PLTS untuk UMKM: Prakarsa Kecil Penerapan Energi Baru Terbarukan

  • Nurhadi Sucahyo

Peserta Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya di Pusat Pengembangan SDM Ketenagalistrikan EBTKE KESDM. (Foto: Courtesy/Humas ESDM)

Sumber energi baru dan terbarukan relatif lamban diterapkan, karena membutuhkan investasi awal yang tidak sedikit. Sejumlah pihak bekerja sama merancang skema perintis untuk mengubah kondisi itu.

Proyek perintis ini berlokasi di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagian wilayah kabupaten ini tandus, dan selalu menghadapi persoalan kekurangan air setiap kemarau. Bank Indonesia dan Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerja sama memecahkan persoalan itu, sekaligus memperkenalkan teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) kepada masyarakat pedesaan.

Bank Indonesia memberikan dana hibah pemasangan panel surya, sedangkan UGM melalui Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, membentuk komunitas bernama Serikat Surya Handayani (SSH), untuk merawat dan memanfaatkan PLTS itu.

Arief Hartawan, pejabat di Bank Indonesia menyebut, hibah lembaganya adalah faktor kecil dari proyek ini.

Pejabat PLN berjalan di dekat panel sel surya di pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Desa Oelpuah, Kupang, 20 Juli 2017. (Foto: Antara/Widodo S. Jusuf via Reuters)

“Yang penting dari program ini adalah melibatkan masyarakatnya. Bahwa ini program bisa berlanjut, ada rasa kepemilikan oleh mereka-mereka yang ada di sini, bisa menggerakkan ekonomi daerah di sini, dan pelaku usaha bisa mendapatkan sumber energi alternatif,” kata Arief dalam peresmian fasilitas itu di Gunungkidul, Minggu (6/2).

Program ini memang tidak sekadar memasang PLTS. Panel surya tersebut berada di atas Gedung Baitul Maal wa Tamwil (BMT), semacam bank perkreditan rakyat, tempat pelaku usaha kecil dan menengah bisa memperoleh pinjaman modal. Listrik yang dihasilkan, digunakan untuk membuka usaha baru penyediaan air minum bagi masyarakat, yang dikelola organisasi SSH.

Petugas Puslitbangtek KEBTKE, Kemen ESDM melakukan perawatan panel surya. (Foto: Courtesy/Humas ESDM)

Penghasilan dari usaha ini digunakan untuk merawat PLTS. Dua Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) juga dilibatkan untuk membantu dari sisi teknis. Ada juga mitra dalam bidang energi terbarukan, yang turut berperan merawat PLTS.

“Inilah yang disebut ekosistem. Makanya ada BMT terlibat membiayai usaha pelaku UMKM untuk berkembang. Yang lebih penting, melibatkan masyarakat, termasuk SMK sehingga adik-adik SMA bisa mengoperasikan ini. Kalau ada yang rusak, dia bisa terlibat di situ, dan mudah-mudahan ke depan bisa lebih panjang umurnya,” kata Arief lagi.

BACA JUGA: Dorong Transisi Penggunaan EBT, Jokowi Janji PLTU 5,5 GW akan Pensiun Dini

Skema ini tentu jauh lebih baik, dibandingkan sekadar membangun pembangkit energi baru terbarukan (EBT), dan kemudian diserahkan sepenuhnya ke masyarakat tanpa manajemen yang baik.

“Ekonomi hijau menjadi perhatian pada pertemuan pemimpin G20. Kita memiliki peluang cukup besar karena memiliki sumber energi dari angin, panas bumi dan panas matahari,” imbuhnya.

Tersedia Pembangkit Bergerak

Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof Panut Mulyono. (Foto: Courtesy/Humas UGM)

Rektor UGM Prof. Ir. Panut Mulyono menyebut PLTS dengan kekuatan 12 ribu watt pada puncaknya ini telah dirancang turut mendukung pengembangan usaha olahan produk biofarmaka dan usaha batik Gunungkidul. Di samping itu, UGM telah membantu merancang PLTS bergerak dalam mobil pick up untuk membantu petani atau kebutuhan lain terkait air. Pompa surya berjalan atau mobile solar water pumping system ini akan sangat bermanfaat dalam musim kemarau.

“Di Gunungkidul itu banyak sungai bawah tanah yang airnya deras. Nah, itu untuk memompa kan butuh listrik. Itu juga bisa digunakan listrik dari tenaga surya. Di mobil pick up adalah contoh perangkat yang bisa dibawa kemana-mana. Misalnya mau memompa air di satu desa, mobilnya dibawa ke sana, solar cell dibentangkan, dapat listrik untuk menghidupkan pompa,” kata Panut.

Bank Indonesia, dan UGM bekerja sama dalam pembangunan PLTS dan pembentukan komunitas pengelolanya. (Foto: VOA/Nurhadi)

Petani atau siapapun yang ingin menggunakan perangkat ini bisa dikenakan biaya yang ringan sesuai kesepakatan pengelola nantinya.

