Pemerintah Diminta Ratifikasi Konvensi Perlindungan Penghilangan Paksa

  • Fathiyah Wardah

Polisi menahan para pengunjuk rasa setelah bentrokan di Jakarta, 22 Mei 2019. (Foto: Antara via Reuters)

Sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah agar segera meratifikasi konvensi internasional untuk perlindungan semua orang dari penghilangan paksa.

Berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan Joko Widodo, termasuk kasus penghilangan paksa. Oleh karena itu, sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah agar segera meratifikasi konvensi internasional untuk perlindungan semua orang dari penghilangan paksa.

Pernyataan itu disampaikan setelah tiga organisasi masyarakat sipil - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras, Ikatan Orang Hilang Indonesia (Ikohi), dan Asia Federation Against Involuntary Disappearance (AFAD) – menggelar konferensi nasional di Jakarta pada 25-26 November.

BACA JUGA: Keluarga Korban Kasus Pelanggaran HAM Berat Tetap Minta Proses Hukum

Dalam jumpa pers di sebuah hotel di Jakarta Pusat, Selasa (26/11), Payan Siahaan, ayah aktivis Ucok Munandar Siahaan yang diculik pada 1998, sangat berharap pemerintah segera meratifikasi konvensi internasional untuk perlindungan dari penghilangan paksa. Ia yakin ratifikasi itu akan mencegah terulangnya kejadian serupa.

Namun berkaca dari pengalaman pribadinya, yakni Ucok Munandar Siahaan putra Payan yang belum jelas nasibnya, Payan mengaku ragu pemerintah akan meratifikasi konvensi itu. Menurutnya, perlu dorongan sangat maksimal agar pemerintah dan parlemen segera meratifikasi konvensi anti penghilangan paksa tersebut.

"Sehingga kami sebagai keluarga korban akan merasakan bahwa ada dorongan dari pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus kami apabila ratifikasi tersebut bisa dilaksanakan. Karena bagaimanapun ada keterkaitan dari kasus itu (penghilangan paksa) terhadap ratifikasinya," kata Payan.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil, Selasa (26/11)mendesak pemerintah agar segera meratifikasi konvensi internasional untuk perlindungan semua orang dari penghilangan paksa. (VOA/Fathiyah)

Menurut Mugiyanto, penasihat Ikohi, ada banyak alasan kenapa Indonesia perlu meratifikasi konvensi anti penghilangan paksa itu. Dewan Perwakilan Rakyat, paparnya, sudah merekomendasikan kepada pemerintah untuk meratifikasi konvensi perlindungan penghilangan orang secara paksa pada tahun 2009. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 sudah setuju untuk meratifikasi konvensi itu, namun DPR menolaknya pada 2014.

Konvensi anti penghilangan paksa ini merupakan satu-satunya konvensi HAM utama yang belum diratifikasi oleh Indonesia.

Mugiyanto mengatakan organisasi masyarakat sipil dan keluarga korban harus terus mendesak pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk mempercepat proses ratfikasi konvensi anti penghilangan paksa tersebut.

"Kita akan mengukur komitmen pemerintah, kepatuhan Indonesia terhadap Perserikatang Bangsa-Bangsa. Karena itu menjadi anggota Dewan HAM PBB mulai 1 Januari nanti (2020) adalah dengan ratifikasi," ujar Mugiyanto.

BACA JUGA: KontraS Nilai Jokowi Gagal Penuhi Janji Penuntasan Pelanggaran HAM

Mugiyanto menambahkan para keluarga korban juga meminta kepada pemerintah untuk memperjelas status 13 orang aktivis yang hilang sejak tahun 1998 dan tidak diketahui nasibnya sampai sekarang.

Organisasi-organisasi masyarakat sipil berencana mengusulkan kepada pemerintah untuk mengeluarkan sertifikat yang menyatakan 13 orang tersebut tidak diketahui nasibnya karena penghilangan paksa. Kebijakan semacam ini sudah dilakukan oleh Argentina.

Komnas HAM Tegaskan Perlunya Pengungkapan Kasus Penghilangan Paksa

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam menegaskan pengungkapan kasus penghilangan paksa pada 1997-1998 sangat penting agar negara menyadari bahwa hal ini merupakan perilaku buruk yang tidak boleh diulangi.

Menurutnya dalam berbagai konsep kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penghilangan paksa, idealnya diselesaikan melalui pengadilan. Kalau ada kekurangan terkait proses peradilan, maka Presiden Joko Widodo harus mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu).

"Ada dua hal yang penting dalam Perpu ini. Yang pertama adalah bagaimana hak korban harus segera dipenuhi. Masak, nggak malu negara ini tidak malu dengan korban-korban yang sudah sepuh. Apalagi ada korban-korban-korban yang tahun 1965, 1980, macam-macam yang sudah lama. Makanya Perpu adalah jalan keluar untuk bagaimana memberikan hak korban tanpa harus menunggu putusan pengadilan," ujar Anam.

BACA JUGA: Kasus 2 Mahasiswa Tewas: Amnesty Kritik Hukuman Ringan Polisi

Anam mengingatkan dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Proses Penyelesaian Kasus Pelanggaran Berat HAM, tidak ada hubungannya antara hak korban dengan putusan pengadilan. Untuk membersihkan ganjalan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, dia meminta Komnas HAM diberikan kewenangan lebih besar sebagai penyidik atau penuntut.

Dia menegaskan tidak ada hambatan yang serius untuk menyelesaikan perkara-perkara pelanggaran besar HAM melalui jalan pengadilan. Satu-satunya ganjalan adalah politik.

Tentang ide pembentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang ditawarkan pemerintah, Anam meminta kerja KKR nantinya harus dapat dipastikan mengungkap kebenaran sesungguhnya dari berbagai kejadian pelanggaran berat HAM masa lalu.

Your browser doesn’t support HTML5

Pemerintah Diminta Ratifikasi Konvensi Perlindungan Penghilangan Paksa


Pemerintah Pernah Ajukan ke DPR

Sementara itu mantan tenaga ahli di Kantor Staf Presiden Ifdal Kasim menjelaskan pada awal pemerintahan Jokowi, pemerintah pernah mengajukan konvensi ini kepada DPR untuk diratifikasi, tetapi Komisi I DPR ketika itu menangguhkannya karena ingin memahami terlebih dahulu isi konvensi tersebut. Hal senada dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri, yang sudah sempat menyiapkan ratifikasi itu, tetapi terhenti karena pilpres.

“Jadi sebetulnya pemerintah sudah menyiapkan naskah akademiknya, RUUnya nah nanti mungkin tinggal pada pemerintahan yang baru ini, tinggal dibawa ke Menkopolhukam untuk dibahas kembali. Tinggal naskah sudah ada dibawa kembali ke DPR," jelas Ifdal.

Hingga laporan ini disampaikan juru bicara presiden Fajroel Rahman belum menjawab permintaan VOA untuk menanggapi hal ini. (fw/em)