SMRC: 84 Persen Warga Nilai Perekonomian Nasional Jauh Lebih Buruk Dibanding Tahun Lalu

  • Fathiyah Wardah

Seorang penjaja dagangan bermain gitar sambil menunggu pembeli di pinggir jalan di tengah pandemi Covid-19 di Jakarta (foto: ilustrasi).

Penelitian dan kajian yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyatakan mayoritas warga menilai kondisi ekonomi nasional sekarang lebih buruk atau jauh lebih buruk dibanding tahun lalu.

Dalam rilis hasil penelitian Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) digelar secara virtual di Jakarta, Selasa (30/6), Direktur Eksekutif SMRC Sirajuddin Abbas mengatakan 84 persen warga menilai kondisi ekonomi nasional sekarang lebih buruk atau jauh lebih buruk dibanding tahun lalu.

Survei SMRC bertajuk “RUU Cipta Kerja dan Ekonomi Pandemi: Opini Publik Nasional” itu dilakukan pada 24-26 Juni 2020 dengan metode wawancara per telepon. Jajak pendapat ini melibatkan 2.003 responden di seluruh Indonesia dengan margin of error 2,2 persen.

BACA JUGA: Pemerintah Klaim Dampak Corona Terhadap Ekonomi Tidak Separah Negara Lain

Menurut Abbas, warga secara umum masih kurang optimistis dengan kondisi ekonomi nasional. Hanya 36 persen yang menilai ekonomi nasional tahun depan akan lebih baik dibanding sekarang. Namun lebih baik dibanding temuan bulan lalu (5-6 Mei 2020) di mana yang merasa optimistis hanya 27 persen.

Abbas menambahkan adanya peningkatan optimisme itu mungkin antara lain terpengaruh oleh dimulainya era “Normal Baru” yang diharapkan turut mendongkrak aktivitas ekonomi nasional. Namun Abbas mengingatkan prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 oleh berbagai lembaga terkemuka menunjukkan kondisi ekonomi Indonesia masih akan negatif, misalnya Kementerian Keuangan (-0,40), IMF (-030), ADB (-1,040), hingga OECD (-2,80).

Usaha Kecil (UKM) di Cakung, Jakarta. Ekonomi yang buruk membuat nasib UKM makin tidak menentu (foto: ilustrasi).

Oleh karena itu intervensi negara, ujar Abbas, mutlak diperlukan agar skenario positif yang dibayangkan warga bisa terwujud. "Untuk itu, pemerintah harus tegas mempermudah izin usaha dan mempermudah perolehan modal usaha bagi terutama masyarakat kalangan kecil dan menengah. Kalangan tersebut akan bisa menjadi faktor penentu kebangkitan ekonomi Indonesia," ujarnya.

Temuan lainnya adalah warga yang optimistis dengan ekonomi rumah tangganya, yakni yang menilai ekonomi rumah tangga tahun depan lebih baik atau jauh lebih baik dibanding sekarang, mencapai sekitar 44 persen. Sementara yang menilai akan lebih buruk, jauh lebih buruk, atau tidak ada perubahan sebesar 43 persen.

SMRC juga menemukan 53 persen warga menilai sulit mengurus izin untuk mendirikan usaha kecil menengah (UKM), sedangkan 48 persen warga menilai UKM sulit mendapatkan modal usaha.

Hal lain dari hasil riset SMRC itu adalah 71 persen warga menilai keadaan ekonomi rumah tangga mereka lebih buruk atau jauh lebih buruk ketimbang sebelum ada pandemi Covid-19. Dalam survei sebelumnya, 20-22 Mei, 83 persen warga menganggap perekonomian rumah tangga mereka lebih buruk dibanding sebelum muncul wabah Covid-19.

BACA JUGA: Kecewa dengan Kinerja Menteri, Jokowi Ancam Langsungkan Reshuffle

SMRC juga menemukan 53 persen warga menilai sulit mengurus izin untuk mendirikan usaha kecil menengah (UKM), sedangkan 48 persen warga menilai UKM sulit mendapatkan modal usaha.

Penilaian warga tentang kondisi mengurus izin mendirikan usaha yang sulit di atas konsisten dengan penilaian warga bahwa izin usaha di Indonesia termasuk yang paling sulit di antara negara-negara Asia Tenggara. Sekitar 46 persen warga setuju izin usaha di Indonesia paling sulit di antara negara-negara ASEAN. Sebaliknya, yang tidak setuju lebih sedikit, yaitu 21 persen.

Menurut Abbas, penilaian warga terhadap sulitnya mengurus izin mendirikan usaha terutama berasal dari kelompok warga yang berpendidikan dan berpenghasilan lebih rendah. Ada 67 persen warga yang berpendidikan SD dan 60 persen warga yang berpendidikan SMP yang menilai sulit mengurus izin mendirikan usaha.

