Pemerintah Diminta Tingkatkan Perlindungan Anak dari Kekerasan Seksual di Daerah Tertinggal

  • Yoanes Litha

Seorang staf dari Wahana Visi Indonesia memberikan pendampingan kepada dua anak penyintas kekerasan seksual. (Foto : WVI)

Wahana Visi Indonesia (WVI) mengatakan pemerintah perlu memprioritaskan layanan publik perlindungan anak dan perempuan di daerah tertinggal agar mereka mendapat perlindungan yang setara dari kekerasan seksual.

Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Wahana Visi Indonesia (WVI) mengatakan banyak kasus-kasus kekerasan seksual pada anak di wilayah terpencil yang tidak terungkap karena minimnya akses ke pelayanan publik. Ditambah lagi, pelaku kasus-kasus kekerasan seksual pada anak sering kali anggota keluarga terdekat.

Berdasarkan laporan Wahana Visi Indonesia 2021, dari 72 kasus kekerasan seksual pada anak hanya 13 kasus yang berhasil ditindaklanjuti kepolisian, dan hanya 14 korban yang mendapatkan layanan psikososial.

Jenis-jenis kekerasan seksual terbanyak adalah pencabulan sebanyak 20 kasus, perkawinan paksa sebanyak 15 kasus dan perkosaaan sebanyak 13 kasus. WVI memperkirakan jumlah kasus lebih banyak lagi karena korban tidak berani melapor.

Anak-anak bersama semua elemen masyarakat di Surabaya dalam koalisi yang digagas ALIT menyerukan stop kekerasan dan eksploitasi seksual pada anak

“Jadi kalau dalam satu komunitas saling kenal, apalagi pelakunya adalah saudara misalnya. Itu jadi dalam tanda kutip untuk menjaga keharmonisan mereka tidak melaporkan. Jadi bagaimana mau mendapatkan pelayanan, kalau di tingkat orang tua saja tidak dilaporkan,” kata Child Protection Team Leader WVI, Emmy Lucy Smith dalam Temu Media bertema Bagaimana Implementasi UU TPKS di Daerah Tertinggal, Kamis (12/5).

Selain minim akses ke pelayanan publik, berdasarkan pengamatan WVI, wilayah-wilayah terpencil juga memiliki keterbatasan sumber daya lembaga pemerintah.

Child Protection Team Leader Wahana Visi Indonesia, Emmy Lucy Smith, dalam tangkapan layar.

Berdasarkan fakta lapangan tersebut, Emmy mendorong pemerintah untuk meningkatkan layanan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan Dan Anak (UPTD PPA) dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan layanan kepolisian yang berperspektif anak di daerah tertinggal.

Menurutnya, kedua elemen tersebut merupakan ujung tombak dalam menghadapi kasus kekerasan seksual di daerah tertinggal.

Anak-anak pengungsi Nduga yang terlantar pendidikannya. Wahana Visi Indonesia (WVI) mengatakan pemerintah perlu memprioritaskan layanan publik perlindungan anak dan perempuan di daerah tertinggal agar mereka mendapat perlindungan yang setara dari kekerasan seksual. (Foto: Humas DPR Papua)

Peningkatan Layanan Perlindungan Anak

Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPA, Nahar, mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk terus mengupayakan layanan perlindungan anak yang memadai.

Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Nahar, dalam tangkapan layar.

Berdasarkan data KPPPA, saat ini ada 239 UPTD PPA atau sekitar 43 persen dari total 548 wilayah kabupaten/kota dan provinsi yang diwajibkan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, diharapkan semua pemerintah daerah dapat terdorong untuk membentuk UPTD PPA seperti yang ditegaskan dalam UU tersebut.

“Pemerintah daerah provinsi, kabupaten kota wajib membentuk UPTD PPA yang menyelenggarakan penangan perlindungan korban, keluarga korban dan atau saksi,” kata Nahar.

Butuh Sosialisasi

Ketua Forum Anak Gandringstar Kecamatan Sungai Betung, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, Jeri (17), mengatakan pelayanan publik untuk menangani anak korban kekerasan seksual di daerahnya belum memadai. Mayoritas korban kekerasan seksual di Kecamatan Sungai Betung adalah anak perempuan.

Anak-anak berkumpul menerima terapi okupasi di pengungsian korban gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, 14 Oktober 2018. Wahana Visi Indonesia (WVI) mengatakan pemerintah perlu memprioritaskan layanan publik perlindungan anak dan perempuan di daerah tertinggal agar mereka mendapat perlindungan yang setara dari kekerasan seksual. (Foto: REUTERS/Jorge Silva)

Ia mengatakan bahwa unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) kepolisian di tingkat Kepolisian Sektor (polsek) dan Rumah Aman di tingkat kecamatan belum menyediakan perlindungan bagi penyintas saat proses hukuim.

“Kalau kasus yang sensitif mungkin anak lebih cenderung tidak mau mengungkapkan kepada polisi laki-laki. Lalu kalau mau dirujuk ke Polres harus ke kabupaten. Butuh biaya, tenaga dan waktu, sedangkan korban dalam kondisi yang tidak nyaman,” kata Jeri dalam acara yang sama.

Pengurus Forum Anak Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) Roslinda (17) mengatakan berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak setempat, setidaknya sejak Januari 2022 hingga Maret 2022 terdapat 24 kasus perkosaan terhadap anak.

BACA JUGA: UU TPKS Disahkan, Anak Penyintas Kekerasan Seksual Apresiasi Pemerintah

Dia mengatakan banyak orang tua yang tidak melaporkan kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak mereka karena pelaku adalah kerabat sendiri.

“Mereka lebih menjaga nama baik keluarga dibanding harus melapor. Jadi mereka lebih memilih untuk menyelesaikan masalah itu melalui jalan damai. Kasihan anaknya,” kata Roslinda.

Selain itu, kata Roslinda, sebagian besar masyarakat, termasuk anak-anak sebayanya, belum mendapatkan edukasi terkait isu kekerasan seksual. Dia berharap sosialiasi UU TPKS mampu menjangkau ke daerah pelosok untuk menyadarkan pelaku akan konsekuensi hukum dan mendorong anak untuk berani melapor. [yl/ft]