Pemerintah akan Tinjau Kebijakan untuk Freeport dan Newmont

  • Iris Gera

Para karyawan PT Freeport melakukan unjuk rasa menuntut kenaikan upah di Timika, Papua (10/10/2011). Freeport bekerja dengan Newmont Nusa Tenggara berencana membangun smelter (pabrik pemurnian mineral) di Gresik.

Setelah PT. Freeport Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara bersedia membangun pabrik pemurnian mineral atau smelter, pemerintah akan tinjau ulang berbagai kebijakan yang dibebankan kepada kedua perusahaan tambang milik Amerika tersebut.
Setelah Rabu lalu Freeport dan Newmont menyatakan bersedia membangun smelter, kedua perusahaan tambang tersebut semakin intensif melakukan pembicaraan dengan pemerintah mengenai berbagai langkah kedepan.

Kepada pers di kantor Kementerian Perekonomian di Jakarta, Jumat, Direktur PT. Freeport Indonesia, Rozik Soetjipto mengatakan kepastian Freeport membangun smelter di Gresik, Jawa Timur dengan biaya sekitar 2,3 milyar dollar Amerika. Selain itu dijelaskannya smelter yang akan dibangun nanti bekerjasama dengan Newmont dan PT Aneka Tambang atau Antam memiliki kapasitas pengolahan 1,6 juta ton untuk bijih besi per tahun dan kapasitas pengolahan tembaga sebesar 400 ribu ton.

Meski belum diputuskan masalah mekanisme kerjasama nanti, ia menjelaskan Freeport akan mengeluarkan anggaran terbesar untuk pembangunan smelter dibanding Newmont dan Antam.

“Di daerah Gresik, kapasitas kosentrat 1,6 juta, copper sekitar 400 ribu ton per tahun, sama Antam sedang dibicarakan kira-kira ya Freeport lah,” kata Rozik.

Sementara terkait dengan bea keluar ekspor yang dekeluhan Freeport dan Newmont karena terlampau tinggi , Menteri Perindustrian, MS Hidayat mengatakan akan ditinjau ulang melalui Peraturan Menteri Keuangan atau PMK yang baru.

Sebelumnya pemerintah melalui PMK Nomor 6 Tahun 2014 menetapkan bea keluar ekspor mineral olahan hingga mencapai 60 persen sehingga Freeport dan Newmont menyampaikan keberatannya kepada pemerintah. Freeport dan Newmont meminta bea keluar nol persen.

Menurut Menteri MS. Hidayat dengan kepastian membangun smelter, pemerintah akan mempertimbangkan kembali bea keluar untuk Freeport dan Newmont.

MS Hidayat mengatakan kebijakan yang akan ditinjau ulang termasuk kebijakan bea keluar ekspor karena pemerintah berjanji akan menerapkan bea keluar nol persen jika Freeport dan Newmont membangun smelter.

“Waktu itu kita jawab biaya keluarnya akan nol kalau dia sudah membangun, nah sekarang dia itu minta pertimbangan, kalau sudah selesai membangun kan berarti tiga tahun lagi, nah untuk itu dia minta diberi kelonggaran karena dia sudah pasti membangun, sebab kalau nggak kan uangnnya hilang, apakah itu bisa memenuhi persyarakat atau kriteria yang diinginkan oleh pemerintah atau semua menteri? Kalau saya sebagai Menperin kalau dia sudah memenuhi persyaratan administrasi misalnya memberikan jaminan misalnya kalau dia membangun 2,3 milyar, lima persennya kan seratus sekian juta dollar di taruh di Bank, mungkin itu salah satu indikasi bahwa dia serius,” kata MS. Hidayat.

Sementara banyak kalangan menilai keputusan Freeport dan Newmont membangun smelter akan mempengaruhi proses negosiasi ulang kontrak karya. Namun Menko bidang Perekonomian, Chairul Tanjung menegaskan hal itu tidak benar. Menko, Chairul Tanjung menjelaskan persoalan kewajiban membangun smelter seusai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Mineral dan Batubara tidak ada hubungannya dengan proses negosiasi ulang Kontrak Karya.

“Dalam kapasitas soal perpanjangan masa kontrak kewenangannya tidak pada pemeirntah saat ini, ada dipemerintahan pada saat kontrak itu mau berakhir, kontrak Freeport itu sampai tahun 2021 perpanjangan kontrak itu baru bisa dilakukan dua tahun sebelumnya, Newmont malah lebih panjang lagi, 2030, kewenangan pemerintah yang sekarang hanya sebatas penerapan Undang-Undang Minerba terkait dengan pembangunan smelter,” kata Chairul Tanjung.

Enam masalah dalam proses negosiasi ulang Kontrak Karya antara pemerintah dengan perusahan tambang yang beroperasi di Indonesia termasuk Freeport dan Newmont hingga saat ini belum ada titik temu. Keenam masalah tersebut yaitu batasan luas wilayah, royalti, divestasi saham, kewajiban pengolahan dan pemurnian, tingkat penggunaan barang dan jasa dalam negeri, serta perpanjangan kontrak.