Seniman Mesir Kekang Amarah Sampai Keadaan Stabil

Grafiti dekat alun-alun Tahrir di Kairo (21/7) karya salah seorang seniman jalanan.

Para seniman di Mesir merasa perlu menahan diri dalam mengutarakan ekspresi politik yang provokatif karena keadaan negara yang masih labil.
Para penyanyi rap dan seniman grafiti di Mesir yang menangkap semangat pemberontakan kaum muda yang menumbangkan presiden Hosni Mubarak menurunkan tingkat kemarahan mereka karena jalan menuju demokrasi semakin rumit.

Tiga minggu sejak militer mendepak pengganti Mubarak yang dipilih secara demokratis, Mohamed Morsi, seniman-seniman jalahan yang tidak ingin dipimpin oleh kelompok agama maupun militer melihat ruang untuk menampilkan pandangan mereka semakin sempit di Mesir.

“Emosi sedang tinggi. Negara sedang terbelah.. ini terlalu cepat,” ujar penyanyi rap Kairo Mohammed al-Deeb yang lirik lagunya sering menggambarkan kegelisahan akan kehidupan di bawah kepemimpinan kelompok Ikhwanul Muslimin.

Sekarang setelah Ikhwanul lepas dari kekuasaan dan para pendukungnya melakukan demonstrasi besar-besaran, yang berulangkali berakhir dengan bentrokan mematikan dengan militer dan kelompok Mesir lainnya, harapannya akan perdamaian telah membuatnya berhenti menulis lirik yang provokatif.

“Kita masih belum tahu ke mana arah semua ini. Angkatan darat sedang berkuasa. Kita memiliki presiden sementara. Kita harus menunda hasrat revolusioner kita, setidaknya untuk saat ini,” ujarnya.

Pematung Alaa Abdel Hameed, 27, menghentikan sebuah proyek seni provokatif yang ia mulai bulan lalu: menempeli dinding kota dengan plakat elang berwarna terang dari lencana militer yang dipasang terbalik.

Setelah kudeta militer pada 3 Juli, banyak plakat elang tersebut dicopot oleh orang yang lewat yang menyerangnya karena menghina simbol yang mereka lihat sebagai penyelamat bangsa.
“Sekarang bukan saat yang tepat untuk mengarahkan pesan kita terhadap militer atau pihak manapun,” ujarnya.

Sebagian besar dari karya seni untuk melawan militer, peninggalan dari 16 bulan kekuasaan militer menyusul kejatuhan Mubarak pada 2011, sekarang telah dirusak.

Lukisan pemuda martir dan kernyitan pemimpin di dinding-dinding Kairo sekarang ini hanyalah peninggalan masa lalu, bukan lagi cara mendorong aksi.

Seniman grafiti Ammar Abo Bakr mengatakan sekarang ini saatnya untuk merenung.

“Kita sudah melewati hari-hari paling berdarah dan martir-martir yang dikalungi bunga,” ujarnya.

“Ini buan saatnya untuk mengatakan apa yang kita katakan sebelumnya. Kita telah melewati masa penderitaan. Ini saatnya untuk dialog dan untuk melestarikan identitas Mesir, tidak hanya berbicara politik,” ujarnya.

Abo Bakr skeptis demonstrasi-demonstrasi pada 30 Juni telah menumbangkan Morsi, karena ia melihatnya sebagai pembalasan dendam dari pendukung Mubarak. Tetap saja ia bersikeras itu bukan kudeta.

Karya terakhirnya adalah mural di sebuah parkiran yang menggambarkan perempuan Mesir yang memakai kalung manik-manik dan wajahnya dicat emas seperti patung-patung ratu dan dewi era Firaun.

Abo Bakr mengatakan karyanya menegaskan keberlanjutan Mesir dengan masa lalu yang dihancurkan oleh kelompok Islamis.

Ahmed Nagy, 27, dari pinggiran kota kumuh Giza di Kairo, mulai menyanyi rap dan menulis puisi sejak kawannya ditembak oleh polisi dalam protes anti-pemerintahan pada 2011.

Namun sekarang ini, ia khawatir jika berpihak dan menjauhkan politik dari lagu-lagunya.

“Saya bukan dari kelompok Salafi, liberal atau militer. Jadi saya dengan siapa?” ujarnya.

“Orang-orang tidak ingin kediktatoran militer atau kepemimpinan kelompok Islamis yang fasis.”

Namun kehati-hatian yang dirasakan banyak seniman jalanan membuat mereka menyensor diri.

Seniman grafiti Omar “Picasso” Fathy membuat mural yang dekat istana presiden Ittihadiya, yang menampilkan wajah-wajah Mubarak, petinggi angkatan udara Tantawi dan Morsi, serta satu wajah lagi memakai baret dengan tanda tanya, yang menyiratkan bahwa militer akan menjadi penguasa berikutnya.


Namun Fathy kemudian merevisi muralnya dan menghapus baret itu.
“Saya tidak ingin merusak kebahagiaan orang-orang di sekitar Ittihadiya, yang pada saat itu tidak memahami sudut pandang saya,” tulisnya di Facebook.

“Namun saya masih yakin dengan apa yang saya gambarkan awalnya. Mungkin saya salah. Saya harap saya salah.” (Reuters/Tom Finn dan Noah Browning)