Revisi UU Teroris Perlu Dilakukan Untuk Bendung Paham dan Gerakan Radikal

  • Fathiyah Wardah

Terorisme di Indonesia (Foto: dok.)

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan Undang-undang terorisme yang ada saat ini harus segera direvisi untuk membendung faham dan gerakan radikal.

Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris mendesak presiden dan anggota parlemen baru setelah dilantik harus segera melakukan revisi terhadap Undang-undang terorisme.

Revisi ini penting untuk mencegah dan membendung faham radikal di Indonesia seperti yang dibawa oleh kelompok Negara Islam Irak dan Syiria (ISIS). Saat ini lanjutnya Undang-undang teroris belum mencakup menyeluruh mengenai akktivitas teroris dan juga belum mampu menjerat perbuatan-perbuatan awal yang mengarah pada perbuatan terorisme.

Dia mencontohkan menyebarkan kebencian (hate speech) maupun mengikuti pelatihan militer seperti yang dilakukan kelompok teroris di Aceh mapun mereka yang mengikuti latihan militer di luar negeri serta berjanji atau bersumpah (bait) mendukung organisasi terorisme internasional, belum diatur secara maksimal di Undang-undang terorisme ini.

Selain itu, dalam amandeman UU Terorisme tersebut tambahnya juga perlu diatur mengenai penahanan lebih lama. Bila selama ini penahanan terduga teroris hanya berlangsung 7x24 jam, maka dalam amandemen tersebut penahanan berlaku 40 hari sejak penangkapan.

“Penindakan dunia mengakui, banyak negara-negara yang belajar di Indonesia tentang penidakan itu karena tidak ada teroris yang tidak ditindak, semua dibawa ke meja hijau, tetapi pencegahan secara menyeluruh kita belum bisa karena itu, lemahnya undang-undang kita. Undang-undang teroris No.15 tahun 2003 belum tegas menyatakan bahwa menanamkan kebencian, menyebarkan permusuhan itu adalah krimal sementara negara-negara lain menganggap itu kriminal,” ujar Irfan Idris.

Pengamat politik Timur Tengah dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Ali Munhanif menyatakan jika sebuah negara tidak mampu mengontrol kegiatan perilaku masyarakatnya maka sangat potensi menjadi sumber rekrutmen gerakan-gerakan Islam radikal.

Peran ormas Islam dan ulama sangat dibutuhkan untuk terus menerus melakukan pencerahan keagamaan yang sejuk. Pencegahan paham radikal sangat perlu di lakukan terhadap generasi muda.

Ali Munhanif mengatakan, “Ide-ide Islam yang lebih ramah, Islam yang lebih mendorong kekayaan spiritual dan seterusnya itu jauh lebih tepat. Lalu yang kedua, bagaimanapun kita tetap percaya pendidikan menjadi bagian yang lebih pas untuk melakukan semacam penyadaran, transformasi pemahaman dan seterusnya.”

Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengatakan TNI juga akan membantu memberikan pembinaan terhadap masyarakat. Saat ini TNI pun lanjut Moeldoko terus memonitor dan mempersempit ruang ISIS agar tidak berkembang di Indonesia.

“Harus melakukan pembinaan, saya yakin sepenuhnya bahwa ada teman-teman yang ikut-ikutan, yang terjerumus informasi yang tidak jelas atau pengetahuannya. Oleh karena itu TNI akan melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah dan saya sudah minta izin ke Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan sudah diizinkan, saya akan masuk ke pesantren memberikan penjelasan agar secara preventif jauh lebih baik daripada kita melakukan represif,” ujar Moeldoko.

Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin mengakui, ada 20 narapidana terorisme, termasuk Abu Bakar Ba’asyir berbaiat mendukung ISIS.

Namun, dukungan Abu Bakar Ba’asyir ke ISIS itu justru ditentang anggota keluarganya sendiri.