Penyederhanaan Nominal Rupiah Masih Jadi Perdebatan

  • Iris Gera

Nominal mata uang rupiah direncanakan disederhanakan dengan membuang tiga nol (ribu) di belakang nilai yang ada sekarang. (Foto: Dok)

Rencana pemerintah dan Bank Indonesia untuk memberlakukan penyederhanaan nominal rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya masih diperdebatkan.
Selama sepekan terakhir, pemerintah dan Bank Indonesia secara intens melakukan pembicaraan dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat terkait rencana redenominasi atau penyederhanaan nominal mata uang.

Pemerintah dan bank sentral tersebut berharap komisi yang berurusan dengan masalah ekonomi dan perbankan tersebut memprioritaskan pembahasan redenominasi, karena hal ini dapat membuat transaksi jual beli lebih efisien.

Menurut Menteri Keuangan Agus Martowardojo, penyederhanaan nilai mata uang, ujarnya, akan membuat transaksi jual beli lebih efisien. Agus mengatakan baru-baru ini bahwa nominal mata uang rupiah saat ini terkesan sangat rendah dibandingkan nilai tukar mata uang negara-negara lain.

Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution mengatakan dari sisi teknologi informasi, penyederhaan nominal mata uang sangat dibutuhkan karena keterbatasan digit pada perangkat teknologi.

Rencananya mata uang rupiah akan disederhanakan dengan membuang tiga nol atau ribuan di belakang nilai mata uang sekarang. Nilai terbesar nantinya adalah Rp 100, menggantikan Rp 100.000 dan terkecil 1 sen menggantikan Rp 10. Jika rencana penyederhanaan mata uang ini disetujui, Bank Indonesia akan menerbitkan uang kertas baru dari Rp 100 untuk menggantikan Rp 100.000 sampai yang terkecil Rp 2 untuk Rp 2.000, serta uang logam Rp 1 sampai 1 sen.

Penarikan untuk uang lama diharapkan mulai dikerjakan pada 2016 hingga 2018, sehingga pada 2019 Indonesia sudah menggunakan mata uang rupiah yang sudah disederhanakan.

Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Muliaman Hadad, mengatakan rencana tersebut dapat diwujudkan namun sosialisasi ke masyarakat harus dilakukan jauh sebelum implementasi.

OJK adalah lembaga yang baru disahkan DPR RI tahun ini dan efektif bekerja 2013, menggantikan peran Bank Indonesia dalam memantau perbankan nasioanl. Tugas bank sentral nantinya fokus pada pengendalian nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan mengendalikan inflasi.

“Rasanya OJK nanti kita ikut saja, intinya sebetulnya kalau boleh saya tambahkan sedikit dari beberapa masukan yang ada di tengah masyarakat, memang perlu dilakukan sosialisasi yang lebih banyak. Tentu saja semua sudah dipikirkan berbagai macam dampaknya,” ujar Muliaman.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Emiten Indonesia, Airlangga Hartato, mengatakan penyederhaan nilai mata uang belum saatnya diterapkan di Indonesia. Menurutnya, butuh pembenahan seluruh struktur perekonomian nasional termasuk pasar saham karena dikhawatirkan harga saham di Indonesia justru terpuruk.

“Saham masih ada yang nilainya di bawah Rp 500, dan ini jumlahnya besar. Biasanya redenominasi dilakukan apabila negara mengalami inflasi yang begitu tinggi tidak terkendali maka dilakukan sanering (pemotongan nilai mata uang),” ujar Airlangga.

“Kondisi perekonomian Indonesia sekarang kan anomali, inflasi kita terkendali, untuk apa kita melakukan redenominasi.”

Dalam kesempatan berbeda, kepada VOA di Jakarta, Kamis (20/12), pengamat ekonomi dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Pande Radja Silalahi, berpendapat redenominasi dibutuhkan agar masyarakat bisa lebih praktis dalam membawa uang dan saat melakukan transaksi.

Ssudah perlu tapi waktunya harus dilakukan supaya masyarakat memahami tujuannya karena saya melihat sekarang itu masyarakat masih banyak yang menganggap redenominasi sama dengan sanering (pemotongan nilai mata uang), jadi sangat tergantung bagaimana sosialisasi dilakukan,” ujarnya.

“Sekarang itu sudah perlu [dilakukan redenominasi], apalagi ada penjelasan lagi satuan terkecil nanti tetap sen, artinya sudah merupakan denominator terkecil dicari dan tidak segera. Dua mata uang itu dapat beredar bersama. Jadi satu rupiah baru dengan seribu yang ada sekarang itu bisa beredar, tapi satu rupiah yang baru itu nilainya seribu gitulah, itu harus ada kalau tidak masyarakat kaget.”


Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Harry Azhar Aziz, mengatakan redenominasi harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Ia berharap seluruh lapisan masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan karena proses implementasi redenominasi butuh waktu panjang.

“Ini kita kajilah benefit cost dan benefit-nya, sebagian orang mengatakan costnya bisa Rp 20 triliun atau Rp 30 triliun,” ujar Harry.