Tautan-tautan Akses

Aksi Solidaritas Aceh untuk Jurnalis Korban Kekerasan Aparat di Makassar


Reza Nasser (kanan) ketua Solidaritas Jurnalis Aceh meminta Kapolri menindak tegas personilnya yang diduga terlibat tindak kekerasan terhadap jurnalis Makassar dalam Aceh Nov 14, 2014 (foto: Budi Nahaba, VOA Indonesian Service), Banda Aceh 11/14/2014
Reza Nasser (kanan) ketua Solidaritas Jurnalis Aceh meminta Kapolri menindak tegas personilnya yang diduga terlibat tindak kekerasan terhadap jurnalis Makassar dalam Aceh Nov 14, 2014 (foto: Budi Nahaba, VOA Indonesian Service), Banda Aceh 11/14/2014

Sejumlah organisasi dan aktivis pro-demokrasi di Aceh hari Jumat (14/11) menggelar aksi damai dan teaterikal yang mengecam aksi brutal aparat Polri terhadap sejumlah jurnalis saat aksi pengamanan demonstrasi menolak kenaikan harga bahan bakar minyak di Makassar, Kamis (13/11)

Salah seorang peserta aksi Yayan Zamzami dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh mengatakan Jumat (14/11), gelar Aksi Solidaritas Jurnalis Aceh berlangsung di pusat kota Banda Aceh, aksi menyerukan agar Kapolri dan jajaran menepati janjinya bertindak tegas terhadap aparatnya yang diduga melakukan aksi anarkis.

“Aksi solidaritas ini kami tujukan guna mendesak Kapolri agar menepati janjinya yang akan menindak prajuritnya yang (diduga) anarkis terhadap jurnalis di Makassar. Aksi yang sama digelar dari Aceh hingga Papua,” kata Yayan.

Media jaringan lokal Makassar melaporkan Kamis (13/11) bahwa personil polisi Makassar diduga bertindak anarkis dengan menganiaya para wartawan yang tengah melakukan peliputan. Tercatat tujuh jurnalis yang teridentifikasi mengalami kekerasan. Satu di antaranya, Waldy dari Metro TV, mengalami luka robek dan pendarahan di bagian kepala kiri depan. Waldy telah dilarikan petugas ke rumah sakit untuk mendapat perawatan intensif.

Sementara itu, enam wartawan lainnya masing-masing Iqbal Lubis (Koran Tempo), Ikrar Assegaf (Celebes TV), Asep (Rakyat Sulsel), Zulkarnain "Aco" (TV One), Rifki (Celebes Online), serta Fadly (media online kampus) juga mengalami tindak kekerasan.

Yayan Zamzami dari AJI Banda Aceh mengatakan, aksi gabungan Jumat mengutuk aksi premanisme yang dilakukan aparat polri di Makassar dan menyayangkan tindakan penegak hukum (polisi) gagal memahami Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang dengan jelas melindungi jurnalis dalam menjalankan tugasnya atau bekerja.

“Pasca bentrok aparat dengan pendemo Kamis, sejumlah jurnalis ingin mengambil gambar kondisi Wakapolres setempat yang jadi korban kekerasan pendemo, mengapa pula aparat memukul wartawan. Aparat polri harusnya lebih profesional tidak melampiaskan dendamnya kepada wartawan,” Kata Yayan.

Media setempat melaporkan, saksi mata melihat aparat (polisi) juga merampas peralatan kerja jurnalis, seperti kamera.

Pengamat masalah-masalah sosial Marini M Daood mengatakan cukup prihatin dengan timbulnya korban akibat aksi anarkis antara aparat dengan warga sipil dalam aksi demo tolak kenaikan BBM bersubsidi di Makassar.

“Agenda reformasi Polri jangan hanya dipahami di tingkat perwira (atasan) semata, namun bagaimana agar agenda reformasi juga dapat dijalankan oleh prajurit di lapangan,” kata Marini.

Marini mengatakan, reformasi di tubuh kepolisian diharap dilakukan lebih komprehensif, sementra aksi demo oleh mahasiswa perlu dilakukan lebih santun sehingga tidak memicu anarkis dengan aparat. Marini mendesak kapolri dan jajaran mengusut tuntas praktik kekerasan oleh parat polisi di lapangan terhadap jurnalis setempat.

Di provinsi Aceh, jajaran Kepolisian Daerah (Polda) Aceh memiliki sejumlah program, sebagai upaya mengkomunikasikan tugas fungsi polri di tengah masyarakat, sebagai pelindung dan pengayom dan bina keamanan ketertiban (Kamtibmas).

Juru Bicara Polda Aceh Gustav Leo mengatakan, guna meningkatkan pelayanan tugas fungsi, Polri melakukan secara reguler melakukan sosialisasi ke kampus- kampus dan sekolah-sekolah di seluruh Aceh.

“Melalui program “Saweu Sikula”, sekolah dan kampus kita kunjungi guna mengkomunikasikan apa yang dilakukan Polda dan jajaran, dalam rangka pemeliharaan Kamtibmas , atau pun memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.” Kata Gustav.

Praktisi hukum mengatakan, sejak diberlakukannnya UU Pers 15 tahun lalu , kasus kekerasan terhadap jurnalis hingga saat ini terus terjadi. AJI mencatat, sekitar 30 kasus kekerasan terjadi di Indonesia setiap tahunnya. Aparat penegak hukum seperti polisi hingga kini masih menjadi ancaman bagi jurnalis karena kerap terlibat sebagai pelaku kekerasan.

Recommended

XS
SM
MD
LG