Pengamat: Pemerintah Terlalu Dominan dalam Penentuan Jadwal Pemilu 2024

  • Nurhadi Sucahyo

Warga menyaksikan petugas penyelenggara pemilu menunjukkan surat suara saat penghitungan suara di TPS di Jakarta, 9 April 2014. (Foto: REUTERS/Beawiharta)

Jadwal Pemilu 2024 belum memiliki kepastian sampai hari ini. Tarik menarik tanpa ujung ini menjadi bukti, bagaimana dominasi pemerintah yang terlalu kuat, bahkan dalam penyelenggaraan pemilu.

Menurut data yang ada sepanjang era reformasi, pemilu bisa berjalan baik karena ada kepastian jadwal yang sudah ditentukan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bekerja pada periode tertentu, terbiasa menyusun jadwal dengan detil dalam jangka waktu tertentu. Masalahnya, untuk Pemilu 2024, pemerintah berkelit di tengah jalan, dengan menyodorkan usulan tanggal baru, setelah sebelumnya ada kesepakatan dengan KPU dan DPR.

Peneliti PUSaKO Muhammad Ichsan Kabullah dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)

Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum, Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Muhammad Ichsan Kabullah, mengingatkan detil program KPU membutuhkan kejelasan jadwal. Semakin awal persiapan dimulai, semakin baik persiapan dan penyelenggaraan pemilu bisa dilakukan. Karena itulah, kengototan pemerintah terkait jadwal baru itu dipertanyakan.

“Karena memang rezim pemerintah berkepentingan membuat jadwal pemilu yang menguntungkan rezim itu sendiri. Jadi jangan heran, tren pemilu yang berubah-ubah. Tidak pasti jadwal pemilu ini, sama dengan tidak pastinya kita mau pakai antigen atau PCR,” kata Ichsan dalam diskusi yang diseleggarakan PUSaKO, Rabu (3/11).

Seorang petugas pemilu membantu seorang perempuan lanjut usia untuk menandai jarinya dengan tinta setelah memberikan suaranya pada Pilkada di Tangerang, Banten, 27 Juni 2018. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Ichsan membeberkan tahapan pelaksanaan pemilu 2014 dan 2019. Dua pemilu ini menarik, karena terjadi peningkatan tingkat partisipasi pemilih, yang menjadi salah satu penanda kualitas pemilu. Data menunjukkan, pada 1999 tingkat partisipasi pemilih mencapai 92,6 persen. Lima tahun kemudian, angkanya turun menjadi 84,1 persen. Tahun 2009, tingkat partisipasi turun lagi hingga ke 70,9 persen. Pada 2014, jumlahnya kembali naik mencapai 75,1 persen dan kemudian menjadi 81 persen pada Pemilu 2019.

Salah satu faktor naiknya partisipasi pemilih, adalah karena KPU memiliki cukup waktu dalam persiapan. Pada Pemilu 2014 misalnya, ada 18 tahapan penyelengaraan dari perumusan program hingga pelaksanaan yang memakan waktu 22 bulan. Pada 2019, ketika terjadi peningkatan pemilih, jumlah tahapan itu semakin dirinci menjadi 24 program.

BACA JUGA: KPU Siapkan Peta Jalan Penggunaan Teknologi Untuk Pemilu 2024

Artinya, kata Ichsan, semakin rigid program disusun, hasilnya semakin baik. Syaratnya, kembali ke persoalan awal, KPU harus memiliki panduan waktu yang terukur.

Kali ini, nampaknya pemerintah terlalu dominan dalam urusan pemilu. Ichsan mengutip pendapat sejumlah ahli, dan mengaitkan sikap itu dengan kondisi demokrasi di Indonesia. Sejumlah pakar memang telah menilai, Indonesia masuk ke stagnasi demokrasi, regresi demokrasi dan juga penurunan demokratisasi.

“Ada kecenderungan Indonesia mengarah ke kondisi illiberal demokrasi. Dimana pemerintah tidak hanya mendominasi, tetapi juga sangat kuat mempengaruhi, termasuk dalam pengambilan keputusan hukum, serta institusi penyelengaraan hukum itu sendiri. Termasuk untuk mempengaruhi Pemilu,” kata Ichsan.

Dia juga sepakat, bahwa apa yang terjadi saat ini adalah politisasi pemilu.

Seorang petugas pemilu memegang surat suara saat penghitungan suara pemilihan presiden di Makassar, Sulawesi Selatan, 9 Juli 2014. (Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad)

Ubah Jadwal, Ubah UU

Hurriyah dari Pusat Kajian Politik, Universitas Indonesia menyebut, ada tiga undang-undang yang menjadi ketentuan umum terkait pemilu. Salah satunya adalah Undang-Undang No 10 Tahun 2016, yang sudah menetapkan jadwal pilkada pada November 2024.

“Kalau ada opsi di luar itu, maka konsekuensinya adalah perlu melakukan perubahan regulasi. Perlu melakukan perubahan UU, yang ini prosesnya tidak mudah. Tidak bisa secepat misalnya kalau KPU membuat Peraturan KPU,” ujar Hurriyah

Hurriyah peneliti dari Pusat Kajian Politik, Universitas Indonesia dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)

Ketentuan umum yang lain adalah UUD 1945 pasal 22E yang menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara reguler. Tidak boleh ada jeda, yang mengakibatkan pelaksanaan pemilu tidak bisa dilaksanakan lima tahun sekali.

Satu lagi yang harus diperhatikan adalah UU No 7 Tahun 2017, yang menempatkan kewenangan menentukan jadwal pemilu ada di KPU RI.

