjukkan bahwa 60 persen korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami kriminalisasi.
Data pengaduan Komnas Perempuan dari 2011 hingga Juni 2013 menunjukkan bahwa 60 persen korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami kriminalisasi.

Undang-undang penghapusan KDRT kerap digunakan aparat penegak hukum untuk mengkriminalkan perempuan korban.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta aparat penegak hukum menghentikan praktik kriminalisasi dan diskriminasi terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Data pengaduan Komnas Perempuan dari 2011 hingga Juni 2013 menunjukkan bahwa 60 persen korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami kriminalisasi, 10 persen diantaranya dikriminalkan melalui Undang-undang penghapusan kekerasan di dalam rumah tangga (UU PKDRT).

Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati kepada VOA mengatakan UU No. 23/2004 tentang penghapusan kekerasan di dalam rumah tangga seharusnya dapat melindungi perempuan dan anak, yang merupakan pihak yang paling rentan di dalam rumah.

Kenyataannya, undang-undang tersebut justru malah kerap digunakan aparat penegak hukum untuk mengkriminalkan perempuan korban, ujarnya.

Menurutnya, kasus kekerasan dalam rumah tangga kerap diperlakukan sebagaimana kasus kriminal lainnya, dimana aparat penegak hukum hanya menggunakan perspektif normatif dan berdasarkan pemenuhan unsur-unsur delik pidana dan pengumpulan saksi serta alat bukti.

Oleh karena itu, tambahnya ketika terjadi pelaporan balik oleh pihak suami yang sebelumnya telah melakukan kekerasan, aparat meletakkan posisi perempuan korban justru sebagai pelaku kekerasan tanpa mengindahkan fakta kekerasan gender dalam relasi rumah tangga.

“Ketika terjadi kekerasan yang memuncak, ada perlawanan dari istri maka istri ini juga dilaporkan oleh suaminya ke kepolisian. Nah, kepolisian hanya melihat dan ini hampir disemua institusi penegak hukum, analisanya hanyalah analisa hukum. Nah kalau ini diproses secara hukum maka dia (istri) bisa menjadi tersangka, terdakwa dan terpidana. Sementara di dalam latar belakangnya dia sebagai korban bukan pelaku. Ini kemudian hak korban diletakkan dimana? Ini yang tidak berjalan sehingga menghambat pemulihan,” ujarnya akhir pekan lalu.

Sepanjang 2012 saja, tercatat 8.315 kasus kekerasan terhadap istri, atau 66 persen dari kasus yang ditangani. Hampir setengah, atau 46 persen, dari kasus tersebut adalah kekerasan psikis, 28 persen kekerasan fisik, 17 persen kekerasan seksual, dan 8 persen kekerasan ekonomi. Bentuk KDRT lain yang tengah marak dilaporkan dilakukan oleh pejabat publik adalah berupa kejahatan perkawinan.

Untuk itu, Komnas Perempuan meminta pimpinan institusi dan aparat penegak hukum berkomitmen untuk segera menghentikan praktik kriminalisasi korban dan berpegang teguh bahwa KDRT adalah kejahatan kemanusiaan.

“Dengan cara segera berkoordinasi ketika institusi penegak hukum itu untuk dalam proses menghentikan kriminalisasi. Yang kedua memasukkan di dalam SOP (prosedur operasi standar) penanganan perkara mekanisme analisasi sosial dan analisasi gender yang menjadi pertimbangan utama dalam penanganan kasus-kasus KDRT,” ujarnya.

Sementara itu, Asisten Deputi Penanganan Masalah Sosial Perempuan dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Hasan mengakui bahwa memang kebijakan yang ada saat ini belum maksimal memberikan perlindungan terhadap perempuan.

“Kadang-kadang kebijakan itu tidak ada manfaantnya untuk perempuan itu sendiri makanya kita anggap masih diskriminatif, belum terpenuhi kebutuhan perempuan,” ujarnya.

Recommended

XS
SM
MD
LG