Sekitar 200 negara turut serta dalam konferensi PBB tentang perubahan iklim di Afrika Selatan, tetapi hanya ada sedikit rasa optimisme konferensi ini akan menghasilkan rencana komprehensif untuk melawan perubahan iklim global.
Pertemuan selama 12 hari ini dibuka di Durban hari Senin. Sebuah isu kunci adalah apakah negara-negara industri akan memperpanjang Protokol Kyoto, sebuah perjanjian mengikat secara hukum untuk memangkas emisi gas rumah kaca. Perjanjian itu akan kadaluwarsa tahun depan.
Uni Eropa menyerukan perjanjian baru yang mengikat secara hukum dan mengikutsertakan lebih banyak pihak. Utusan khusus Uni Eropa Tomasz Chruszczow, mengatakan negara-negara yang menandatangani Protokol Kyoto hanya bertanggung jawab atas sekitar 15 persen emisi global.
Tomasz Chruszczow mengatakan, “Jadi kita perlu kerangka global untuk melengkapi apa yang kita miliki sekarang, dan benar-benar melibatkan semua negara ekonomi besar.”
Dua penghasil polusi terbesar dunia, Amerika dan Tiongkok, menjadi pusat perhatian dalam hal ini. Amerika mengatakan tidak akan menandatangani perjanjian untuk memangkas emisi gas rumah kaca, kecuali jika beban itu dibagi secara rata dengan negara-negara berkembang seperti Tiongkok, India dan Brazil.
Ketua delegasi iklim Amerika, Jonathan Pershing mengatakan, Amerika tidak akan menandatangani kesepakatan kecuali jika kesepakatan pengurangan emisi juga berlaku sama bagi negara-negara berkembang. Pershing mengatakan, salah satu tujuan delegasi Amerika di Durban adalah untuk memulai diskusi tentang tindakan yang dapat diambil setelah tahun 2020.
Sementara, Tiongkok berpendapat negara-negara industri menyebabkan sebagian besar masalah perubahan iklim dan negara-negara berkembang tidak harus menanggung beban yang sama.
Tapi meskipun ada perbedaan pendapat diantara berbagai pihak, para aktivis lingkungan di KTT COP17 mengatakan masih ada harapan bagi kemajuan. Tasneen Essop dari organisasi World Wide Fund for Nature mengatakan tidak seperti KTT iklim di Cancun tahun lalu dan Kopenhagen tahun sebelumnya, ada perasaan bahwa tahun ini apa pun bisa terjadi.
Tasneen Essop mengatakan ia ingin melihat negara-negara memanfaatkan kemajuan yang telah dicapai di Cancun tahun lalu, yang mencakup kesepakatan penyediaan dana sebesar 100 miliar dolar untuk membantu negara-negara berkembang beradaptasi dengan perubahan iklim dan mengembangkan teknologi baru.
Menggarisbawahi pentingnya diskusi, laporan terbaru dari Badan Energi Internasional memperingatkan bahwa dunia punya waktu kira-kira lima tahun lagi untuk secara signifikan mengurangi emisi karbon untuk mencegah perubahan iklim yang permanen.
Berbicara dalam upacara pembukaan hari Senin, Presiden Afsel Jacob Zuma mengatakan perbedaan pendapat ini membawa resiko bagi negara-negara berkembang, terutama di Afrika di mana kata Zuma “perubahan iklim adalah urusan hidup atau mati.” Zuma menambahkan, ketidaksepakatan pengurangan emisi akan menempatkan negara-negara berkembang dalam resiko.