Setelah 150 Tahun, 'Alice in Wonderland' Terus Populer

Aktor dalam kostum "The Hatter" (kiri) dan "Alice in Wonderland" (kanan) minum teh sambil berlindung dari hujan dengan mengenakan payung di gerai David Harbor di Chelsea Flower Show 2015 di London, 18 Mei 2015.

150 tahun sejak ulat yang menghisap hookah, alat untuk menghisap asap tembakau yang diberi berbagai aroma, duduk di sebuah jamur dan bertanya pada seorang anak perempuan yang bernama Alice "Kamu siapa?" dan pembaca hingga kini masih mempertanyakan hal yang sama.

Alice's Adventures in Wonderland karya Lewis Carroll dengan tokoh-tokoh seperti Hatter, White Rabbit atau Kelinci Putih dan Queen of Hearts, telah menghibur anak-anak dari berbagai generasi sejak diterbitkan tahun 1865.

Carroll pertama kali menceritakan kisah ini pada 4 Juli 1862, ketika ia dan seorang teman mendayung rakit yang membawa Alice Liddell yang berusia 10 beserta dua adiknya mengarungi Sungai Thames di Oxford.

Pesta teh si gila Hatter, air mata Mock Turtle dan permainan croquet yang menggunakan flamingo sebagai palu pemukul menciptakan dunia yang tidak masuk akal namun menyenangkan.

Tapi Alice dan Through the Looking-Glass, yang diterbitkan enam tahun kemudian, terus memikat orang dewasa dengan penggambaran yang sangat cerdas dan subversif tentang bagaimana dunia orang dewasa terlihat di mata anak berusia tujuh tahun.

"Sebenarnya kisah ini menggambarkan dua cerita," kata seorang akademisi Oxford University, Robert Douglas-Fairhurst, yang buku barunya The Story of Alice menjelaskan tentang sejarah dan dampak dari kisah-kisah tersebut dan hubungannya antara penulisnya dan Alice yang sesungguhnya, kepada siapa kisah Alice in Wonderland sesungguhnya ditujukan.

Salah satunya adalah cerita untuk membantu anak-anak tumbuh dewasa "karena kisah itu bercerita tentang betapa memusingkan dan mengejutkan dan menggelisahkan dunia orang dewasa, tapi digambarkan dengan cara yang lucu dan menyenangkan."

"Tapi buku ini juga ditujukan untuk orang dewasa, yang ingin kembali merasakan rasa ingin tahu mereka yang mungkin sudah lama hilang." Contohnya jawaban Alice pada sang ulat.

"Saya - saya sebenarnya tidak tahu, Pak, saat ini - setidaknya saya tahu saya siapa ketika saya bangun tadi pagi, tapi menurut saya, saya sudah berubah beberapa kali sejak pagi tadi."

Jawaban yang sungguh sangat dimengerti setelah tubuh Alice menciut dan membesar tapi juga salah satu jawaban yang sesuai untuk usia di mana identitas seseorang terus berubah.

Douglas-Fairhurst, seorang professor universitas dan pengajar Bahasa Inggris di Magdalen College, Oxford, mengatakan, penulis buku tersebut juga mengangkat pertanyaan tentang identitas yang berubah.

Lewis Carroll adalah nama samaran dari Pendeta Charles Dodgson, seorang pengajar matematika yang gagap di Gereja Kristus, Oxford, dan baginya Wonderland adalah saatnya melepaskan diri dari dunia yang penuh dengan aturan.

"Nonsense atau tidak masuk akal bukan kebalikan dari masuk akal, tapi sejenis liburan dari akal... Alice adalah kisah dari sosok Carroll pada kehidupan nyata yang bermain-main dengan versi mimpi apa yang ia kerjakan sepanjang hari," kata Douglas-Fairhurst.

Sepanjang hidupnya, Dodgson mencari persahabatan anak-anak perempuan. Ia mengambil foto banyak teman anak-anaknya, beberapa di antaranya telanjang, dan akan menimbulkan pertanyaan bila ia masih hidup saat ini, ketika pelecehan anak mengguncang berbagai kalangan.

Douglas-Fairhurst mengatakan tidak ada bukti bahwa perasaan Carroll terhadap anak-anak itu adalah lebih dari rasa sayang sebagai seorang ayah atau sifat melindungi seorang ayah.

"Apakah ia diam-diam memendam hasrat terlarang terhadap anak-anak tersebut? Bila iya, itu merupakan rahasia yang mendalam."

Tapi fokus tentang anak adalah salah satu alasan untuk membaca buku-bukunya.

"Saya pikir sekarang kita terlalu takut tentang anak-anak dan masa anak-anak dan kita menginginkan sesuatu yang bisa kita gunakan untuk memahami anak-anak dan Alice adalah kapal kosong yang bisa kita isi dengan makna."

Ulang tahun buku Alice dimeriahkan dengan berbagai acara di seluruh penjuru Inggris dan, seperti yang telah berlangsung sejak buku itu terbit, dengan karya-karya baru yang dibuat berdasarkan petualangan Alice.

Di antaranya, Les Petits Theatre Company membuat dua produksi "tiga dimensi," satu untuk orang dewasa dan satu untuk anak-anak, di The Vaults di bawah stasiun Waterloo, London.

Di Festival Internasional Manchester, drama musikal baru, wonder.land, yang berisi musik karya Damon Albarn dari Blur dan Gorillaz, berkisah tentang Aly, usia 12 tahun, yang di-bully dan kabur ke dunia maya.

"Ini adalah contoh betapa kisah Alice bisa dimengerti dengan beragam cara dan kenapa kita menyukainya," kata Douglas-Fairhurst.