Pesta Bawah Tanah di Pakistan Mendobrak Batas

Suasana pesta di sebuah rumah pertanian di luar kota Islamabad, Pakistan. (Foto: Reuters)

Kaum elit Pakistan tetap bersuka ria secara diam-diam di tengah ketakutan akan kekerasan yang dilakukan kaum konservatif dan militan.
Perempuan dengan rok pendek dan pria dengan rambut basah karena minyak rambut menari dengan intim di lantai dansa seiring hentakan irama musik. Asap memenuhi ruangan dan gelas-gelas alkohol diedarkan. Beberapa pasangan berpelukan dan berciuman di satu sudut ruangan.

Ini bukan pemandangan Sabtu malam di sebuah klub di New York, London atau Paris. Ini adalah sisi rahasia Pakistan, negara Islam yang sering digambarkan oleh pihak Barat sebagai tanah berisikan kaum pria berjenggot dan keras serta perempuan berjilbab yang tertindas.

Pakistan dibentuk dari wilayah-wilayah berpenduduk mayoritas Muslim di India 65 tahun lalu, dan selama berpuluh tahun lamanya menggambarkan dirinya sebagai bangsa Islam yang progresif. Namun mulai 1980an, negara ini lebih mengarah pada interpretasi Islam yang konservatif yang mengubah lanskap politik, memicu kelompok militan dan membungkam pihak-pihak yang toleran.

Namun Pakistan tetap merupakan tempat tinggal bagi kelompok elit yang kaya dan kebarat-baratan, dengan kehidupan yang privat dan berbeda dari orang kebanyakan.
Setiap akhir pekan, perancang busana, fotografer, mahasiswa kedokteran dan pengusaha berkumpul di puluhan pesta di Islamabad, Karachi dan Lahore, mendobrak batas-batas sosial dalam lingkungan rahasia yang dapat membuat kaum konservatif terkejut dan marah.

“Sangat dahsyat,” ujar Numair Shahzada, sambil mengangguk-anggukkan kepalanya sesuai irama di sebuah peternakan di luar kota Islamabad yang dijaga oleh para pelatih kebugaran yang melakukan pekerjaan sampingan sebagai petugas keamanan. “Pertunjukan cahaya dan asap tadi sangat fenomenal.”

Kaum muda laki-laki dan perempuan bercampur dengan bebas, menari, berbicara atau minum. Beberapa berkumpul di pojokan yang lebih sunyi.

Meski alkohol dilarang di negara tersebut, banyak orang yang membawanya sendiri. Wiski dibawa dalam kantung kertas dan vodka disamarkan dalam botol air dan ditata di lantai dansa.

Tamu-tamu pesta merupakan minoritas di negara berpenduduk 180 juta, namun secara umum, Pakistan bukan negara yang represif. Perempuan dapat menyetir mobil sendiri, kuliah dan berperan penting dalam politik. Laki-laki dan perempuan lajang dapat berinteraksi tanpa terkena amarah polisi syariah.

Namun kalangan Islam konservatif mengurangi nilai-nilai toleransi tersebut.

Beberapa jam perjalanan darat dari sirkuit pesta Islamabad, daerah-daerah yang lebih terpencil telah jatuh ke tangan kelompok militan Taliban, yang bermimpi menjatuhkan pemerintahan yang didukung Amerika Serikat dan menciptakan masyarakat di mana kaum yang senang hura-hura akan mendapatkan cambukan atau lebih parah lagi.

“Pria dan wanita yang berdansa bersama dikutuk Tuhan. Jika kami melihat sesuatu yang vulgar semacam itu, kami pasti akan menjadikan mereka target,” ujar seorang komandan Taliban senior.

Laporan berita menyebutkan bahwa sebuah dewan suku di sebuah desa dekat perbatasan Afghanistan memerintahkan empat perempuan dibunuh awal tahun ini karena bertepuk tangan dan bernyanyi saat para prianya menari di sebuah acara pernikahan. Mahkamah Agung telah memerintahkan penyelidikan, namun tidak ada kelanjutan dari isu tersebut.

