Pemerintah Dinilai Terlalu Manjakan Perkebunan Dibanding Tanaman Pangan

  • Iris Gera

Pemerintah diimbau untuk lebih memperhatikan pertanian tanaman pangan serta nasib petani (foto: dok).

Menurut pengamat pertanian Deddy Budiman seharusnya pemerintah tetap mengutamakan pertanian tanaman pangan dibanding perkebunan.

Pemerintah menilai produksi perkebunan Indonesia memiliki prospek positif di masa mendatang, karena selain dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri, juga dapat diandalkan memenuhi target ekspor.

Kepada VoA di Jakarta, Selasa, pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor atau IPB, Deddy Budiman berpendapat dengan tetap fokus kepada tanaman pangan berarti pemerintah berupaya memenuhi kebutuhan pangan nasional. Ia menilai selain harus tetap mengembangkan tanaman pangan, pemerintah juga harus lebih memperhatikan nasib petani.

“Kalau saya menteri pertanian saya akan fokus ke pangan, banyak petani bagaimana mungkin mereka bisa hidup layak kalau hanya punya lahan 0,25 hektar, sulit kreditnya, jalannya kurang diperhatikan, irigasinya tidak berfungsi, nggak ada insentif buat petani tanaman pangan,” ujar Deddy Budiman.

Deddy Budiman menambahkan keberpihakan pemerintah yang semakin besar terhadap industri perkebunan terutama kelapa sawit karena pemerintah menilai mudah digerakkan sebagai pendukung perekonomian nasional termasuk untuk meningkatkan ekspor.

Yang ideal menurutnya adalah pemerintah mendukung tanaman perkebunan sebagai industri namun tetap mengutamakan tanaman pangan sebagai kebutuhan pokok masyarakat dan jangan terlampau bergantung pada impor.

Deddy mengutarakan, “Karena harga CPO-nya mahal pemerintah mendukung, perkebunan kan kebanyakan perusahaan besar bukan usaha tani sehingga bank-bank mau memberikan kredit kepada perusahan besar, bank melihat ada prospek bagi mereka dan mereka kan grup-grup besar ada jaminan, perbankan ternyata memang tidak memberikan kredit kepada usaha tani, padi, jagung, kedelai.”

Sebelumnya Menteri Pertanian, Suswono menegaskan, tahun depan pemeritah akan lebih mendorong industri perkebunan terutama kelapa sawit sebagai peluang meningkatkan perekonomian hingga ke daerah.

“Industri perkebunan inilah yang kita jadikan andalan, karena kalau kita menjual dalam bentuk mentah mereka yang menikmati para pelaku industri. Nah, tentu saja ini menjadi peluang sangat terbuka dan dalam situasi seperti sekarang ini. Sebetulnya, Indonesia menarik buat investor untuk membangun industri produk-produk komoditas pertanian,” demikian menurut Suswono.

Dari hasil perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini diprediksi akan menghasilkan minyak sawit mentah atau CPO tahun depan sekitar 27 juta ton, meningkat dibanding target produksi CPO tahun ini sebanyak 25 juta ton. Jumlah tersebut masih diurutan pertama sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia setelah Indonesia berhasil menyusul Malaysia dengan produksi CPO rata-rata per tahun sekitar 20 juta ton. Bahkan Indonesia menargetkan produksi CPO pada tahun 2020 sebanyak 40 juta ton.

Meski dalam setahun terakhir tanaman kelapa sawit dinilai turut menyumbang kerusakan hutan namun CPO diandalkan bagi pemasukan negara melalui kegiatan ekspor. Bahkan untuk tenaga kerja juga diandalkan.

Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau GAPKI mencatat setiap ekspansi lahan seluas 500 ribu hektar per tahun akan menyerap sekitar 100 ribu tenaga kerja. Namun, GAPKI menilai prediksi-prediksi tersebut akan sulit dicapai setelah pemerintah memberlakukan Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam dan lahan gambut. Inpres tersebut akan diterapkan selama dua tahun dan berlaku khusus untuk 64,2 juta hektar hutan primer dan lahan gambut di Indonesia.