Mendongeng, Antara Terapi dan Menjaga Tradisi di Masa Pandemi

  • Yudha Satriawan

Seorang relawan Indonesia membacakan buku untuk anak-anak ketika mereka mengikuti program di perpustakaan bawah jembatan yang disebut "TBM Kolong", 10 Februari 2019. (Foto: AFP/Adek Berry)

Mendongeng ternyata tidak sekedar menjaga tradisi, tetapi juga terapi untuk menjaga kedekatan hubungan orang tua dengan anak-anak.

“Wow! Lihat di lautan banyak binatang khas Indonesia. Ada pesut, gurita, penyu, lumba-lumba. Loh kok ikannya ada yang masuk di botol plastik, di dalam kantong plastik, waduh tolong ada banyak perangkap sampah plastik."

Demikian Ganjar Ramadhan ketika mendongeng tentang kondisi hewan di lautan yang terjerat sampah plastik, di hadapan 200 peserta diskusi daring hari Kamis (23/7) yang mengupas tentang manfaat mendongeng sebagai kearifan lokal dan budaya bangsa.

Praktisi mendongeng , Ganjar Ramadhan, saat menjadi narasumber seminar daring merayakan hari Anak Nasional, 23 Juli, Kamis (23/7). (Foto: VOA/Yudha Satriawan)

Menurut Ganjar, pesan penting soal bahaya sampah plastik bagi kehidupan di bumi, juga berbagai peristiwa masa kini hingga budaya masa lalu, dapat disampaikan pada anak-anak dengan mendongeng atau story telling. Hal ini membuat pesan lebih mudah disampaikan dan dipahami.


"Intinya dengan cara apapun kita bisa lakukan untuk mendongeng, storytelling, kita bisa menanamkan nilai, menciptakan kedekatan orang tua dengan anak apalagi di masa pandemi, anak dan orang tua kan tetap berada di rumah, belajar atau bekerja dari rumah. Bahan mendongeng bisa kita dapat dari cerita sehari-hari misalnya," kata Ganjar.

Lebih lanjut Ganjar mengungkapkan agar dongeng lebih menarik bisa menggunakan media visual misalnya boneka, gambar, dan sebagainya yang diperoleh dari buku maupun internet.

Sebuah buku komik anak sebagai ilustrasi. (Foto: Tumisu via Pixabay)

Kebiasaan mendongeng juga dilakukan keluarga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim. Istri “Mas Menteri” Franka Makarim, dalam kesempatan yang sama menceritakan bagaimana ia secara bergantian dengan suaminya suka mendongeng untuk anak-anak di rumah. Menurut Franka, kebiasaan mendongeng akan memacu kebiasaan membaca bagi anak dan orang tua.

"Kita sebagai orang tua atau guru tidak lagi ragu memakai metode bercerita sebagai media edukasi yang efektif. Kegiatan mendongeng adalah kegiatan murah, menyenangkan dan berharga," katanya.

Istri Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Franka Makarim, saat menjadi narasumber seminar daring merayakan hari Anak Nasional, 23 Juli, Kamis (23/7) dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/ Yudha Satriawan)

"Kami mendorong mendongeng bisa dilakukan bersama-sama secara konsisten apalagi di masa pandemi. Belajar mendongeng itu memang butuh latihan, banyak membaca buku, literasi. Siapapun antara saya maupun Mas Nadiem, setiap hari meluangkan waktu mendongeng untuk anak-anak kami. Kami coba konsisten. Saya rasa semua orang punya gaya bercerita masing-masing," papar Franka.

Juru bicara “Pertiwi Indonesia,” Antarina, mengungkapkan mendongeng sedianya dikenalkan sejak dini, terutama untuk memperkenalkan kearifan lokal dan budaya bangsa.

BACA JUGA: Hari Anak Nasional: Radio Anak Mendidik dengan Mendengarkan

"Penting juga bagi kita semua, dalam bercerita itu juga mengenalkan kearifan lokal, budaya nusantara, sejak usia dini. Mendongeng ini tidak hanya menumbuhkan minat atau budaya baca, tetapi juga pesan moral dan etika sosial meningkatkan kemampuan kognitif, pembentukan karakter anak."

Timun Mas, Malin Kundang, Bawang Merah Bawang Putih, Sangkuriang, Jaka Tarub, Legenda Batu Menangis, Keong Mas, si Kancil yang cerdik, Cindelaras, Roro Jonggrang adalah sejumlah dongeng populer di Nusantara.

Pakar pendidikan, Citra Cininta, saat menjadi narasumber seminar daring merayakan hari Anak Nasional, 23 Juli dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Yudha Satriawan)

Praktisi pendidikan, Citra Cininta mengungkapkan mendongeng melatih imajinasi anak dan memacu perkembangan kecerdasan otak anak-anak. Citra meyakini mendongeng masih menjadi andalan orang tua ditengah perkembangan teknologi visual seperti animasi video di media sosial atau tayangan televisi berisi gambar cerita berbagai dongeng.

"Kan sekarang gadget banyak, televisi banyak, tontonan banyak, tapi kan kosakata yang diajarkan satu arah. Anak hanya menerima. Berbeda ketika mendongeng, orang tua membacakan cerita, ada interaksi dan koneksi dua arah antara orang tua dan anak," katanya.

"Kadang tontonan itu ada ucapan tanpa arti, atau gambar lewat begitu cepat. Mendengar itu hal yang tidak mudah lho. Dengan mendongeng, kita harapkan anak bisa fokus, rentang perhatian berupa fokus dan mendengarkan itu masih sangat pendek untuk anak-anak," ujar Citra.

Your browser doesn’t support HTML5

Mendongeng, Antara Terapi dan Menjaga Tradisi di Masa Pandemi

Cerita dongeng, katanya, bisa disesuaikan dengan kemampuan mendengar anak. Ketika perhatian atau fokusnya masih sangat pendek maka tak perlu mendongeng terlalu lama, cukup dua sampai tiga lembar halaman buku cerita. Namun, kalau anak sudah siap mendengarkan, durasi mendongeng bisa ditambah lagi.

Mendongeng bisa dilakukan orang tua sejak kehamilan hingga usia anak 8 tahun.

Sebagian riset menyebutkan usia emas atau golden age anak sekitar 0 hingga 5 tahun menjadi fase terpenting perkembangan kecerdasan otak anak. Mendongeng akan mendorong imajinasi, kemampuan mendengar dan berpikir, kemampuan berkomunikasi, mempertajam ingatan dan kemampuan sosial.
[ys/em]