Upaya Pemulihan Ekologi di Tengah Kepungan Tambang

Pemandangan dari udara bekas tambang di Kalimantan Timur, 18 November 2015. (Foto: Antara via Reuters)

Sejumlah kelompok masyarakat di beberapa daerah aktif menjaga dan memulihkan lingkungan yang rusak akibat pertambangan di berbagai daerah.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyebut inisiatif pemulihan lingkungan yang rusak akibat tambang, sekaligus menawarkan solusi ekonomi lain bagi masyarakat, banyak bermunculan di berbagai daerah. Salah satunya yang dilakukan Nissa Wargadipura dengan mendirikan pesantren ekologi Ath-Thaariq di Kabupaten Garut, Jawa Barat.

BACA JUGA: Luas Hutan Bakau di Pesisir Timur Sumatra Utara Terus Terdegradasi

Nissa mengatakan dia tergerak mendirikan pesantren ekologi karena resah dengan ancaman krisis pangan dan alih fungsi lahan pertanian di wilayahnya. Total ada sekitar 30 santri yang belajar di pesantren ekologi ini. Nissa kemudian memanfaatkan tanah sekitar satu hektare untuk kebutuhan pangan secara mandiri. Para santri diajarkan untuk mengolah pertanian dengan menggunakan benih lokal dan bertani organik.

Tangkapan layar pendiri pesantren ekologi Ath-Thaariq, Nissa Wargadipura. (Foto: Sasmito Madrim/Screengrab)

"Setelah mengelola 10 tahun pesantren ekologi Ath-Thaariq di mana 1 jengkal pun tanah yang menganggur dan itu di-blow up untuk terus menanam menggunakan benih warisan. dan itu berhasil hanya dengan 1 hektar," tutur Nissa Wargadipura dalam diskusi online, Kamis (28/5) malam.

Nissa menuturkan pesantren ekologi miliknya juga berusaha memulihkan ekologi dengan mengembalikan mata rantai makanan di alam. Semisal dengan menyediakan rumah ular dan burung hantu untuk mengatasi tikus di sawah.

Ia juga menerapkan sistem zonasi makanan seperti sawah untuk kebutuhan karbohidrat dan kolam ikan untuk pemenuhan protein, serta tanaman obat. Ia meyakini dengan cara seperti ini, keseimbangan ekologi dan ekonomi dapat tercapai tanpa harus mengalihfungsikan lahan.

"Zonasi herbal ada ditemukan di rumah-rumah ular, di rumpun-rumpun juga kami banyak menemukan tanaman obat. Ada serai, ada kenikir," tambahnya.

Para santri laki laki pada kelas sore, setelah mengaji, bersama belajar dengan Nissa Wargadipura di Kebun Vertikultur Pesantren Kebon Sawah. (Foto : Salwaa Khanza/pesantrenekologi.blogspot.com)

Ekopastoral

Alsis Goa, seorang Pastor dari Ordo Fransiskan juga terlibat dalam pendampingan masyarakat yang tersingkir karena industri tambang di Pulau Flores, Lembata, Sumba dan Timor di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Selain advokasi, ia mengembangkan ekopastoral yang fokus pada pengembangan pertanian organik, konservasi hutan, dan air, serta produksi pupuk dan pestisida organik.

BACA JUGA: Koalisi LSM Lingkungan Desak Gubernur Jatim Cabut Izin Tambang Tumpang Pitu

"Ekopastoral yang kami lakukan, itu sesuatu yang terkait keselarasan, keutuhan hidup dengan alam. Karena itu di dalam ekopastoral yang dikembangkan adalah pertanian organik, karena modelnya yang selaras dengan alam," jelas Alsis Goa.

Di bidang pendidikan, Ekopastoral juga mendampingi pemuda atau anak sekolah untuk mengembangkan muatan lokal pertanian organik. Namun, pengembangan Ekopastoral masih terkendala sejumlah hal. Antara lain pembangunan Indonesia yang masih menganaktirikan pertanian dan tergerusnya lahan karena pertambangan.

Para Santri Ath Thaariq sedang membuat Kompos Cacing. (Foto: pesantrenekologi.blogspot.com)

Upaya penyelamatan lingkungan juga dilakukan Iwan Bento, warga Desa Salenrang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Ia bersama warga lainnya berhasil menghentikan aktivitas sejumlah perusahaan tambang di kawasan karst Maros-Pangkep. Ia kemudian menginisiasi ekowisata di wilayahnya sebagai sumber pendapatan alternatif masyarakat, agar tidak kembali ke pertambangan.

"Ekowisata itu menjual beberapa unsur, yang saya pikir hampir semua wilayah Indonesia memiliki, yaitu alam, sejarah, dan budaya. Saya yakin tiga-tiganya setiap wilayah punya," jelasnya.

Menurutnya, ekowisata ini merupakan aktivitas yang legal dan sejalan dengan rencana pemerintah dalam pengembangan pariwisata nasional.

Masalah Pertambangan

Jatam mencatat ada 3.092 lubang tambang batu bara yang terbuka berisi air beracun dan mengandung logam berbahaya di berbagai wilayah Indonesia. Jumlah korban jiwa akibat lubang tambang telah mencapai 143 orang, yang mayoritas masih anak-anak.

Tanda 'Dilarang Berenang" tampak di bekas lubang tambang batu bara yang terisi air di Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, 30 Agustus 2019. (Foto: Reuters)

Menurut Jatam, target reklamasi dan rehabilitasi lubang dan lahan bekas tambang setiap tahunnya tidak tercapai. Terakhir pada 2019, dari target reklamasi 6.950 hektare hanya tercapai 6.748 hektar.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan laju produksi dan pembukaan lahan konsesi tambang baru. Semisal pada 2018, batas produksi batu bara yang semestinya 413 juta ton, tetapi realisasinya menjadi 477 juta ton. Begitu pula pada 2019, dari rencana produksi 489,7 juta ton, terealisasi 502,6 juta ton.

Jatam juga mencatat terdapat 8.588 izin usaha pertambangan atau 44 persen dari luas daratan di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 738 izin di antaranya terhubung dengan kawasan rawan bencana. [sm/ft]