“Tetapi kita juga tahu, preseden sebelumnya di dalam penentuan jadwal pemilu tidak bisa hanya melibatkan KPU saja sebagai penyelenggara. Pasti ada persetujuan dan pemerintah dan DPR RI. Artinya diskusi mengenai jadwal pemilu memang menghadirkan ketiga regulator ini bertemu, duduk bareng dan merumuskan bersama-sama,” kata Hurriyah.

Petugas pemilu memakai masker pelindung saat pemilihan kepala daerah di Denpasar, Provinsi Bali, 9 Desember 2020. (Foto: Antara/Fikri Yusuf via REUTERS

Dialihkan KPU Periode Depan?

DPR akan segera memasuki masa reses akhir tahun ini. Pemerintah belum mau mengubah usulannya terkait jadwal pelaksanaan Pemilu 2024. Sementara KPU periode ini, akan habis masa kerjanya ada April 2022.

Peneliti dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, Aqidatul Izza Zain mengingatkan polemik ini sudah berlangsung sejak Mei 2021. Karena itulah, agar tidak terus berlarut, dia mengusulkan sebaiknya seluruh pihak berkonsentrasi pada tugasnya, dan jadwal baru menjadi tanggung jawab KPU periode depan.

“Bagaimana perdebatan ini diselesaikan, pemerintah, KPU dan semua stakeholder fokus mengenai apa yang bisa dilakukan. Persoalan penetapan tanggal ini diserahkan kepada KPU periode berikutnya,” kata Izza.

Your browser doesn’t support HTML5

Pengamat: Pemerintah Terlalu Dominan dalam Penentuan Jadwal Pemilu 2024

Izza mengatakan, salah satu prinsip pemilu adalah efektif dan efisien. Para penyelenggara perlu memperjelas penerapan prinsip ini pada pemilu mendatang. Pemerintah di sisi lain juga perlu menjelaskan ke publik, terkait kemampuan keuangan di tahun depan hingga 2024.

Persoalan anggaran ini juga sempat mengemuka. KPU sendiri telah mengajukan anggaran Pemilu 2024 sebesar Rp86 triliun. Sejumlah anggota DPR berulang kali meminta KPU menyisir kembali pengajuan anggaran yang mereka lakukan. Apalagi, saat ini keuangan negara masih harus difokuskan untuk penanganan pandemi dan perbaikan kondisi ekonomi.

Izza juga menegaskan, standar kualitas pemilu tidak boleh diturunkan. Secara umum, KPU akan membutuhkan waktu persiapan hingga 20 bulan.

“Jangan sampai diturunkan kualitasnya. Kita ingin mengefisiensi anggaran tetapi jangan sampai kualitasnya diturunkan,” kata Izza.

Seorang pemilih memeriksa daftar legislatif yang dipasang di sebuah TPS di Sleman, DIY dalam Pemilu 2019. (Foto: VOA/ Nurhadi)

Mengenai jadwal pemilu, menurut catatan Izza, Indonesia biasanya melaksanakan pemilu pada April. Pada 2004, Pemilihan Legislatif (Pileg) diselenggarakan pada 5 April, sedangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) jatuh pada 5 Juli. Pada 2009, Pileg diadakan 9 April dan Pilpres 8 Juli. Tahun 2014, Pileg diselenggarakan 9 April dan Pilpres pada 9 Juli. Sedangkan 2019, Pileg digelar 17 April dan Pilpres 17 April.

Sementara untuk Pemilu 2024, KPU telah mengusulkan pemilu pada 21 Februari dan pilkada 27 November. Pemerintah kemudian meminta Pilpres dan Pileg digelar 15 Mei dan Pilkada serentak 27 November. Atas usulan ini, KPU mengubah usulan awalnya, dan memilih Pemilu pada 15 Mei 2024 dan Pilkada serentak pada 19 Februari 2025. Belum ada kesepakatan atas tanggal-tanggal itu sampai saat ini.

BACA JUGA: Pemerintah Menyandera KPU Terkait Jadwal Pemilu 2024

Mendagri Dinilai Lamban

Melalui pernyataan tertulis, Anggota Komisi II DPR RI, Rifqizamy Karsayuda meminta jadwal pemilu segera ditetapkan. Rifqi mengatakan, berdasarkan informasi yang diperolehnya, pemerintah dan KPU masih melakukan konsolidasi dan penyamaan persepsi terkait jadwal.

“Hari pencoblosan suara Pemilu 2024 harus segera diputuskan, sebab berbagai tahapan lain mengacu pada hal itu. Misalnya, tahapan verifikasi partai politik, termasuk tahapan-tahapan lainnya,” kata Rifqi.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian Tito pada Minggu, 19 Juli 2020. (Foto: Screengrab)

Politisi PDI-Perjuangan itu menilai Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian terkesan lamban merespon kondisi ini. Mendagri, kata Rifqi, belum maksimal melakukan koordinasi dengan Penyelenggara Pemilu, termasuk dengan partai-partai politik yang ada di DPR RI.

Karena itu, Mendagri perlu bersilaturahmi dengan seluruh pihak agar mendapatkan titik temu. Apalagi, ketidakpastian ini muncul setelah pemerintah mengusulkan jadwal baru, berbeda dengan jadwal yang sudah disepakati bersama.

Fraksi PDI-Perjuangan DPR RI sendiri menginginkan jadwal Pemilu 2024 memiliki jeda waktu cukup sebelum dilakukannya Pilkada. Salah satu alasannya, agar seluruh sengketa Pileg dan Pilpres sudah selesai sebelum tahapan Pilkada 2024 dimulai.

“Hasil Pileg 2024 adalah dasar pengajuan calon dalam Pilkada 2024. Karenanya, hasil Pileg harus berkekuatan hukum sebelum pendaftaran Pilkada digelar,” tambah Rifqi lagi. [ns/ab]