Meski mayoritas penduduk Pakistan membenci kekerasan yang dilakukan Taliban, banyak di antaranya yang percaya bahwa Islam harus menjadi pedoman negara Pakistan. Partai-partai Islam, dengan pencapaian buruk dalam survei namun berjaya di debat publik, yakin bahwa Islam harus menjadi pengatur semua aspek kehidupan.

“Situasinya kacau,” ujar Myra, 23, yang mengecat rambutnya dengan warna cokelat kemerahan. “Para pelayan dan supir di pesta-pesta itu melihat Anda dan Anda jadi berpikir orang seperti apa Anda dalam pikiran mereka.”

Untuk menghindari pihak yang tidak diinginkan, pesta-pesta dengan minuman beralkohol diadakan di rumah pertanian di luar kota Islamabad dan kota-kota lainnya, atau di perumahan mewah di balik dinding yang tinggi. Para penyelenggara pesta meminta bayaran $60 untuk setiap tamu, atau sama dengan jumlah uang yang dihasilkan banyak orang Pakistan.

Rafia, perempuan mungil dengan rambut panjang hitam dan memakai celana jins ketat dan blus hitam berleher rendah, rajin datang ke pesta-pesta semacam itu.

Ia mengernyitkan dahinya melihat perempuan-perempuan yang membawa telepon genggam yang tidak termonitor orang tua dan memakai baju yang terbuka di bawah pakaian konservatif yang kemudian ditanggalkan saat hendak berdansa.

“Anda bisa takut pada Tuhan atau berpesta,” ujarnya sambil mengisap mariyuana. “Saya tidak shalat secara rutin namun biasanya berpuasa. Tapi saya tidak mengatakan saya relijius.”

Tidak semua orang setuju dengan pendapatnya.

Bina Sultan, 40, perancang busana yang cantik, menampilkan lukisan-lukisan telanjang dan model-model pria telanjang dada dalam pertunjukannya. Ia juga memakai liontin perak berukirkan ayat Quran.

“Orang-orang berpikir saya tak tahu malu, namun sebetulnya saya relijius,” ujarnya di studio miliknya, sambil menyelipkan kata ‘jaani’ atau ‘sayang’ salam bahasa Urdu dalam perkataannya, seraya menghisap rokok.

“Keimanan saa kuat. Namun semua yang saya lakukan adalah antara Tuhan dengan saya.”

Liberal yang Kesepian

Konservatisme mulai menghinggapi Pakistan selama kekuasaan diktator militer Jenderal Mohammad Zia ul-Haq pada 1980an yang bertujuan meng-Islamkan negara tersebut.

Banyak yang menyalahkan kebijakan-kebijakan Zia sebagai pendorong budaya intoleransi yang mengisolasi kaum liberal.

Dalam sebuah peristiwa yang membuat kaum elit trauma, gubernur provinsi Punjab, Salman Taseer, dibunuh oleh penjaga keamanannya sendiri tahun lalu karena menentang undang-undang anti-penghujatan yang keras.

Reaksi yang timbul hampir sama mengejutkannya dengan pembunuhan itu sendiri bagi kaum liberal. Para ulama berdemonstrasi besar-besaran untuk memuji si pembunuh. Bahkan para pengacara, yang dulu merupakan penjaga garda depan untuk pergerakan demonstrasi Pakistan, menaburinya dengan kelopak bunga mawar.

Dalam iklim yang terus dipenuhi ketakutan, ruang untuk suara liberal terus mengecil.
Penyanyi rap Pakistan, Adil Omar, yang datang ke pesta-pesta akhir pekan, mengolok-olok Taliban dan meningkatnya konservatisme dalam lagu-lagunya. Namun ia tidak pernah melampaui batas.

“Banyak orang yang kelihatannya terbelah dan memiliki krisis identitas,” ujar Omar, yang memakai kemeja tradisional yang longgar dan celana gombrong. Ia memiliki tato di lengannya bergambarkan perempuan setengah telanjang dan unicorn, sesuatu yang memancing kemarahan beberapa penggemar yang menyebutnya menghina Islam.

“Saya berhati-hati supaya tidak mengeluarkan pendapat mengenai agama,” ujarnya. “Saya tidak ingin ada orang gila yang memenggal kepala saya.” (Reuters/Anam Zehra)