Kisah Nurshadrina Khaira Dhania mengunggah kesadaran banyak pihak tentang bagaimana internet berdampak bagi remaja. Tahun 2015, Dhania meminta seluruh keluarganya untuk pindah ke Suriah, setelah ISIS mengkampanyekan kehidupan baru di negeri Islam.
“Saya dipengaruhi paham radikal oleh grup ini ketika masih berumur 16 atau 17 tahun dan kemudian saya pindah ke Suriah bersama seluruh keluarga saya,” kata Dhania.
Keluarga Dhania menjadi bagian dari sedikit sisa warga Indonesia yang berhasil diselamatkan dari Suriah, setelah ISIS jatuh. Memanfaatkan pengalaman pahitnya selama berada disana, Dhania kini aktif berkampanye tentang bahaya paham radikal. Dia yakin, remaja mudah terpengaruh karena sejumlah sebab. Mereka bersemangat tinggi, emosinya tidak stabil, di sisi lain anak muda belum memahami apa yang mereka lakukan, apa tujuan hidupnya, dan apa makna hidupnya.
“Faktor lainnya adalah pengaruh dari sebaya. Saya melihat remaja pindah ke Suriah ada yang dari Amerika, Inggris dan negara lain,” ujarnya.
Semua pengaruh itu, diperoleh Dhania melalui internet, khususnya berbagai macam platform media sosial. Salah satu yang dia sebut cukup berpengaruh, adalah Facebook.
Dhania berbagi pengalamannya dalam konferensi yang diselenggarakan selama dua hari, 24-25 Agustus, 2021 oleh Program Pembangunan PBB (UNDP) bekerja sama dengan sejumlah lembaga lain. Belasan pembicara berbagi pengalaman dan pandangan mereka, dalam isu-isu terkait internet, anak muda, perempuan dan upaya menekan laju paham radikal di Indonesia.
Pengaruh Besar Internet
Internet memang membawa pengaruh besar setidaknya dalam satu dekade terakhir, terkait bagaimana paham radikal sampai ke para remaja. Sejumlah riset yang dilakukan Pusat Pengkajian dan Masyarakat Islam (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah membuktikan itu. Didin Syafruddin Peneliti Senior di PPIM mengatakan, riset mereka tahun 2018 sudah membuktikan itu.
“Riset PPIM tahun 2018 menunjukkan ada sebanyak 58 persen yang mengakses belajar agama secara online. Dibandingkan melalui guru, membaca buku langsung atau melalui pengajian. Ternyata mereka belajar agama secara online,” kata Didin.
Di tengah masa pandemi, yang menambah waktu remaja di depan layar monitor, angka itu kemungkinan akan bertambah.
Sayangnya, masih menurut riset PPIM, internet didominasi oleh paham Islam konservatis literalis. Studi PPIM tahun 2018 sudah menunjukkan fenomena itu, dan riset pada 2021 mengkonfirmasi kondisi tersebut.
“Ciri-cirinya literalis itu memahami Islam dan al Quran secara harfiah. Jadi makna itu sama dengan bunyi katanya di dalam teks kitab sucinya. Mereka berkarakter eksklusif dan cenderung indoktrinasi dalam menjalankan kehidupan,” kata Didin.
Kelompok ini juga membatasi hidup dalam kelompoknya saja. Menghindari bergaul dengan kelompok berbeda, menolak kesetaraan gender, mau menerima demokrasi tetapi lebih karena ketaatan kepada pemerintah.
Survei lain pada 2020, PPIM menemukan fakta bahwa 30 persen mahasiswa berada dalam kategori toleransi rendah. Mereka menolak hak-hak kebebasan sipil seperti mendirikan rumah ibadah, keberatan mendirikan sekolah agama lain, dan menolak pejabat yang berbeda agama.
Peran Pemerintah dan Platform
Anthonius Malau, pejabat di Kementerian Komunikasi dan Informatika menggambarkan peran besar internet saat ini. Dia memaparkan, pengguna internet di Indonesia saat ini adalah 202 juta orang dengan 170 juta diantaranya aktif di media sosial.
“Pengguna ini menghabiskan waktu hampir sembilan jam di internet setiap harinya. Betapa masyarakat Indonesia begitu aktif di dunia internet, sehingga persebaran konten yang terkait dengan ekstrimisme, kekerasan dan terorisme itu juga sangat mungkin tersebar di internet,” ujarnya.
