Ratusan Wartawan Protes Kekerasan Terhadap Wartawan di Riau

Demonstrasi melawan aksi kekerasan terhadap wartawan di Jakarta (17/10). (VOA/Andylala Waluyo)

Ratusan wartawan di Jakarta memprotes tindak kekerasan terhadap 11 wartawan oleh perwira TNI AU saat meliput kecelakaan pesawat di Riau.
Ratusan wartawan yang menamakan diri Solidaritas Wartawan Anti Kekerasan melakukan aksi jalan kaki pada Senin (17/10) dari patung kuda Monumen Nasional Monas menuju kantor Kementerian Koordinator Hukum dan Keamanan, kantor Kementerian Pertahanan RI dan berakhir di depan Istana Merdeka, Jakarta.

Koordinator lapangan aksi Suparnie meminta pemerintah melakukan peradilan umum terhadap perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) yang melakukan kekerasan terhadap 11 wartawan saat meliput kecelakaan pesawat di Riau, agar publik dapat memantau proses hukum yang tengah berjalan.

“Masyarakat juga perlu tahu bahwa wartawan dilindungi oleh Undang-Undang (UU) Pers dalam pekerjaannya. Pasal 18 Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa siapapun yang menghalang-halangi tugas wartawan dalam melakukan peliputan akan mendapat sanksi hukuman penjara dua tahun dan denda Rp 500 juta,” ujarnya.

Suparnie menambahkan, jika UU Pers diberlakukan dalam sebuah proses hukum penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan, hal itu akan membuat efek jera buat yang lain.

Pesawat jet Sky Hawk 200 milik TNI AU jatuh di Riau pada Selasa (17/10). Tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan tersebut.

Dalam kesempatan terpisah, Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsma Azman Yunus kepada VOA menjelaskan pihak Polisi Militer (POM) TNI AU saat ini tengah memeriksa seorang perwira menengah TNI AU berinisial RS yang diduga sebagai pelaku kekerasan terhadap wartawan di Riau.

“Secara militer, yang bersangkutan harus diberikan tindakan disiplin militer oleh komandan lapangan agar di kemudian hari tidak terulang lagi. Tindakan disiplin itu bisa berupa kondite atau hukum fisik berdasarkan laporan pemeriksaan dari POM. Nanti komandan lapangan yang kemudian akan memutuskan hukuman apa yang diberikan,” ujar Azman.

Kepala Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Pers, Dedi Ali Ahmad berpendapat, jika dalam kasus ini ditemukan ada unsur pidana maka seorang perwira menengah TNI AU berinisial RS yang diduga sebagai pelaku kekerasan terhadap wartawan di Riau itu, bisa disidangkan di peradilan umum.

“Seharusnya ini bisa dimungkinkan jika memang ditemukan ada indikasi pidana. Di satu sisi, jika kemudian si pelaku ini dikenakan Pasal 18 ayat 2 UU Pers, bisa digabungkan dengan KUHP. Seharusnya sebagai bagian dari transparansi sendiri, ini bisa dijadikan gugatan publik dan bisa diproses di peradilan umum. Dari sini kemudian TNI akan melakukan keterbukaan terhadap proses hukum oknum-oknum yamg melakukan pelanggaran,” ujar Dedi.

Selain peradilan umum, Solidaritas Wartawan Anti Kekerasan juga menuntut agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku Panglima Tertinggi TNI agar menginstruksikan kepada Panglima TNI untuk menindak tegas dan memproses hukum pelaku kekerasan terhadap wartawan di Riau.

Selain itu, Presiden juga harus menginstruksikan kepada Panglima TNI agar lembaga itu menghormati kerja jurnalis, agar peristiwa kekerasan terhadap wartawan dalam melakukan peliputan tidak lagi terulang.

Solidaritas Wartawan Anti Kekerasan Indonesia terdiri dari Poros Wartawan Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Pewarta Foto Indonesia dan Kameramen Jurnalis Indonesia.