Nude Photography: Tampilan Seni atau Pornografi?

"Unseen Journey" ungkap (Foto: privat)

Dunia seni yang begitu kaya raya dalam beragam format, dinilai mengalami kemunduran ketika bersinggungan dengan karya yang dianggap seronok atau erotis, terutama karya fotografi. Sebegitu tipiskah batas seni dan pornografi?

Karya seni, baik lagu dan tari, teater, lukis, patung, pahatan, maupun fotografi, kerap menampilkan sosok manusia, terutama perempuan. Tak jarang perempuan ditampilkan polos apa adanya, tanpa busana.

Relief-relief di berbagai candi di Indonesia atau India, patung-patung karya Michelangelo hingga Trubus, lukisan karya Jean-Leon Gerome hingga Basuki Abdullah, atau foto-foto karya David Hamilton, Annie Leibovitz hingga Darwis Triadi memanifestasikan ketelanjangan sebagai sebuah karya seni.

Fotografer Annie Leibovitz berbicara tentang pameran 'Women: New Portraits' yang dipesan oleh UBS di New York AS, 15 November 2016. (REUTERS / Shannon Stapleton)

Namun beberapa tahun terakhir ini kemajuan besar dalam dunia seni itu surut ketika patung, lukisan, atau foto yang menampilkan sosok telanjang ditutupi kain atau dipindahkan ke lokasi tertutup karena dinilai tidak senonoh. Bahkan beberapa dihancurkan.

Sejumlah galeri-galeri seni juga enggan memamerkan karya seperti itu karena khawatir diserbu kelompok-kelompok konservatif atau dijerat Undang-Undang (UU) Pornografi. Sebagian seniman, pematung, pelukis atau fotografer memilih menahan diri untuk berkarya, termasuk di antaranya Yudha Apelgede.

Sulit Pameran dan Menerbitkan Buku

Mantan fotografer majalah gaya hidup yang kemudian menjadi fotografer profesional itu merasakan betul kesulitan untuk memamerkan hasil jepretannya, atau bahkan menerbitkan buku yang memuat karyanya. Tidak saja karena ia menampilkan model tanpa busana, tetapi juga karena mereka bukan model biasa.

Tak seperti fotografer pada umumnya, Yudha memilih memotret perempuan-perempuan yang bukan model dan tidak memiliki bentuk tubuh yang dianggap ideal. Misalnya, berbadan besar dan memiliki selulit bekas melahirkan.

Awalnya, sulit bagi Yudha mendapatkan model seperti itu. Kalau pun ada, ujar Yudha, mereka tidak percaya diri.

Yudha Apelgede (Foto: privat)

“Padahal, menurut saya tidak peduli seperti apa tubuh mereka, yang penting sehat. Saya juga ingin mematahkan pandangan ketika itu bahwa perempuan yang bisa difoto nude itu harus sempurna, cantik dengan ukuran sekian sekian. Orang males foto perempuan ukuran plus. Saya lihat mengapa tidak,” ujar Yudha ketika diwawancarai melalui telepon akhir pekan lalu.

Yudha memupuk keberaniannya memulai sesi pemotretan itu setelah melakukan serangkaian diskusi panjang dengan beberapa fotografer senior dan kurator, antara lain Firman Ichsan dan Tommy F. Awuy.

Tommy, kurator dan dosen filsafat di Universitas Indonesia dan Institut Kesenian Jakarta, menuturkan ketika Yudha merencanakan karyanya, pembahasan UU Pornografi sedang ramai. Banyak organisasi masyarakat (ormas) saat itu, imbuh Tommy, yang “mencari persoalan” dengan isu-isu seperti itu.

Tommy F. Awuy, Pakar Filsafat UI (foto: dok. pribadi).

“Dia datang pada saya menunjukkan karyanya. Saya langsung suka! Saya menantangnya agar karya foto itu tidak saja dijadikan dokumen pribadi, tapi harus dipertunjukkan ke publik,” kata Tommy.

“Setidaknya menurut saya hal ini bisa mengedukasi tentang fotografi dan cara pandang khas Yudha yang di luar dugaan,” imbuhnya.

