Protokol Kesehatan Pilkada Serentak Tersendat Anggaran

  • Rio Tuasikal

Ketua KPU Arief Budiman (tengah) bersama sejumlah anggota KPU secara resmi meluncurkan Pilkada serentak, Kamis (18/6). (Sumber: Humas KPU)

Setelah pemerintah menetapkan Pilkada serentak digelar pada Desember 2020, penyelenggara Pemilu meminta tambahan anggaran untuk memenuhi protokol kesehatan. Namun anggaran masih tersendat meski tahapan Pilkada sudah dimulai. 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengajukan tambahan anggaran Rp 5,2 triliun untuk memenuhi protokol kesehatan dalam situasi wabah COVID-19. Anggaran ini akan digunakan antara lain untuk penyediaan masker, sarung tangan, alat pencuci tangan, dan disinfektan. Sampai saat ini anggaran belum juga turun padahal tahapan Pilkada sudah resmi dimulai sejak 15 Juni.

Wakil Ketua Komisi II DPR, Saan Mustopa, mengatakan, parlemen telah menyetujui anggaran itu. Pemerintah pun sudah menyiapkan dana tersebut dan akan mencairkannya secara bertahap. Saan meminta pencairan tahap pertama, senilai 1 triliun lebih, dilakukan sesegera mungkin.

"Jadi sebelum masuk bulan Juli, supaya KPU bisa menerima dan mendistribusikan ke daerah-daerah. Supaya tidak ada keterlambatan,” terangnya kepada VOA.

Para pemilih memperhatikan foto-foto kandidat pilkada di sebuah TPS di Tangerang, 9 Desember 2015.(foto: ilustrasi) Pilkada tahun ini penuh tantangan karena protokol kesehatan terkait pencegahan Covid-19.

Komnas HAM Tegaskan Hak Atas Kesehatan

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyoroti lambatnya pencairan anggaran ini. Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Amiruddin, mengatakan pemerintah nampak ragu-ragu.

"Kalau masih ragu-ragu seperti itu ini tentu berisiko tinggi. Kami ingin menegaskan, Pilkada penting, tapi melindungi kesehatan masyarakat supaya tidak ada jatuhnya korban itu jauh lebih penting,” ujarnya dalam konferensi pers virtual, Senin (22/6).

BACA JUGA: Pilkada Serentak, Protokol Kesehatan Harus Dipatuhi

Ketua Tim Pemantau Pilkada Komnas HAM, Hariansyah, mengatakan pihaknya tidak ingin keselamatan publik dan kesehatan masyarakat dipertaruhkan. Dia menegaskan, hak atas kesehatan dan rasa aman warga harus dijamin.

"KPU harus memastikan betul kesediaan sumber daya, keuangan terutama, untuk penyediaan alat pelindung diri dan protokol kesehatan. Itu menjadi hal yang utama. Jadi kalau itu tidak ada, KPU harus mempertimbangkan kembali tahapan yang ada,” tambahnya dalam kesempatan yang sama.

Hariansyah menggarisbawahi, jika sampai Desember 2020 persiapan Pilkada masih terkendala, dia meminta hak atas kesehatan harus jadi prioritas. Dia menggarisbawahi agar penyelenggaraan Pilkada tidak dipaksakan.

Ketua Tim Pemantau Pilkada Komnas HAM, Hariansyah (tengah) dan Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Amiruddin (kanan) saat menggelar konferensi pers di kantornya, Senin (22/6). (Sumber: Humas Komnas HAM)

Protokol Tersendat Birokrasi

Meski KPU akan segera melakukan verifikasi faktual dukungan calon perseorangan pada 24 Juni, nyatanya protokol kesehatan Pilkada belum resmi disahkan. KPU masih berusaha menggolkan peraturan KPU (PKPU) no. 5 tahun 2020 yang memuat protokol kesehatan tersebut.

Pembahasan PKPU ini sempat tertunda beberapa kali, dan baru disetujui DPR dalam rapat dengar pendapat (RDP), Senin (22/6) siang. PKPU itu masih harus melalui tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sebelum efektif berlaku.

Wakil Ketua Komisi II DPR, Saan Mustopa, yang juga memimpin RDP tersebut, akan mengontrol penyelenggaraan protokol dalam setiap rapat dengan pemerintah dan penyelenggara Pemilu. "Ini kan pilkada di tengah bencana non-alam. Ini kan sangat dinamis ya, tentu review dan evaluasi setiap tahapan itu menjadi penting,” tegasnya.

Hati-Hati Zona Merah

Protokol kesehatan untuk Pilkada serentak terus menyita perhatian mengingat sejumlah wilayah yang akan menggelar pesta demokrasi tersebut adalah wilayah penularan COVID-19.

Pilkada serentak akan digelar bersamaan di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Perhatian tertuju kepada rencana Pilkada di 16 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur, mengingat tingginya kasus COVID-19 di provinsi tersebut. Jumlah kasus positif di Jawa Timur mencapai 9.000 lebih, tertinggi kedua setelah DKI Jakarta. Sementara lebih dari 3.000 kasus di Jatim terjadi di Kota Surabaya, yang juga akan menggelar pemilihan walikota.

Your browser doesn’t support HTML5

Protokol Kesehatan Pilkada Serentak Tersendat Anggaran


Dua puluh satu kabupaten/kota di Jawa Tengah juga mendapat perhatian, mengingat kasus COVID-19 di Jateng menembus angka 2.000 orang. Kekuatiran yang sama berlaku bagi delapan kabupaten/kota di Jawa Barat, di mana Jabar juga memiliki 2.000-an kasus.

Sementara Sulawesi Selatan, yang akan menggelar pilkada di 12 kabupaten/kota, kini memiliki 2.000-an kasus. [rt/em]