Jika skema ini berjalan baik, di mana biaya perawatan PLTS tersedia dari bisnis yang dikembangkan komunitas, fasilitas ini bisa beroperasi hingga 20 tahun ke depan.

“Sebetulnya juga bisa untuk mengurangi penggunaan listrik dari PLN. Misalnya sebagian lampu-lampunya dipenuhi dari energi surya. Nanti kalau ada biaya, kita bisa memasuki daerah manapun dengan solar cell, karena wilayah kita sinar mataharinya tersedia banyak,” tambah Panut

Bupati Gunungkidul Sunaryanta menyambut baik prakarsa ini.

Your browser doesn’t support HTML5

PLTS untuk UMKM: Prakarsa Kecil Penerapan Energi Baru Terbarukan

“Ini adalah pilot project. Nanti kita lihat perkembangannya seperti apa. Kalau nanti bisa diterapkan di beberapa wilayah kita yang susah terjangkau listrik, mengapa tidak,” ujarnya.

Potensi pemanfaatan PLTS bergerak untuk mengatasi lahan kering pertanian di sebagian besar wilayah Gunungkidul juga dinilai menjadi solusi jitu.

PLTS rintisan ini ada di atap sebuah gedung, dan dikelola serta dirawat bersama oleh masyarakat. (Foto: VOA/Nurhadi)

“Di Gunungkidul, sekitar 70-80 persen penduduk bekerja di sektor pertanian sehingga EBT bisa optimalisasi untuk lahan kering dan EBT bisa jadi solusi kebutuhan akan pengangkatan air. Sangat luar biasa,” tambah Bupati.

Target Pemerintah Meleset

Pemerintah telah menetapkan tahun ini semestinya bauran EBT mencapai 14,5 persen dan akan tercatat 23 persen pada 2025. Sayangnya, target itu meleset karena 2021 tingkat bauran EBT hanya 11,5 persen, naik sedikit sekali dari tahun 2020 yang 11,2 persen.

Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana. (Foto: Courtesy/Humas ESDM)

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, menjanjikan upaya percepatan.

“Upaya percepatan yang kami lakukan ke depan untuk mendorong percepatan pengembangan EBT menuju target 23 persen di tahun 2025 antara lain penyelesaian Perpres Harga EBT, penerapan Permen ESDM PLTS Atap, mandatori BBN, pemberian insentif fiskal dan non-fiskal untuk EBT, kemudahan perizinan berusaha dan mendorong demand ke arah energi listrik, misal kendaraan listrik, dan kompor listrik,” kata Dadan.

Pernyataan itu dia sampaikan dalam rilis capaian kinerja 2021 dan rencana kerja 2022 subsektor EBTKE, Januari 2022 lalu.

BACA JUGA: Jokowi: Transisi Menuju Energi Baru Terbarukan Butuh Biaya Sangat Tinggi

Dadan juga memaparkan sejumlah upaya mendorong pemanfaatan energi surya. Di Jawa Barat dan Banten, misalnya, ada penyediaan lampu penerangan jalan tenaga surya. Selain itu, pos pengamanan perbatasan di kawasan terpencil yang tidak memiliki dukungan listrik PLN, dipenuhi kebutuhannya melalui PLTS. Di Papua, juga ada program penerangan rumah warga memanfaatkan PLTS skala kecil ini.

DPR Dorong Insentif

Anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti dalam kunjungan kerja terkait PLTS di Karangasem, Bali (28/1). (Foto: Courtesy/Humas DPR)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melihat perlu adanya terobosan kebijakan terkait EBT. Setidaknya, itu disuarakan oleh anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti, dalam pernyataan resminya.

Dyah mengakui, selama ini ada anggapan bahwa EBT berbiaya tinggi sehingga transisi energi dari fosil ke non-fosil yang lebih ramah lingkungan, belum optimal.

“Ada beberapa hal yang mengakibatkan harga EBT itu bisa mahal. Mungkin kurangnya inovasi, kurangnya permintaan, atau insentif juga kurang. Maka, memang ini permasalahan di pemerintah pusat yang harus kita cari solusinya,” kata Dyah Roro dalam kunjungan kerja spesifik ke PLTS Kubu, Bali, pada 28 Januari 2022.

Jajaran panel surya di Tenaska Imperial Solar Energy Center South di tengah pandemi virus corona, di El Centro, California, 29 Mei 2020. (Foto: Bing Guan/Reuters)

Dari sisi insentif anggaran, kata Dyah Roro, ada kebijakan terkait Nilai Ekonomi Karbon (carbon pricing) dalam Perpres 98/2021. Sedangkan inovasi bisa didorong melalui Badan Riset dan Invovasi Nasional. Sementara itu, sisi permintaan energi sudah jelas akan terus meningkat.

“Tiga faktor itu harus kita jaga bersama. Memang harga selalu menjadi alasan sebetulnya. Saya enggak mau harga ini jadi alasan lagi. Maka harus segera lakukan terobosan-terobosan yang dibutuhkan agar bisa berkembang ke depannya,” ujarnya. [ns/ka]