Ironisnya tidak ada galeri seni yang berani memamerkan karya foto Yudha itu. Beberapa teman menyarankannya mengkompilasi foto-foto itu dalam buku dan menerbitkannya. Namun, lagi-lagi, tidak ada penerbit yang berani menerbitkannya. Usul seorang teman lain membuat laki-laki kelahiran Jakarta 7 November itu nekad menerbitkannya di California.

Cover Buku "Unseen Journey" Yudha Apelgedhe. (Foto: Yudha Apelgedhe)

Ketika meramban (browsing) di Internet, Yudha menemukan informasi mengenai Blurb, penyedia jasa bagi penulis untuk menerbitkan karyanya sendiri. Blurb akan membantu distribusinya.

Namun, masalah lain muncul. Yudha harus mengeluarkan biaya besar untuk sewa gedung dan cetak buku dalam jumlah banyak, padahal belum ada yang membeli.

“Akhirnya saya pakai sistem print on demand, jadi setelah cetakan pertama (500 buku.red), baru akan dicetak lagi ketika ada yang memesan. Dan ini terus berlangsung,” papar Yudha yang menggunakan penerbitan independen di Amerika itu.

Kemunduran Seni

Perdebatan soal apakah foto telanjang merupakan bagian dari karya seni atau pornografi, tidak pernah usai. Meskipun seorang fotografer piawai mengambil sudut gambar atau angle tertentu, dengan pencahayaan dan komposisi yang menghilangkan kesan erotis, sebuah karya foto jauh lebih mudah diasumsikan sebagai pornografi dibanding karya lain, misalnya lukis atau patung.

Foto udara ini memperlihatkan seorang perempuan (kanan) sedang memotret anak-anaknya (tengah) pada lukisan tiga dimensi sepanjang 300 meter, karya enam belas seniman dari Komunitas Perupa Jakarta yang melambangkan ekspresi dan semangat seniman di tengah pandemi COVID-19 di luar museum Basoeki Abdullah di Jakarta, 27 Agustus 2020. (ADEK BERRY / AFP)

Perupa dan pengamat seni Jim Supangkat pernah menulis tentang perbedaan reaksi jika ketelanjangan ditampilkan melalui foto dan lukisan. Seni lukis dan seni patung menurutnya akan tetap melihat ketelanjangan sebagai bagian dari seni, bukan kehidupan atau bagian dari kenyataan. Namun, fotografi tidak melihat jarak antara penikmat dan karya foto, terlebih karena lebih mudah dilipatgandakan dan disebarluaskan.

Sementara Tommy F. Awuy menilai telah terjadi kemunduran dalam cara orang menikmati karya seni, padahal mendiang pelukis Basoeki Abdullah dulu getol mendorong kemajuan estetika dengan menelurkan karya-karya yang progresif.

“Tapi beberapa tahun terakhir ini yang terjadi justru regresi, kemunduran, ada dikotomi halal haram, dikotomi karya seni versus pornografi, ada undang-undang yang keras dan kelompok masyarakat yang menggunakannya untuk berbagai kepentingan,” ujar sosok yang kerap dijuluki sebagai pengusung post-modernism di Indonesia itu.

Ia menambahkan akan butuh waktu panjang untuk kembali ke era sebelumnya.

Kehadiran Komunitas Tertentu, Dorong Optimisme

Yudha Apelgede (Foto: privat)

Meski demikian, ia tetap optimis akan ada saat kebangkitan kembali berbagai karya seni yang kini dianggap tabu. Optimisme Tommy bukan tanpa alasan. Dia melihat mulai banyak komunitas-komunitas fotografi dengan kekhasan tersendiri mulai bermunculan. Komunitas-komunitas tersebut kerap menggelar pameran bersama.

“Tahun lalu sebelum COVID-19 mereka pamerkan di TIM yang tingkatnya internasional juga. Jika mereka terus progresif dan daya juang terus menyala-nyala maka saya yakin lebih singkat dari yang saya bilang tadi,” ujarnya penuh semangat.

Sementara Yudha Apelgede sendiri, meski sudah diberi semangat oleh sesama fotografer untuk menerbitkan buku kedua, masih menahan diri dulu. “Saya masih nge-rem dulu Mbak. Melihat yang kemarin (buku pertama.red), saya cari aman dulu deh.” Ia juga memilih menekuni teknik digital imaging dulu di saat perebakan virus corona yang membuatnya tidak bisa seaktif dulu. [em/fw]