Refugee Learning Centre: Kesempatan Kedua Anak-Anak Pengungsi Bersekolah

Anak-anak RLC berbaris jelang kelas

Pukul 08.00 pagi, komplek sekolah Refugee Learning Centre (RLC) di Cisarua, Bogor, Jawa Barat masih tampak sepi. Hanya terdengar suara kicauan burung dan desiran dahan pepohonan rimbun yang tertiup segarnya angin pegunungan. Tak lama tampak tiga orang anak berparas khas Timur Tengah membuka pagar sekolah.

Dua di tiga anak itu adalah Mohammad dan Hadi. Kakak-beradik asal Irak itu sudah mengungsi ke Indonesia sejak mereka kecil. Hadi, sang kakak, yang duduk di kelas satu sekolah dasar, fasih berbahasa Indonesia. Tak lama kemudian Sikandar Ali, Kepala Sekolah RLC, keluar dari pintu kantornya dan menyambut kami tim VOA.

“Sekolah baru ramai biasanya pada pukul 8.30, karena sekolah mulai pada pukul 09.00,” ujar Sikandar yang merupakan pengungsi asal Afganistan ini.

Berawal dari sebuah perkumpulan di taman di Kawasan Ciburial, Bogor, para orang tua pengungsi yang khawatir terhadap perkembangan anak-anaknya berinisiatif untuk memulai sekolah informal khusus bagi anak-anak pengungsi.

Gedung sekolah RLC di Cisarua, Bogor

Indonesia yang tidak meratifikasi konvensi pengungsi PBB Tahun 1951, tidak mengakomodir hak pengungsi untuk bekerja dan bersekolah. Akibatnya, anak-anak dari total hampir 14 ribu pengungsi yang berada di Indonesia tidak bisa mendapat pendidikan formal. Padahal masa tunggu mereka untuk bisa disalurkan ke negara tujuan pengungsi tidak menentu. Sering kali bisa memakan waktu bertahun-tahun. Tak jarang mencapai satu dekade lebih.

Berbekal uang hasil penggalangan dana, para orang tua pun membuka RLC. Kini RLC sudah berjalan selama 7 tahun dan memiliki hampir 300 murid. Mereka rutin bersekolah pada Senin-Kamis yang terbagi dalam dua shift.

“Di sini kami tidak bisa berikan mereka ijazah sekolah, meski kami tetap beri mereka sertifikat dari RLC. Tapi ketika mereka lulus RLC, kami kirim mereka untuk tes GED (General Educational Development),” jelas Sikandar.

Siswa SD RLC tengah tempuh ujian

GED sendiri merupakan sebuah tes mandiri untuk penyetaraan derajat sekolah. Mata pelajaran yang diuji adalah Matematika, Bahasa Inggris, Sains dan Studi Sosial. Jika lulus para murid akan mendapatkan sertifikat pendidikan setara kelas 12 (SMA) yang diakui-

oleh Selandia Baru, Australia, Kanada dan Amerika Serikat.

Sekolah Pengungsi oleh Pengungsi

RLC memiliki sekitar 30 anggota staf, termasuk di antaranya 20 orang lebih guru.

“Semua staf dan guru di sini sukarelawan. Mereka hanya mendapatkan insentif transportasi per bulan sebesar Rp 200 ribu untuk naik angkot,” jawab Sikandar saat disinggung soal upah guru RLC.

Dengan nyaris tanpa bayaran, lantas apa motivasi para sukarelawan ini bekerja di RLC?

Sadiqa Sultani, pengajar Bahasa Inggris di RLC, mengatakan dia tertarik mengajar di RLC awalnya untuk mengatasi depresi yang dialaminya.

“RLC memiliki peran besar dalam hidup saya dan mengubah hidup saya dan banyak orang lainnya yang di sini. Semuanya bisa menyibukkan diri di sekolah. Meski kita mengajar, kita juga banyak belajar di sini,” cerita Sadiqa Sultani, gadis asal Afghanistan itu.

Ketika Sadiqa tiba di Indonesia, ia hanya lulusan SMA. Ia berpikiran untuk melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi di Indonesia. Namun kemudian ia menyadari statusnya sebagai pengungsi tidak disertai akses untuk melanjutkan sekolah.

“Saya tidak tahu kalau kami tidak memiliki hak untuk bekerja dan bersekolah di sini,” keluh gadis yang berusia 23 tahun ini.

Kelas TK RLC

Tenaga pengajar di sini tidak berlatar belakang guru professional. Sebagian guru justru hanya lulusan SMA. Hal ini kontras dengan standar kualifikasi tenaga pengajar sekolah Indonesia yang minimum sarjana. Pelatihan guru pun menjadi bekal yang mereka andalkan untuk mengajar anak-anak pengungsi. Namun pelatihan itu pun sangat bergantung dari bantuan pihak luar.

RLC hanya menyediakan empat mata pelajaran, yaitu Matematika, Bahasa Inggris, Sains dan Studi Sosial. Keempat mata pelajaran ini disesuaikan dengan target tes GED. Harapannya anak-anak pengungsi dapat segera beradaptasi dengan kurikulum sekolah negara tujuan ketika pindah kelak.

Segera pindah

Harapan untuk bisa pindah segera ke negara tujuan tidak semudah membalik telapak tangan. Beberapa negara yang mulai kebanjiran pengungsi, perlahan mulai menutup pintu untuk mereka.

Berdasarkan data tahun 2019 dari Komisariat Tinggi PBB untuk Pengungsi (United Nations High Commission on Refugees/UNHCR), Indonesia sendiri menjadi negara transit bagi hampir 14 ribu pengungsi. Lebih dari setengahnya berada di Jakarta.

Slot untuk pengungsi bisa disalurkan ke negara tujuan sangat kecil. Pada 2018 saja hanya 509 pengungsi yang dipindahkan ke negara tujuan oleh UNHCR. Di sisi lain, arus pengungsian mancanegara terus mengalir seiring dengan konflik yang terjadi di berbagai negara di Timur Tengah dan Afrika.

Status pengungsi di Indonesia kini sudah terakomodir melalui Perpres Nomor 125 Tahun 2016. Meski demikian, peraturan ini belum mengatur hak dasar para pengungsi agar memiliki akses bersekolah dan bekerja secara setara. (rw/ft)