Majelis Rakyat Papua: UU Pemekaran Papua Melanggar HAM Orang Papua

Ilustrasi - Protes penolakan pemekaran dan menuntut referendum juga digelar di Sorong, Papua, pada 10 Mei 2022. (Foto: PRP)

Majelis Rakyat Papua (MRP) menilai pengesahan Rancangan Undang-Undang pemekaran tiga provinsi baru atau Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua merupakan pelanggaran HAM terhadap orang asli Papua.

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib mengatakan pemerintahan Joko Widodo sedang mempertontonkan pengelolaan pemerintah yang buruk kepada masyarakat Papua dengan lolosnya Rancangan Undang-undang (RUU) Pemekaran Papua menjadi undang-undang.

Timotius berpendapat bahwa, RUU tersebut, yang lebih merupakan cerminan dari keinginan pemerintah pusat ketimbang warga Papua, tidak sejalan dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua di mana disebutkan bahwa masalah pemekaran provinsi dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPR Papua.

"Jadi pemekaran ini adalah konsekuensi perubahan UU yang terburu-buru, tanpa ada keterlibatan masyarakat Papua, sehingga saya pikir pengesahan RUU ini keinginan Jakarta, bukan keinginan papua," jelas Timotius dalam konferensi pers daring, pada Kamis (30/6).

BACA JUGA: Baru Disahkan, Masyarakat Papua akan Bawa UU Provinsi Pemekaran ke MK

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus juga mengatur bahwa pemekaran provinsi harus memperhatikan beberapa elemen seperti kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang.

Dalam perubahan yang baru, pemerintah pusat dan DPR RI juga dapat melakukan pemekaran provinsi untuk mempercepat pemerataan pembangunan, pelayanan publik, dan martabat orang asli Papua. Hal tersebut diatur dalam dalam Pasal 76 ayat 2 UU 2/2021 tentang Otonomi Khusus Papua.

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib (VOA)

Namun, Timotius menuturkan bahwa berdasarkan informasi yang ia dapat saat berdiskusi dengan pemerintah terkait pemekaran tiga provinsi baru di Papua, hal tersebut juga dilakukan untuk mempersempit ruang gerak Organisasi Papua Merdeka. Karena imbas dari pemekaran tersebut adalah hadirnya Komando Daerah Militer serta Kepolisian Daerah baru di Papua.

Ia mengkritik bahwa jaminan hukum untuk kesejahteraan masyarakat Papua justru tidak diatur secara jelas dalam undang-undang yang baru diloloskan tersebut sehingga ia merasa bahwa pemekaran wilayah ini merupakan bentuk pelanggaran HAM bagi orang asli Papua.

"Artinya ini bukan untuk kesejahteraan, tapi kepentingan bagaimana mendatangkan militer ke Papua. Sehingga ketika mengelola sumber daya alam tidak ada orang yang menganggu," tambahnya.

Sementara itu, pegiat kemanusiaan dari Gereja Kristan Injil (GKI) Tanah Papua, Pendeta Dora Balubun, mengatakan pemerintah tidak melibatkan masyarakat luas dalam pembentukan Undang-undang Pemekaran Provinsi Baru di Papua, melainkan hanya dengan sedikit kelompok elit di Papua.

Pendeta Dora Balubun. (VOA)

Ia khawatir pemekaran ini hanya akan menimbulkan konflik baru di Bumi Cendrawasih. Ia mencontohkan salah satu konflik yang sudah muncul yaitu keributan terkait penetapan ibu kota Papua Tengah antara Nabire dengan Timika.

"Pemekaran ini menjadi konflik lagi, menjadi roh pemecah bagi orang Papua dan masyarakat adat. Artinya banyak pihak berkepentingan dan berkonflik sendiri. Kasihan rakyat menonton situasi ini," tutur Dora Balubun.

Dora juga menjelaskan pemerintah pusat belum memberi penjelasan soal komposisi orang asli Papua yang akan mengisi pekerjaan di tiga provinsi yang baru. Karena itu, ia mengimbau semua orang asli Papua untuk bersatu membahas persoalan ini agar tidak menimbulkan persoalan baru di tanah Papua.

Mendagri: Pengesahan RUU Pemekaran Papua Demi Kemajuan Pembangunan Papua

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian(Foto: Screengrab)

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian mengatakan penyusunan RUU Pemekaran Papua telah melalui proses panjang, termasuk menjaring aspirasi masyarakat. Sebelumnya, RUU Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Provinsi Papua Pegunungan disahkan menjadi Undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (30/6/2022).

"Kita harapkan semua pihak dapat menerima ini demi kemajuan pembangunan Papua," kata Tito melalui keterangan tertulis, Kamis (30/6/2022).

Tito menyebut RUU ini dibuat dengan semangat pembangunan untuk menyejahterakan masyarakat terutama Orang Asli Papua (OAP). Ia berharap semua pihak menerima aturan baru tersebut dan mendukung upaya percepatan pembangunan Papua.

"Kita harapkan dengan pemekaran ini, birokrasi menjadi lebih pendek, pelayanan masyarakat akan lebih baik, yang penting tadi, pembangunan lebih cepat," tambah Tito. [sm/rs]