Sakit Hati 'Pahlawan Demokrasi' Dibilang Curang

Almarhum Rudi Mulia Prabowo (kedua dari kanan) saat bertugas di TPS 009 Kelurahan Pisangan Baru. (Foto: dokumentasi keluarga).

Keluarga anggota KPPS yang meninggal kesal karena pemilu dituduh curang oleh sebagian pihak.

Ines Nabila merasa sakit hati dengan penyelenggaraan pemilu serentak 2019. Pasalnya, kata dia, pemilu tersebut secara tidak langsung telah merenggut nyawa ayahnya Rudi Mulia Prabowo yang menjadi Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) TPS 009 Kelurahan Pisangan Baru di Jakarta.

Rudi meninggal pada Senin, 22 April 2019 di kediamannya di Matraman, Jakarta Timur, diduga karena keletihan pasca pelaksanaan pemilu 2019. Ines juga menuturkan, ayahnya sempat kesal karena pemilu disebut curang, selang beberapa jam sebelum meninggal.

"Papa sempat ngomong sebelum meninggal. Papa sakit hati karena papa sudah mati-matian sekali jaga kotak suara. Tapi masih dibilang saja ada kecurangan dari KPU. Papa kan bagian dari KPU. Dia bilang begitu, setelah dia ngomong begitu, dia pamit tidur, eh sudah tidak ada. Sakit hati yang dibilang mati dengan ucapan orang yang bilang curang, curang, curang itu," tutur Ines kepada VOA, di kediamannya, Matraman, Jakarta, Sabtu (4/5).

Makam almarhum Rudi Mulia Prabowo di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Prumpung, Jatinegara, Jakarta. (Foto: dokumentasi keluarga)

Ines berharap pemilu legislatif dan pemilu presiden ke depan dapat dipisahkan kembali sehingga petugas pemilu tidak kecapekan dan korban jiwa dapat dihindari. Harapan yang sama juga disampaikan istri almarhum Rudi Mulia, Sukaesih.

Kata Sukaesih, suaminya sudah 3 kali menjadi petugas KPPS yakni pada pemilu 2009, pilkada DKI Jakarta pada 2017 dan pemilu serentak pada tahun ini. Namun, menurutnya yang paling melelahkan adalah pemilu serentak 2019.

BACA JUGA: Duka di Balik Pemilu 2019

Sementara terkait penyebab meninggal suaminya, kata dia, memang tidak ada penjelasan secara khusus dari pihak rumah sakit. Namun, beberapa hari suaminya mengeluhkan sakit kepala setelah hari pencoblosan. Selain itu, Rudi juga sempat muntah sebanyak 2 kali sebelum meninggal.

"Saya bangga, walaupun saya harus belajar ikhlas karena mendadak sekali. Tapi di sisi lain saya bangga, dia gugur sebagai pahlawan demokrasi," jelas Sukaesih.

Sukaesih menjelaskan pada hari pencoblosan, suaminya bekerja dari jam 6 pagi hingga jam 2 dini hari. Ia kemudian istirahat beberapa jam sebelum kemudian melanjutkan kerja pada jam 5 pagi untuk datang ke TPS dan melanjutkan penyerahan surat suara ke kecamatan.

Istri almarhum Rudi Mulia Prabowo, yakni Sukaesih di kediamannya, Matraman, Jakarta. (Foto: VOA/Sasmito Madrim)

Ia mengatakan sudah ada perwakilan dari KPU dan kelurahan yang datang ke rumahnya terkait kematian suaminya. Ia juga sudah menyerahkan surat kematian melalui KPU Kecamatan. Namun, Sukaesih mengaku belum mendapat santunan dari negara.

"Ya tadi saya tidak mengerti ada dana santunan. Kalau ada ya memang alhamdulillah. Sebenarnya kalau uang segitu ya tidak, uang segitu, nyawa taruhannya. Tapi ya takdir, saya berusaha untuk ikhlas," ungkapnya.

Hal ini berbeda dengan keluarga Ketua KPPS TPS 25 Tamansari, Jakarta Barat, Tutung Suryadi. Adik Tutung, Tuti Suhartini menjelaskan keluarga Tutung telah menerima santunan dari negara melalui KPU pada Jumat (3/5). Tutung meninggal di meja lantai 4 kantor kelurahan setempat saat menulis laporan pembagian formulir C 6, sehari sebelum hari pencoblosan.

"Bu RW bilangnya pingsan. Jadi saya fokusnya pingsan, tidak ada pikiran negatif. Eh pas sampai sana, saya bangunin, eh Tung bangun-bangun. Tahunya, ibu sudah tidak ada. Saya langsung pingsan dan tidak ingat apa-apa," kata Tuti Suhartini saat menceritakan kematian kakaknya.

Your browser doesn’t support HTML5

Sakit Hati 'Pahlawan Demokrasi' Dibilang Curang

Menurut Tuti, kakaknya juga tidak memiliki riwayat penyakit serius sebelum meninggal. Hanya, memang ia sempat mengeluh pusing ketika bertugas menjadi ketua KPPS. Tuti juga merasa tidak perlu membawa Tutung ke rumah sakit untuk mengetahui penyebab kematiannya.

KPU mencatat jumlah anggota KPPS yang meninggal hingga Minggu (5/5/2019) sore mencapai 440 orang dan 3.788 orang sakit. Petugas KPPS yang meninggal dan cacat permanen nantinya akan mendapat santunan sebesar Rp36 juta. Sementara petugas KPPS yang luka berat mendapat Rp16,5 juta dan luka sedang mendapat Rp8,25 juta. KPU mengupayakan santunan tersebut dapat diberikan sebelum tanggal 22 Mei 2019.

Evaluasi Pemilu 2019

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini meminta pemerintah dan DPR agar tidak buru-buru mengambil keputusan cepat terkait pemilu legislatif dan presiden secara serentak menyusul jatuhnya banyak korban. Namun, ia mengusulkan agar pemerintah dan DPR terpilih mendatang membentuk kelompok ahli yang terdiri dari ahli politik, hukum dan pemilu untuk mengevaluasi Pemilu 2019.

"Jadi saya kira jangan tergesa-gesa untuk memisahkan antara pemilu DPR dan pemilu presiden. Sekali lagi lakukanlah evaluasi secara menyeluruh, melihat variabel dan sistemnya. Besaran daerah pemilihan dan manajemen teknis tata kelola. Jangan parsial," kata Titi pada Sabtu (27/4).

Titi menambahkan tim ahli tersebut juga dapat diminta menyusun draf rancangan sistem pemilu ke depan untuk dibahas oleh DPR dan pemerintah. Sehingga konflik kepentingan antar anggota dewan, serta dengan pemerintah tidak terlalu tinggi. (sm/em)