PPATK Bekukan Rp 2 Miliar Lebih Dana Teroris Selama 2015

Kepala PPATK Muhammad Yusuf (tengah) memberikan keterangan pers soal pemblokiran dana teroris selama 2015 di kantor PPATK, Jakarta, Senin 28 Desember 2015. (Foto: VOA/Andylala)

Ketua PPATK Muhammad Yusuf menjelaskan, sumber dana terorisme bukan hanya dari aliran dana luar negeri tetapi juga sedekah dan infaq sesama anggota, termasuk pula dari perampokan dan penyelundupan.

Pemberantasan tindak pidana terorisme oleh Pemerintah Indonesia, tidak hanya dilakukan melalui langkah hukum dan konsep deradikalisasi, tetapi juga dengan penelusuran dana kegiatan teroris. Salah satunya dengan melakukan pemblokiran dana yang dilakukan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) milik terduga tindak pidana terorisme, baik secara individu maupun organisasi.

Kepala PPATK Muhammad Yusuf di kantor PPATK Jakarta Senin (28/12), sepanjang 2015, PPATK membekukan total dana Rp 2,83 miliar (Rp 2.083.684.874) yang diduga terindikasi tindak terorisme. Pemantauan ini bekerjasama dengan Australian Transaction Report and Analysis Center (AUSTRAC).

"Karena ada perintah dari Dewan Keamanan PBB agar kita membekukan aset-aset yang menurut kacamata PBB merupakan teroris. Lalu pada Februari 2015 kita bersama Polri, Kemenlu dan lainnya menandatangani peraturan bersama. Sehingga sampai sekarang ada 364 individu yang sudah tercatat sebagai teroris menurut pengadilan negeri Jakarta Pusat. Dan ada kemudian jumlah uang yang pernah kita minta kepada Penyedia Jasa Keuangan terkait hal ini ada Rp 2 miliar sekian untuk kita bekukan. Ditambah dengan US$ 200," kata Kepala PPATK Muhammad Yusuf.

Menurut Muhammad Yusuf dari hasil kerja sama tersebut PPATK telah membekukan dana yang berasal dari 26 rekening baik milik terduga teroris ataupun organisasi teroris yang tercantum dalam daftar PBB. Kerjasama ini juga berhasil mengungkap seseorang warga negara Australia yang diduga melakukan pendanaan kepada sejumlah teroris di Indonesia.

"Kita menemukan ada salah satu warganegara Australia inisial L banyak menerima dana dari luar negeri dan mengalirkan dananya itu ke Indonesia. Dan (ada) pihak yang menerima dana itu di Indonesia, (orang itu) tewas dalam konflik di Suriah," lanjutnya.

Muhammad Yusuf menjelaskan, kebanyakan penerima dana diduga untuk aktifitas teroris ini adalah yayasan.

"Dari penelitian kita ada lebih dari 130 ribu yayasan di Indonesia. Berafiliasi pada pendidikan, sosial dan keagamaan. Mungkin, kampanyenya (si L) pada donatur (di luar Australia) adalah sumbangan amal. Ternyata dari situ mengalir ke yayasan di Indonesia," jelas Muhammad Yusuf.

Sumber dana untuk kegiatan terorisme menurut Muhammad Yusuf bukan hanya dari aliran dana luar negeri tetapi juga sedekah dan infaq sesama anggota. Termasuk pula dari perampokan.

"Dana itu didapatkan dari hibah atau sedekah. Kemudian ada juga pengumpulan infaq sesama anggota mereka. Ada juga dana hasil fai, jadi menjustifikasi perampokan. Kemudian pengumpulan dana dari situs radikal jadi ada simpatisan di situ. Kemudian lagi ada tindakan kriminal seperti penyelundupan," imbuhnya.

PPATK menurut Muhammad Yusuf, melihat dari profil orang atau yayasan yang menerima aliran uang itu. Dari situ bisa dilihat latar belakang dan dugaan keterkaitan dengan individu atau kelompok teroris lainnya. Setelah itu pihak PPATK menyerahkan hasil penyelidikan dan penelitian kepada pihak kepolisian.

Di tahun 2015 ini, Lembaga internasional pengawasan anti-pendanaan terorisme dan pencucian uang atau Financial Action Task Force on Money Laundering (FAFT) mengeluarkan Indonesia dari grey area negara yang tak patuh pada implementasi Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1267 dan 1373. Dalam pertemuan di Brisbane, Australia, kemarin, Indonesia dinilai telah lulus uji kepatuhan.

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Muhammad Yusuf menjelaskan, sejak Februari 2012, Indonesia masuk dalam blacklist atau public statement oleh FAFT sebagai negara paling berisiko soal pendanaan terorisme dan pencucian uang. FAFT mengeluarkan peringatan kepada dunia agar berhati-hati melakukan transaksi perbankan dan keuangan dengan Indonesia.

Pemerintah Indonesia sebelumnya dinilai tak mampu memenuhi tiga syarat FAFT, yaitu melaksanakan kriminalisasi terorisme, kriminalisasi pendanaan terorisme, dan membekukan aset milik terduga teroris yang tercantum dalam PBB. Pemerintah kemudian menerbitkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.

Lalu pada Februari 2015, pemerintah menerbitkan peraturan bersama tentang pencantuman identitas dan pemblokiran dana milik orang atau korporasi yang tercantum dalam daftar terduga teroris.

Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Aceh, Al Chaidar, berharap ada langkah tegas dari Presiden Joko Widodo dalam penanganan kasus teroris. Khususnya kepada kelompok-kelompok intoleran.

"Tantangan di masa Presiden Jokowi ini terutama dalam bidang terorisme, sangat-sangat berat. Bangkitnya kelompok intoleran dan anarkis, dan kelompok-kelompok menyukai pertumpahan darah atas nama keyakinan masih kuat di Indonesia," kata Al Chaidar. [aw/em]