Pangeran Saudi Janjikan Perubahan Sosial di Negaranya

Wakil Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman dalam kunjungan ke Istana Elysee di Paris, 2015. (Reuters/Charles Platiau)

Bagi dinasti Al Saud, yang selalu bersekutu dengan para ulama berkuasa dari sekte Sunni Wahabi, reformasi itu berisiko mendapat perlawanan dari kelompok konservatif.

Reformasi-reformasi yang dijanjikan pangeran muda Arab Saudi mengacu kepada tradisi Islamis kerajaan tersebut, tapi juga mencakup ide-ide yang kemungkinan besar membuat marah pihak konservatif, dan berisiko memecah masyarakat.

Wakil Putra Mahkota, Mohammed bin Salman, dengan rencananya "Visi 2030", yang diumumkan pangeran berusia 31 tahun itu awal pekan ini, sebagian besar bertujuan untuk mengubah ekonomi Arab Saudi di tengah anjloknya harga minyak dan memuat sedikit janji spesifik mengenai perubahan sosial.

Namun, rencana reformasi ini juga merambah wilayah yang telah lama menjadi medan perang budaya di negara yang dikenal konservatif religius itu.

Bagi dinasti Al Saud, yang selalu bersekutu dengan para ulama berkuasa dari sekte Sunni Wahabi, reformasi itu berisiko mendapat perlawanan dari kelompok konservatif.

Pangeran Mohammed tidak menyatakan bahwa perempuan akan segera diizinkan mengemudi kendaraan. Namun ia mengangkat kemungkinan perubahan di bidang lain, yakni janji-janji untuk berinvestasi dalam acara budaya dan fasilitas hiburan, mendorong olahraga dan mempromosikan warisan budaya kuno serta identitas nasional Saudi. Hal-hal ini sangat kontroversial diantara kelompok konservatif.

Di Arab Saudi, bioskop dilarang dan perempuan tidak disarankan berolahraga karena itu mempromosikan dosa.

Pangeran Mohammed telah mempresentasikan dirinya sebagai wajah generasi muda Saudi, taat beragama namun agak berbeda dari generasi ulama yang lebih tua, karena lebih terbuka pada dunia luar dan lebih menerima pengaruh budaya.

Visi 2030 bahkan menggunakan kalender Barat di judulnya, bukan kalender Hijriah yang secara resmi digunakan di Arab Saudi.

Ketika ia mengungkapkan rencananya, pangeran mengumpulkan ulama, intelektual dan jurnalis dari berbagai spektrum.

Namun keputusan pemerintah baru-baru ini untuk meningkatkan kontrol atas polisi agama, dan terus mendorong perempuan bekerja, telah membuat marah kelompok konservatif, menunjukkan betapa rentannya pergulatan budaya di sana.

"Jika dilakukan terlalu cepat, akan ada dampak negatif. Reformasi di Arab Saudi selalu memiliki prasyarat: harus datang dari dalam, harus perlahan-lahan dan harus mempertimbangkan apa yang orang yakini benar," ujar Abdulaziz al-Sager, kepala Pusat Penelitian Teluk yang berbasis di Jeddah dan Jenewa.

​Rakyat Saudi sendiri penggemar berat media dan budaya Barat. Meski ada larangan bioskop, film-film Hollywood dan serial-serial televisi baru ditonton secara luas di rumah-rumah dan diperbincangkan. Rakyat Saudi menonton YouTube lebih sering daripada kebangsaan mana pun, dan baik kelompok liberal dan konservatif menggunakan media sosial untuk menyebarkan pandangan mereka.

Diantara rencana Pangeran yang berpotensi paling kontroversial adalah reformasi pendidikan. Pangeran Mohammed telah bersumpah untuk menciptakan "sebuah sistem pendidikan yang sejalan dengan kebutuhan pasar," jauh dari sistem saat ini yang masih sangat fokus pada pengajaran Quran. [hd]