Luhut Bantah Ada Perang Bintang di Kabinet, "Hanya Beda Pendapat"

Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan membantah adanya "perang bintang" di kabinet dalam wawancara khusus dengan VOA di KBRI Washington DC Rabu (11/10). (Courtesy: KBRI)

Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan membantah adanya "perang bintang" di antara para jenderal di dalam kabinet dan menyebutnya hanya sebagai "beda pendapat".

Luhut Binsar Panjaitan menyatakan hal ini dalam wawancara khusus VOA di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC Rabu pagi (11/10).

"Sebenarnya tidak konflik, hanya beda pendapat. Itulah demokrasi. Tetapi begitu presiden mengatakan para pembantunya tidak boleh bersilang pendapat di ruang publik, saya kira sekarang diam juga. Ini menunjukkan bahwa presiden punya “say” [wewenang-red] yang kuat bahwa "I’m in charge".

Ketika ditanya apakah presiden bicara secara terbuka tentang hal ini, Luhut mengiyakan. "Presiden bicara di kabinet, di hadapan para menteri, panglima, jaksa agung, kapolri, semua lah itu. "Saya minta jangan lagi ada yang berpolemik di luar," kata presiden," tambah Luhut.

Beberapa Jenderal Silang Pendapat dalam Sejumlah Isu

Beberapa bulan terakhir ini perbedaan pendapat yang tajam di kalangan para pembantu presiden, baik antara Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan Menkopolhukam Wiranto, maupun Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan Kapolri Tito Karnavian; menjadi perhatian khalayak ramai. Mulai dari soal adanya indikasi upaya makar, isu pengadaan senjata secara illegal, usul nonton film G30S/PKI, hingga audit alutsista dan aset Kementerian Pertahanan oleh BPK dan lain-lain.

Presiden Jokowi pada peringatan ulang tahun TNI yang ke-72 tahun, 5 Oktober 2017.

Meski Ada Perbedaan Pendapat, Tingkat Kepercayaan Publik Tetap Tinggi

Perbedaan pendapat itu menjadi sorotan banyak pihak di dalam dan luar negeri, meskipun sebagaimana pernyataan Luhut Binsar Panjaitan, hal itu tidak menimbulkan pengaruh terhadap tingkat kepercayaan publik pada pemerintah.

"Tadi saya baca survei yang baru keluar, Indikator dan SMRC, tingkat kepercayaan publik Presiden Joko Widodo sangat tinggi. Kalau saya tidak keliru 72% dan menurut saya ini pencapaian yang bagus. Memang tetap ada seruan agar harga pangan bisa dipelihara supaya tetap terjangkau, bantuan untuk rakyat kecil dll. Yang ada sebenarnya sudah memadai, tapi belum cukup efektif sampai ke bawah. Misalnya Dana Desa, Kartu Sehat, dan banyak macam lagi. Angkanya juga sudah ratusan triliun. Jadi saya pikir cukup bagus karena dulu kurang dilakukan dengan baik."

Your browser doesn’t support HTML5

Luhut Bantah Ada Perang Bintang di Kabinet, "Hanya Beda Pendapat"

SMRC & Indikator: Tingkat Kepercayaan Publik pada Jokowi Capai 68%

Menurut survei yang dilakukan Saiful Mujani Research & Consulting SMRC pada tanggal 3-10 September lalu, tingkat kepuasan publik atas kinerja Jokowi menguat dan stabil di kisaran 68%. Hasil yang kurang lebih sama juga disampaikan lembaga survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis hari Rabu (11/10), yang menunjukkan tingkat kepuasan publik mencapai 68,3%. Menurut kedua lembaga survei itu, hal-hal yang mendorong menguatnya kepercayaan publik adalah membaiknya kondisi politik, penegakan hukum, keamanan dan ketertiban.

"Menurut pikiran saya, jika beliau terpilih untuk periode kedua maka pembangunan kita akan jauh lebih cepat, lebih tegas dan lebih baik dari yang sekarang ini. Karena sepanjang yang saya ingat, sejauh saya pernah terlibat dalam pemerintahan, ini baru yang paling jelas arahnya, paling konsisten atas keputusan dan berani mengambil keputusan. Dan didukung publik pula."

IMF Nilai Reformasi Ekonomi Indonesia Mengesankan

Sebelumnya dalam "World Economic Outlook 2017" yang dikeluarkan IMF hari Selasa (10/10), Indonesia dinilai telah melakukan reformasi ekonomi yang mengesankan. Namun Ketua Ekonom Maurice Obstfeld kepada VOA mengatakan masih banyak hal yang harus dilakukan Indonesia.

"Para pengambil kebijakan ekonomi harus terus melakukan reformasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Menurut saya ini memang beresiko, tetapi ini merupakan kesempatan yang unik dan belum pernah kita alami dalam sepuluh tahun terakhir ini di mana ada pertumbuhan ekonomi yang sangat kuat, termasuk di Indonesia. Indonesia telah membuat reformasi ekonomi yang sangat mengesankan, tetapi masih banyak yang harus dilakukan. Yaitu dalam hal memperluas jaring pengaman sosial, meningkatkan pendapatan pemerintah, dan menyesuaikan dengan turunnya harga komoditas dunia. Kini saatnya membuat keputusan yang sulit. Jangan menunggu hingga datang krisis baru," jelas Maurice.

Maurice Obstfeld, Ketua Ekonom IMF.

Luhut Binsar membenarkan hal ini. Ia mengatakan, "Saya kira untuk tiga tahun, pencapaian saat ini sudah cukup melegakan. Tapi saya melihat setelah lima tahun, mudah-mudahan Presiden Jokowi terpilih second term, program-program infrastruktur sudah mulai membuahkan hasil. Transportation cost jadi turun dan menurunkan juga tingkat inefesiensi. Salah satu masalah utama di Indonesia adalah inefesiensi. Yang kedua, akibat inefesiensi itu maka transportation cost juga tinggi. Jika ini bisa diperbaiki bersamaan dengan perbaikan produksi pangan, beras, garam, gula ikan, daging, maka akan menurunkan inflasi hingga 3%, karena ini yang menyebabkan inflasi tinggi."

Luhut Paparkan Soal Pencabutan Moratorium Pembangunan Reklamasi Teluk Jakarta

Dalam wawancara selama 30 menit di sela-sela Pertemuan Tahunan Dewan Gubernur Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional IMF itu, Luhut Binsar Panjaitan juga menjelaskan tentang keputusan mencabut moratorium pembangunan reklamasi Teluk Jakarta pekan lalu yang memicu kontroversi baru, dampak kebijakan “America First” terhadap Indonesia dan kesiapan Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan tahunan Bank Dunia dan IMF tahun depan. [em/al]

Luhut Binsar Panjaitan/Menko Kemaritiman akui masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Indonesia untuk memulihkan perekonomian. (Courtesy: KBRI)