Di tengah pandemi, UKM semakin kesulitan mendapatkan modal untuk tetap bertahan hidup. (Foto ilustrasi: Reuters)

Warga yang menilai sulit bagi UKM untuk mendapat modal usaha lebih banyak ditemukan di kalangan warga berpendapatan rendah, yaitu 59 persen masih mencari pekerjaan, 54 persen pedagang warung/kaki lima, 52 persen petani, peternak, nelayan. Juga mereka yang berpendapatan harian.

Menurut Abbas, penilaian negatif warga tentang mengurus izin mendirikan UKM, kemudahan UKM mendapat modal usaha, dan mengurus izin usaha harus mendapat perhatian serius pemerintah karena kelompok inilah yang mengalami dampak ekonomi paling parah akibat wabah Covid-19. Untuk itu SMRC menyarankan agar pengesahan RUU Cipta Kerja dipercepat sebagai bagian untuk menyelesaikan persoalan terkait kemudahan berusaha di Indonesia.

"Pemerintah dan masyarakat perlu dorongan dan dasar yang cukup kuat berbentuk undang-undang untuk membantu Indonesia keluar dari sesi ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini," kata Abbas.

KADIN: Pandemi Covid-19 Ciptakan Kondisi Tak Terduga

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani pandemi Covid-19 ini memberikan tekanan lebih parah dan tidak terduga bagi para pelaku usaha ketimbang saat krisi moneter pada 1997/1998 dan 2008.

"Pelaku usaha juga sudah mulai merasakan dari pertengahan Maret 2020, ini semakin dalam lagi di April Mei sehingga kami yakin di kuartal kedua ini pertumbuhannya akan negatif dan mungkin sampai ke titik terendah," ujar Shinta.

Menurut Shinta, penjualan ritel selama April dan Mei mengalami penurunan paling drastis sebesar 22,9 persen.

Dia mengakui kalangan pebisnis meyakini pemulihan ekonomi akan berjalan relatif lambat bila iklim investasi dan realisasi stimulus nasional dalam keadaan status quo.

Penjualan ritel turun drastis hampir seperempatnya akibat pandemi Covid-19 (ilustrasi).

Shinta menambahkan peningkatan kepercayaan terhadap pasar domestik masih rendah atau masyarakat masih ragu-ragu. Hal ini diperkirakan akan berlangsung hingga akhir tahun.

“Tidak akan ada dorongan pertumbuhan konsumsi domestik yang cukup kuat untuk mendorong perekonomian nasional keluar dari pertumbuhan negatif,” ujarnya.

Pakar ekonomi Raden Pardede mengakui perekonomian saat ini lebih buruk ketimbang tahun lalu. Dia menambahkan perekonomian nasional sudah meluncur hingga ke bagian dasar. Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa lama Indonesia kuat di dasar dan seberapa cepat perekonomian Indonesia akan kembali pulih.

Menurutnya, RUU Cipta Kerja menjadi lebih relevan lagi karena ada wabah Covid-19. Sebab pandemi Covid-19 telah menyebabkan perubahan secara struktural, seperti orang sekarang lebih nyaman bekerja dari rumah secara virtual dan menggelar pertemuan bisnis atau rapat juga secara virtual.

Pardede menegaskan pandemi Covid-19 justru mempercepat pengambialihan teknologi dalam kehidupan manusia. Dia memperkirakan bisa saja nantinya banyak orang tidak ingin bekerja sebagai pegawai tetap, mereka ingin bebas.

Your browser doesn’t support HTML5

SMRC: 84 Persen Warga Nilai Perekonomian Nasional Jauh Lebih Buruk Dibanding Tahun Lalu


Dengan semua perubahan yang bisa disebut revolusi 4.0 itu, menurut Pardede, perlu ada perubahan signifikan di dalam pelayanan pemerintah, termasuk soal kemudahan berbisnis.

"Birokrasi dan regulasi di negara kita itu sangat rumit sekali dibandingkan dengan berbagai negara lain, bahkan dikatakan pembatas yang paling sulit. Yang membuat orang agak enggan berinvestasi di Indonesia adalah regulasi dan kelembagaan (birokrasi)," tutur Pardede.

Pardede menambahkan tantangan terbesar yang akan muncul di masa depan adalah kemungkinan akan terjadi pekerjaan yang benar-benar hilang untuk jangka waktu lama. Contohnya pekerjaan padat karya, yang tidak akan mudah untuk pulih kembali. Juga sektor pariwisata dan transportasi akan membutuhkan waktu cukup lama untuk kembali normal. [fw/em]