Pemerintah Indonesia Harus Kembalikan Sampah Impor Beracun

  • Wella Sherlita

Mas Ahmad Santosa, REDD+ (Foto: dok).

Meski sudah meratifikasi Konvensi Basel, pemerintah dianggap belum bersikap tegas atas 113 kontainer sampah impor dari Inggris dan Belanda.

Pengamat hukum lingkungan, Mas Ahmad Santosa, kepada VOA, Sabtu menilai seharusnya pemerintah Indonesia tidak perlu ragu memulangkan kontainer yang sudah terbukti oleh pihak Bea dan Cukai berisikan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Apalagi, kata Mas Ahmad Santosa, Konvensi Basel yang sudah diratifikasi Indonesia pada tahun 1998 itu sudah dituangkan ke dalam Peraturan Pemerintah.

“Kalau hukum positif ‘kan yang berlaku Konvensi Basel sudah diratifikasi jadi UU, lalu diterjemahkan ke dalam PP dan UU No, 32 (Tahun 2009) saya kira begitu saja. Kalau saya berpendapat, kita perlu berpegang kuat pada hukum saja, kalau perlu dikembalikan ya kembalikan dan dulu kita pernah lakukan itu, ketika ada (sampah B3) dari Belanda. Kalau misalnya tidak ada tindakan tegas kita akan terus dijadikan tempat pembuangan,” kata Ahmad Santosa.

Anggota Satgas REDD+ (Satgas Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan), lembaga bentukan Presiden Yudhoyono, berjanji akan mendalami kasus pengiriman sampah B3 dari Inggris dan Belanda tersebut, yang dikirim akhir Januari lalu.

Koordinator Indonesia Toxics-Free Network, Yuyun Ismawati, mengatakan posisi Indonesia sebetulnya sudah cukup kuat sebagai anggota penandatangan KOnvensi Basel, sehingga semestinya sudah paham aturan penerimaan dan pengiriman sampah B3.

“Indonesia sudah menjadi anggota Konvensi Basel sejak 1998, cukup lama, jadi seharusnya kita sudah hafal dan tahu tentang aturan penerimaan dan pengiriman limbah dari satu negara ke negara lain. Ini kebetulan angka terbesar (113 kontainer). Tahun 2010 kita punya pengalaman dengan AS, isi container tidak sesuai dengan manifes-nya, itu bisa dikembalikan pada negara pengirim. Return to Sender (pengembalian barang) itu ada dalam Konvensi Basel,” demikian penjelasan Yuyun.

Pada kasus terakhir, Ditjen Bea dan Cukai melaporkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Keuangan, atas 113 kontainer mencurigakan asal Inggris dan Belanda. Saat ini, sampah B3 yang berisi limbah ektronik berupa PCB (Print Circuit Board, Dinamo), asphal, kemasan bahan kimia, dan sampah itu sedang diteliti.

Slamet Daroyni, WALHI (foto: dok).


Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Slamet Daroyni, mengatakan sejak lama pengaturan sampah B3 bertolakbelakang antara pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Perdagangan. Alasannya, sampah impor yang masih dapat diolah bisa bermanfaat kalau diproduksi kembali sesuai prosedur. Masalahnya, kata Slamet, pengolahan sampah impor hanya ada di satu tempat di kawasan Cileungsi, Jawa Barat.

“Sampai hari ini belum ada, karena instrumen UU no. 18 tahun 2008 yang seharusnya dijalankan PP-nya belum ada, dan ini menjadi ganjalan bagi KLH untuk menjalankan amanah UU No. 18 itu tadi, sehingga instrumen-instrumen yang seharusnya bisa menyelesaikan persoalan termasuk limbah B3 itu tidak mendapatkan jalan keluar,” ungkap Slamet Daroyni.

Seandainya pun Indonesia memiliki alat pengolah limbah beracun yang memadai, sesuai Konvensi Basel, menurut Slamet, limbah itu tetap harus dipulangkan ke negara asal.

Berdasarkan data WALHI, masih terdapat tujuh juta ton limbah impor dari berbagai negara, termasuk dari Amerika Serikat pada tahun 2010. Sementara yang masih bisa diolah hanya 1,7 juta ton.