Jika terdapat konten yang mengarah pada ideologi ekstrim, pemerintah memiliki kewenangan meminta penyedia plaftform untuk menghapus atau memutus akses. Di sisi lain, penyedia platform juga dinilai pemerintah sudah memiliki standar komunitas yang mendukung upaya ini. Hanya saja, pekerjaan ini memang tidak sederhana karena sejumlah faktor, seperti ketiadaan batas internet yang bisa diakses di mana saja dan kapan saja. Anonimitas di media sosial juga menjadi masalah, karena hukum tidak mudah menjangkaunya.
Anthonius memastikan pemerintah melakukan upaya pengendalian. Mereka melakuan pemblokiran internet negatif, termasuk konten terorisme, ekstrimisme, dan kekerasan. Pemerintah melakuan patroli siber, menangani berita bohong, serta membuka jalur aduan konten. Kerja sama dengan BNPT, Bareskrim, Densus 88, BIN, Kemen PPPA atau Komnas Perlindungan Anak juga dijalin Kominfo.
Platform media sosial juga melakukan upaya serupa. Nawab Osman, Kepala Bidang Konter Terorisme dan Organisasi Berbahaya di Facebook Singapura menyebut, mereka setidaknya menerapkan tiga langkah, yaitu intervensi kebijakan, keterlibatan pakar dan berinvestasi dalam teknologi.
“Tiga persen dari konten yang kami hapus, merupakan upaya kami sendiri, baik melalui artificial intelligence ataupun review manual sebelum seseorang melapokan konten itu kepada kami,” kata Osman.
Namun, dia memastikan langkah ini harus merupakan kolaborasi.“Kami di Facebook tidak bisa melakukannya sendiri. Kami membutuhkan kerja sama dengan pemerintah, masyarakat sipil, dan akademisi, agar kami bisa menerapkan kebijakan ini,” tambah Osman.
Namun, Noor Huda Ismail dari Yayasan Prasasti Perdamaian menilai, menghapus konten atau menutup situs saja tidaklah cukup.
“Karena tidak benar-benar menyentuh akar permasalahannya. Ketika pemerintah menutup satu situs tertentu, dalam hitungan jam atau hari, mereka akan memproduksinya lagi dalam platform yang berbeda atau link yang berbeda,” kata Noor Huda.
Upaya lain yang harus dilakukan adalah memberi tempat bagi suara-suara kritis, terutama dari kalangan muda sendiri, untuk menentang paham radikal. Keterlibatan Nurshadrina Khaira Dhania, yang saat ini aktif menulis di media sosial, adalah salah satu contohnya.
Guyub Project UNDP
Guyub Project sendiri adalah proyek percontohan dari UNDP dalam upaya menekan penyebaran radikalisme. Sebagai langkah awal, berbagai program dalam proyek ini mengambil lokasi di Jawa Timur.
Menurut Kepala Perwakilan PBB di Indonesia, Valerie Julliand beberapa tujuan proyek ini antara lain adalah mencegah ekstrimis kekerasan menggunakan internet untuk menyebarkan paham radikal kepada warga di Jawa Timur, khususnya di kalangan anak muda. Selain itu, memperkuat kerjasama antara warga, masyarakat dan polisi agar mampu memperkuat perlindungan dari upaya perekrutan ekstrimis kekerasan.
“Juga memperkuat sistem hukum untuk secara proaktif mencegah ekstrimisme kekerasan,” kata Valerie Julliand.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Komjen Pol Boy Rafli Amar juga mengakui, peran Guyub Project sejauh ini. Proyek ini, ujarnya telah berkontribusi melalui pemberdayaan masyarakat sipil organisasi masyarakat, pemuda, komunitas rentan termasuk perempuan dan penyandang disabilitas dalam mengatasi akar penyebab ekstrimisme kekerasan. Tidak hanya di Indonesia, dampaknya bahkan juga dirasakan di kawasan.
Pemakaian internet dan keikutsertaan perempuan menjadi isu penting. Boy Rafli mencatat, insiden serangan yang melibatkan perempuan terjadi di Surabaya, Sibolga, Makassar, dan terakhir di Mabes Polri, Jakarta.
“Sejak 2018 lebih banyak perempuan telah ditangkap di Indonesia, Malaysia dan Singapura. Mereka terlibat dalam 8 dari 11 serangan, pada periode Mei 2018 sampai dengan Mei 2021. Jumlah ini lebih tinggi dari tingat global, para periode yang sama,” kata Boy Rafli.
Karena generasi muda dominan di internet khususnya media sosial, maka mereka termasuk kelompok rentan. Karena itu, BNPT berharap sinergi seluruh pihak menjadi kunci dalam upaya mengatasinya. [ns/ab]