Pemerintah Berharap Jangan Ada Wisata Balas Dendam

  • Nurhadi Sucahyo

Lansekap Tetebatu di Kaki Gunung Rinjani, NTB. (Foto: Courtesy/BPBD Lombok Timur)

Menurunnya jumlah kasus COVID-19 menggairahkan sektor pariwisata. Pengelola mengharapkan pemasukan, sementara masyarakat yang jenuh membutuhkan hiburan. Namun, pemerintah berharap tidak ada “wisatawan balas dendam."

Penurunan level dalam PPKM membawa konsekuensi diizinkannya pembukaan sejumlah obyek wisata, meskipun langkah itu harus diiringi penerapan protokol kesehatan yang ketat.

Zaenul Padli, pegiat wisata Tetebatu, Lombok Timur, NTB. (Foto: Dok Pribadi)

Zaenul Padli turut mengelola destinasi wisata di Desa Tetebatu, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Kepada VOA dia mengaku, pandemi ini memberi pengaruh sangat besar terhadap kunjungan wisatawan. Padahal, mereka sudah memiliki basis wisatawan yang setia datang dari Eropa, khususnya dari Belanda. Padli mengungkapkan, seluruh pihak di sana menunggu pintu gerbang lebih lebar dibuka, terlebih bagi wisatawan asing.

“Bisalah Desa Tetebatu ini nanti dalam masa pandemi, pemerintah memberi kita ruang lebih untuk menerima para wisatawan ini. Karena rata-rata wisatawan yang dari luar negeri sudah menelepon semua, tetapi karena PPKM, karena pandemi, bandara belum dibuka. Mereka tidak bisa ke sini,” kata Padli.

Tenda-tenda para pendaki di Gunung Rinjani. (Foto: Humas Kementerian Pariwisata)

Bulan lalu, Tetebatu terpilih menjadi satu dari tiga desa wisata di Indonesia yang akan maju dalam ajang desa wisata terbaik yang diselenggarakan badan wisata PBB, UNWTO. Jika menjadi pemenang bulan Oktober nanti, tentu akan menjadi kesempatan promosi besar bagi sektor wisata di NTB.

Pemerintah Tarik Rem

Harapan besar pelaku wisata seperti Padli, mungkin masih lama untuk terwujud. Pemerintah masih menahan rem di sektor pariwisata, karena memahami risikonya terhadap upaya mengatasi pandemi.

Menparekraf Sandiaga Salahuddin Uno bersama penari di kawasan wisata Borobobudur, Jawa Tengah. (Foto: Kemenparekraf)

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno sempat menyinggung isu ini, dalam konferensi pers mingguan, Senin (20/9). Dia meminta tidak ada wisatawan balas dendam. Istilah ini dipakai untuk menyebut mereka yang menyerbu destinasi wisata sebagai “balas dendam” setelah jenuh berbulan-bulan tidak bisa berekreasi.

Sandiaga menyebut, pemerintah mendorong sosialisasi dengan segmen dan target tertentu, agar masyarakat berhati-hati dan waspada dalam berwisata.

“Karena kita ini masih di tengah-tengah pandemi, dan saya nyatakan di sini, gelombang-gelombang selanjutnya dari pandemi COVID-19 ini tidak bisa kita elakkan. Hanya bisa kita antisipasi dengan lebih baik,” ujar Sandi.

Para pendaki warga negara asing dan Indonesia berjalan di Desa Sembalun setelah turun dari Gunung Rinjani di Lombok Timur, 30 Juli 2018. (Foto: Akbar Nugroho Gumay/Antara Foto via Reuters)

Para pakar virus memang menduga bahwa varian baru akan terus bermunculan. Penyebabnya adalah mutasi dari virus COVID-19 sendiri. Untuk menghadapinya, sektor pariwisata harus dibuka dengan hati-hati.

Sandi berharap, jangan sampai penurunan level PPKM diartikan sebagai kebebasan dan euforia beraktivitas, termasuk wisata.

“Melandainya kasus COVID-19 ini adalah secercah harapan, dan waktu tepat untuk kita menata ulang, sehingga pariwisata itu lebih smaller in size, lebih quality-based,” kata Sandi.

BACA JUGA: Sepi Turis, Monyet Bali Kelaparan dan Serbu Rumah Penduduk

Dia juga berharap masyarakat mau memilih destinasi-destinasi yang tidak unggulan atau favorit. Misalnya, kata Sandi, kunjungan bisa dilakukan ke desa wisata. Dia sendiri mengaku sudah menikmati desa wisata, dan melihat potensi luar biasa.