Pemerintah Indonesia Harus Kembalikan Sampah Impor Beracun
INTRO: Meski sudah meratifikasi Konvensi Basel yang mengatur penerimaan dan pemulangan sampah impor dari bahan-bahan beracun, pemerintah dianggap belum bersikap tegas atas kejadian yang sama, ketika 113 kontainer sampah impor yang mengandung Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) tiba dari Inggris dan Belanda. Selengkapnya dilaporkan Wella Sherlita, dari Jakarta.
TEXT: Pengamat hukum lingkungan, Mas Ahmad Santosa, kepada VOA, Sabtu menilai seharusnya pemerintah Indonesia tidak perlu ragu memulangkan kontainer yang sudah terbukti oleh pihak Bea dan Cukai berisikan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Apalagi, kata Mas Ahmad Santosa, Konvensi Basel yang sudah diratifikasi Indonesia pada tahun 1998 itu sudah dituangkan ke dalam Peraturan Pemerintah.
MAS AHMAD SANTOSA ACT.
“Kalau hukum positif ‘kan yang berlaku Konvensi Basel sudah diratifikasi jadi UU, lalu diterjemahkan ke dalam PP dan UU No, 32 (Tahun 2009) saya kira begitu saja. Kalau saya berpendapat, kita perlu berpegang kuat pada hukum saja, kalau perlu dikembalikan ya kembalikan dan dulu kita pernah lakukan itu, ketika ada (sampah B3) dari Belanda. Kalau misalnya tidak ada tindakan tegas kita akan terus dijadikan tempat pembuangan.”
TEXT: Anggota Satgas REDD+ (Satgas Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan) –lembaga bentukan Presiden Yudhoyono, berjanji akan mendalami kasus pengiriman sampah B3 dari Inggris dan Belanda tersebut, yang dikirim akhir Januari lalu.
Koordinator Indonesia Toxics-Free Network, Yuyun Ismawati, mengatakan posisi Indonesia sebetulnya sudah cukup kuat sebagai anggota penandatangan KOnvensi Basel, sehingga semestinya sudah paham aturan penerimaan dan pengiriman sampah B3.
YUYUN ISMAWATI ACT.
“Indonesia sudah menjadi anggota Konvensi Basel sejak 1998, cukup lama, jadi seharusnya kita sudah hafal dan tahu tentang aturan penerimaan dan pengiriman limbah dari satu negara ke negara lain. Ini kebetulan angka terbesar (113 kontainer). Tahun 2010 kita punya pengalaman dengan AS, isi container tidak sesuai dengan manifes-nya, itu bisa dikembalikan pada negara pengirim. Return to Sender (pengembalian barang) itu ada dalam Konvensi Basel.”
TEXT: Pada kasus terakhir, Ditjen Bea dan Cukai melaporkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Keuangan, atas 113 kontainer mencurigakan asal Inggris dan Belanda. Saat ini, sampah B3 yang berisi limbah ektronik berupa PCB (Print Circuit Board, Dinamo), asphal, kemasan bahan kimia, dan sampah itu sedang diteliti.
Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Slamet Daroyni, mengatakan sejak lama pengaturan sampah B3 bertolakbelakang antara pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Perdagangan. Alasannya, sampah impor yang masih dapat diolah bisa bermanfaat kalau diproduksi kembali sesuai prosedur. Masalahnya, kata Slamet, pengolahan sampah impor hanya ada di satu tempat di kawasan Cileungsi, Jawa Barat.
SLAMET DAROYNI ACT.
“Sampai hari ini belum ada, karena instrumen UU no. 18 tahun 2008 yang seharusnya dijalankan PP-nya belum ada, dan ini menjadi ganjalan bagi KLH untuk menjalankan amanah UU No. 18 itu tadi, sehingga instrumen-instrumen yang seharusnya bisa menyelesaikan persoalan termasuk limbah B3 itu tidak mendapatkan jalan keluar.”
TEXT: Seandainya pun Indonesia memiliki alat pengolah limbah beracun yang memadai, sesuai Konvensi Basel –kata Slamet, limbah itu tetap harus dipulangkan ke negara asal. Berdasarkan data WALHI, masih terdapat 7 juta ton limbah impor dari berbagai negara, termasuk dari Amerika Serikat pada tahun 2010. Sementara yang masih bisa diolah hanya 1,7 juta ton.
Dari Jakarta, Wella Sherlita melaporkan untuk VOA Washington.