WALHI Tuding Alih Fungsi Lahan Penyebab Banjir Bandang di Luwu Utara

  • Yoanes Litha

Kondisi rumah-rumah penduduk yang tertimbun lumpur di desa Radda, Kecamatan Baebunta, Luwu Utara, Sulawesi Selatan (16/7). (Foto: Zwaib Leibe/SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia)

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menilai bencana banjir bandang di Luwu Utara sebagai bencana ekologis yang disebabkan perubahan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

WALHI Sulawesi Selatan mengatakan, hutan seluas 22 ribu telah diubah fungsinya menjadi lahan perkebunan kelapa sawit sejak 2018. Perubahan fungsi ini, menurut WALHI, menjadi penyebab banjir bandang. Organisasi lingkungan itu mengatakan batang-batang kayu dalam jumlah besar yang ikut terbawa banjir ke kawasan permukiman masyarakat menjadi bukti kuat pengrusakan hutan di bagian hulu maupun daerah aliran sungai.

“Sangat terang benderang bahwa kerusakan lingkungan di kabupaten Luwu Utara yang kemudian menimbulkan bencana banjir bandang itu disebabkan karena pembukaan lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit,” kata Muhammad Al Amin, Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Selatan, Senin (20/7).

Eskavator bantuan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sedang membersihkan lumpur akibat banjir di Kabupaten Luwu Utara, Rabu, 15 Juli 2020. (Foto: Kementerian PUPR)

Kepada VOA, Al Amin mengungkapkan perubahan fungsi kawasan hutan menjadi areal perkebunan kelapa sawit itu menurunkan kemampuan kawasan hulu dan daerah aliran sungai dalam menampung curah hujan yang tinggi. WALHI kini sedang menginvestigasi perizinan pembukaan perkebunan sawit di tiga lokasi di hulu dan daerah aliran sungai.

WALHI sejak 2014 telah mengkampanyekan pentingnya menjaga kelestarian kawasan hutan di bagian utara Sulawesi Selatan yang disebut sebagai rimba terakhir. Al Alimin mengatakan kawasan hutan yang murni masih tertutup pepohonan dan ekosistem hutan hanya tersisa 1,3 juta hektar dan umumnya berada di Luwu Timur, Luwu Utara, Enrekang dan Toraja.

“Sehingga kami dengan segala upaya mendesak dan mengajak pemerintah provinsi dan kabupaten untuk menyelamatkan dan melindungi hutan terakhir Sulawesi Selatan yang berada di utara Sulawesi Selatan, salah satunya di Luwu Utara. Nah tapi faktanya di 2018 terjadinya pembukaan, kawasan hutan- artinya yah harus saya katakan kampanye kami masih terbilang gagal,” akui Al Amin.

Your browser doesn’t support HTML5

WALHI Tuding Alih Fungsi Lahan Penyebab Banjir Bandang di Luwu Utara

Dia menekankan bencana banjir bandang di Luwu Utara itu harus menjadi pembelajaran penting bahwa menjaga kelestarian hutan sama dengan menjaga kehidupan manusia dari bencana.

Yuli Utami, Kasubdit Kelembagaan DAS, Direktorat Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai pada kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjelaskan banjir bandang di Luwu Utara disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam yang dimaksud di antaranya adalah curah hujan yang cukup tinggi di daerah aliran sungai Balease yang intensitasnya di atas 100 milimeter per hari.

“Yang kedua adalah faktor manusia, adanya pembukaan lahan di hulu DAS Baliase dan penggunaan lahan masif berupa perkebunan kelapa sawit,” kata Yuli Utama dalam konferensi pers secara virtual, Minggu (19/7).

BACA JUGA: Korban Tewas Akibat Banjir Bandang di Luwu Utara Capai 36

KLHK merekomendasikan penekanan hukum terkait dengan pembukaan lahan di kawasan hutan lindung serta pemulihan lahan terbuka di bagian hulu dengan rehabilitasi hutan dan lahan.

Rokhis Khomarudin Kepala Pusat Penginderaan Jarak Jauh, LAPAN, mengatakan berdasarkan analisa citra satelit Landsat 2010 dan 2020 telah terjadi perubahan luas tutupan hutan besar-besaran di daerah aliran sungai Balease, Rongkong dan Amang Sang An.

Sebuah alat berat digunakan untuk mengeruk material lumpur yang menutupi badan jalan akibat banjir bandang di Masamba, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, 14 Juli 2020. (Foto: Tim SAR UNHAS Makassar)

“Menunjukkan adanya penurunan hutan primer sekitar 29 ribu hektar, kemudian peningkatan pertanian lahan basah sekitar 10.595 hektar dan peningkatan lahan perkebunan itu sekitar 2.261 hektar,” kata Rokhis dalam konferensi pers secara virtual.

Meskipun demikian, Rokhis menilai perubahan luas tutupan hutan itu bukan penyebab utama banjir bandang di Luwu Utara. Menurutnya,bencana alam itu lebih diakibatkan curah hujan yang tinggi, yang mengguyur wilayah itu sejak 12 hingga 13 Juli yang secara keseluruhan berlangsung selama 18 jam.

Basarnas Perpanjang operasi SAR selama tiga hari

Hingga Senin, 20 Juli 2020 upaya pencarian masih terus dilakukan terhadap korban yang hilang dalam bencana banjir bandang di Luwu Utara. Operasi SAR oleh TIM SAR gabungan itu telah diperpanjang selama tiga hari terhitung mulai Minggu, 19 Juli 2020.

“Operasi SAR sesuai prosedur selama tujuh hari, tapi di lokasi dilihat masih ada 13 orang dalam pencarian sehingga pemda setempat meminta Basarnas menambah waktu pencarian tiga hari ke depan,” kata Mustari, Kepala Basarnas Makassar.

Data terakhir yang dirilis Minggu menyebutkan jumlah korban tewas akibat banjir bandang mencapai 38 orang dengan enam di antara mereka belum terindentifikasi. [yl/ab]