Tautan-tautan Akses

Ratusan Pekerja Migran Menanti Kebebasan Seperti Siti Aisyah


Presiden Jokowi didampingi Menlu Retno Marsudi menerima Siti Aisyah, beserta orang tua dan kakaknya di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (12/3). (Foto: Biro Pers Setpres RI).
Presiden Jokowi didampingi Menlu Retno Marsudi menerima Siti Aisyah, beserta orang tua dan kakaknya di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (12/3). (Foto: Biro Pers Setpres RI).

Bebasnya Siti Aisyah yang bekerja di Malaysia dari ancaman hukuman mati, menerbitkan harapan bagi WNI yang bernasib sama. Mayoritas WNI yang berhadapan dengan hukum di luar negeri adalah Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Siti Aisyah pulang dengan seluruh penyambutan yang menyertainya. Di balik kisah ini, ada harapan dari ratusan WNI lain agar bernasib sama. Data Kementerian Luar Negeri mencatat, masih ada ratusan WNI terancam hukuman mati, terbanyak di Malaysia dan Arab Saudi. Mayoritas dari mereka adalah Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Iweng Karsiwen, Ketua Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi) melalui VOA, meminta kepada pemerintah Indonesia untuk bersungguh-sungguh dalam upaya ini. Karsiwen mengapresiasi pemerintahan Jokowi yang telah mampu membebaskan lebih dari 300 PMI dari hukuman mati. Namun, jumlah PMI yang menunggu nasib baik melalui upaya hukum dan diplomasi pemerintah juga masih cukup besar.

Ratusan Pekerja Migran Menanti Kebebasan Seperti Siti Aisyah
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:51 0:00

Karsiwen meminta pemerintah mencegah kasus hukum terjadi pada PMI, sejak sebelum keberangkatan. Pembekalan mengenai hukum negara penempatan menjadi faktor penting.

“Masalahnya selama ini buruh migran ketika berangkat keluar negeri banyak yang tidak tahu hukum di negara penempatan. Kemudian apa hak-hak dia ketika menghadapi masalah hukum. Kemana harus mengadu. Bagaimana harus bersikap kepada polisi ketika ditangkap. Bagaimana dia harus melapor. Itu masih minim. Karena di training centre, seperti pengalaman kita, itu dilatih bekerja tetapi belum dilatih ketika mengalami masalah hukum,” jelas Iweng Karsiwen.

Karsiwen menilai, pemerintah memberikan perhatian khusus dalam kasus Siti Aisyah. Salah satu faktornya adalah karena kasus ini menjadi perhatian internasional. Dalam kasus yang menimpa PMI lain, kata Karsiwen, yang terjadi bisa sebaliknya. Ada PMI yang dieksekusi tanpa notifikasi resmi. Ada pula yang baru diketahui kabar beritanya setelah masuk penjara bertahun-tahun. Banyak pula masalah yang muncul karena ketidakpahaman dari sisi bahasa hukum, sehingga PMI mengakui saja apa yang disampaikan polisi.

​“Saya menilai selama ini seperti itu. Kasus yang mendapat perhatian besar dari media, diurus dengan baik. Ketika lolos dari perhatian, banyak yang tidak tahu, atau tidak ada yang memberitakan, ya begitu saja prosesnya,” jelas Karsiwen.

Karsiwen mengusulkan ada program kunjungan regular perwakilan pemerintah ke penegak hukum negara penempatan. Dengan kunjungan itu, jika ada PMI bermasalah secara hukum, kasusnya akan diketahui dengan cepat. Pemerintah pun mampu mendampinginya sejak awal, dan berupaya semaksimal mungkin meringankan hukumannya.

Terkait bebasnya Siti Aisyah, kalangan DPR RI mendesak pemerintah melakukan diplomasi total untuk membebaskan ratusan PMI yang terancam hukuman mati. Data Kementerian Luar Negeri RI menunjukkan, sejak 2011-2018 terdapat 583 kasus terkait WNI di seluruh dunia yang terancamvonis mati. Saat ini, masih ada 188 kasus dalam penanganan, 392 kasus berakhir dengan vonis bebas dan tiga kasus berakhir dengan eksekusi.

Dari 188 kasus dalam penanganan, sebanyak 148 kasus terjadi di Malaysia, 20 kasus di Arab Saudi, 11 kasus di Cina, 4 kasus di Uni Emirat Arab, 2 kasus di Laos, 2 kasus di Singapura, dan 1 kasus di Bahrain.

Data Kemenlu 2018 menyebut, Indonesia memiliki 2,9 juta WNI di luar negeri, dimana 80 persen diantaranya adalah PMI. Karena itulah, kasus hukum menyangkut PMI cukup dominan dan membutuhkan perhatian lebih. Dari 148 kasus di Malaysia, 114 kasus diantaranya diancam hukuman mati. Sedangkan dari 20 kasus di Arab Saudi, 14 kasus terancam hukuman mati.

Masalah ini tak lepas dari kinerja Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Servulus Bobo Riti, Direktur Sosialisasi dan Kelembagaan Penempatan BNP2TKI memastikan lembaganya bekerja maksimal turut mencegah kasus hukum di kalangan PMI.

Servulus Bobo Riti. (Foto: dok pribadi)
Servulus Bobo Riti. (Foto: dok pribadi)

“Setiap pekerja migran Indonesia yang akan berangkat, terutama yang memenuhi jalur prosedural, mereka mengikuti program PAP, Pembekalan Akhir Pemberangkatan. Program PAP ini salah satu materi yang ditonjolkan adalah pengetahuan dan pemahaman secara singkat mengenai peraturan, hukum dan kebiasaan di negara tujuan. Apa yang wajib, apa yang boleh, dan apa yang tidak,” kata Servulus Bobo Riti.

Servulus menolak klaim, bahwa pemerintah memberikan perhatian lebih kepada kasus yang disorot media atau memperoleh perhatian internasional. Negara selalu hadir dalam setiap kasus, sejauh ada informasi resmi dari negara penempatan atau terdeteksi sejak dini. BNP2TKI selalu berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri untuk memastikan setiap PMI mendapatkanpendampingan hukum yang sama. Tidak ada kasus yang lebih penting dari kasus lain, dan semua tunduk pada sistem hukum negara penempatan.

“Siapapun PMI yang mengalami masalah hukum di negara penempatan, selalu kita sesuaikan dengan perkara yang dialami dan tunduk pada sistem hukum yang berlaku di sana. BNP2TKI dan Kemenlu wajib berupaya maksimal, itu artinya upaya pembebasan, atau minimal meringankan potensi hukuman,” lanjut Servulus.

Servulus memastikan, melindungi dan melayani warna negara Indonesia di luar negeri adalah tugas pemerintah. Khusus bagi PMI, proses keberangkatan melalui jalur resmi akanmemudahkan upaya tersebut. Karena itulah, program PAP kini menjadi syarat bagi PMI untuk bisa berangkat dan semestinya ini ditaati oleh mereka yang ingin bekerja di luar negeri. [ns/uh]

Recommended

XS
SM
MD
LG