“Tentunya harus berdisiplin, menggunakan aplikasi Pedulilindungi di sentra-sentra ekonomi kreatif dan destinasi wisata umum lainya. Dengan protokol CHSE yang ketat dan disiplin, kita harus cegah terjadinya lonjakan kasus lagi,” ujar Sandi

Vaksinasi juga menjadi salah satu kunci. Sandi misalnya secara khusus menyebut NTB sebagai wilayah yang harus meningkatkan cakupan vaksinasi. Apalagi, ke depan Sirkuit Mandalika direncanakan akan menjadi ajang World Superbike.

Proyek pembangunan pesisir Mandalika, yang merupakan usulan lokasi perlombaan motor MotoGP baru di sirkuit jalan raya yang dibuat khusus di Mandalika, Lombok selatan, 23 Februari 2019. (Foto: AFP/Arsyad Ali)

Daerah Sangat Berhati-Hati

Sementara itu, pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta relatif berhati-hati dalam pembukaan kembali sektor pariwisata. Hingga saat ini, baru tiga destinasi wisata yang resmi dibuka, dengan penerapan batas pengunjung.

Empat destinasi lainnya diusulkan untuk dapat dibuka secepatnya, menunggu persetujuan dari pihak terkait. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, telah memasukkan empat destinasi wisaya di DIY, dalam daftar 20 destinasi di Jawa-Bali, yang diusulkan dibuka kembali dengan penerapan aplikasi Pedulilindungi.

Kawasan Nol Kilometer Yogyakarta yang biasa menjadi pusat wisata kini sepi di tengah diberlakukannya PPKM di tengah pandemi COVID-19, 16 Juli 2021 (Foto:VOA/ Nurhadi)

Pekan lalu, kunjungan wisatawan domestik ke Yogyakarta terlihat cukup menggeliat. Bus-bus pariwisata nampak terparkir di sejumlah titik kota, karena tidak bisa masuk ke kawasan wisata populer, Jalan Malioboro. Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X resah dengan kondisi ini. Dia bahkan mempertanyakan tujuan pengelola perjalanan wisata mulai membuka paket, karena obyek wisatanya sendiri masih ditutup.

Gubernu DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X. (Foto: Courtesy/Humas DIY)

"Akhirnya karena tutup, semua ditumpahkan ke Malioboro. Ini maksudnya, biar DIY statusnya merah atau apa? Kita enggak tahu,” kata Sultan.

Sultan juga mengingatkan, destinasi wisata di Yogyakarta mayoritas masih tutup, seperti juga di provinsi-provinsi lain di Jawa dan Bali. Dia memastikan perusahaan jasa wisata dan operator bus mengetahui keputusan pemerintah itu.

Bali, destinasi wisata utama di Indonesia, nampaknya juga masih harus bersabar. Provinsi ini baru satu pekan menikmati status penurunan level PPKM, dari 4 menjadi 3.

I Made Kerta Duana, pakar kesehatan masyarakat, Universitas Udayana, Bali. (Foto Dok Pribadi)

Pakar kesehatan masyarakat Universitas Udayana, Bali, I Made Kerta Duana kepada VOA mengatakan, perbaikan status itu harus ditanggapi dengan hati-hati. Dia memahami, bahwa penopang utama ekonomi Bali adalah pariwisata. Namun, aturan dan kondisi yang ada, kata dia membuat masyarakat memang harus lebih sabar.

Tidak dapat dielakkan, kata Made, pariwisata Bali khususnya sangat tergantung dari kunjungan wisayawan internasioal. Di sisi lain, pandemi memaksa pemerintah daerah memaksimalkan potensi wisatawan domestik. Apapun pilihan yang diambil, pembukaan kembali sektor pariwisata harus dilakukan dengan penerapan syarat yang maksimal. Dia mengingatkan, salah satu patokan kepercayaan terhadap sektor pariwisata, adalah status atau level PPKM, di mana Bali saat berada di Level 3.

Your browser doesn’t support HTML5

Pemerintah Berharap Jangan Ada Wisata Balas Dendam

“Kalau kita buka sektor pariwisata sedikit-sedikit seperti sekarang, tetapi kita bisa turun ke Level 2, tentu kepercayaan akan tumbuh bahwa pariwisata bukan sektor yang bisa menjadi kambing hitam dalam peningkatan kasus,” kata Made kepada VOA.

Dengan kehati-hatian, Made optimis pariwisata Bali akan kembali tumbuh. Pengawasan yang lebih baik dan evaluasi bertahap dibutuhkan untuk memastikan keamanannya. Jika semua terkendali, Made yakin sektor pariwisata akan pulih sepenuhnya, dan ekonomi Bali akan membaik. [ns/lt]