LSM: Moratorium Pengiriman TKI Berisiko Marakkan Penyelundupan Manusia

Seorang TKI yang akan berangkat ke Timur Tengah memegang paspor dan dokumen-dokumennya di kantor keimigrasian Tangerang, Banten.

Usulan untuk menghentikan pengiriman tenaga kerja ke Timur Tengah, bila terwujud hanya akan mendorong perempuan yang ingin melarikan diri dari kemiskinan untuk bekerja di luar negeri secara ilegal, dan menjerumuskan mereka pada risiko lebih besar, ujar seorang aktivis HAM, Rabu (17/6).

Presiden Joko Widodo mengumumkan bulan lalu bahwa pemerintah mempertimbangkan moratorium pengiriman TKI ke 21 negara Timur Tengah setelah Arab Saudi mengeksekusi dua TKI.

Eni Lestari, kepala International Migrants Alliance yang beranggotakan 120 organisasi, mengatakan pemerintah tidak dapat melarang warga negaranya untuk mencari pekerjaan di luar negeri bila pemerintah tidak dapat berbuat lebih banyak untuk memberantas kemiskinan.

"Moratorium ini akan menempatkan perempuan dalam posisi lebih rentan karena mereka akan berangkat ke luar negeri bagaimanapun juga," ujar Eni kepada Thomson Reuters Foundation.

"Ini bukan soal perlindungan terhadap pekerja migran - sebaliknya, ini akan meningkatkan risiko mereka menjadi diselundupkan sebagai imigran ilegal dan mereka tidak akan dapat perlindungan di dalam negeri maupun di negara-negara tujuan mereka," katanya.

Lestari berbicara di sela-sela Trust Forum Asia, sebuah konferensi yang digelar salah satunya oleh Thomson Reuters Foundation yang membahas upaya-upaya mengatasi perbudakan di masa modern.

Eni Lestari (berdiri paling kanan) bersama rekan-rekan aktivis lain saat memperjuangkan hak pekerja migran untuk mendapatkan izin tinggal tetap di Hong Kong, tahun 2012 lalu.

Saat ini terdapat 53 juta pekerja domestik alias asisten rumah tangga (ART) di seluruh dunia, lebih dari 80 persen di antaranya adalah perempuan, menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO).

ART termasuk salah satu golongan pekerja yang paling sering menjadi korban eksploitasi. ILO memperkirakan bahwa rumah tangga menghemat $6 miliar per tahun dengan tidak membayar ataupun membayar pekerja domestik dengan upah rendah.


Ketidaksetaraan, korupsi

Diperkirakan terdapat 600.000 TKI yang bekerja di Timur Tengah, kebanyakan sebagai ART.

Usulan moratorium, yang rencananya akan dimulai tahun ini juga, akan berdampak pada Arab Saudi - salah satu tujuan utama bagi ART asal Indonesia - Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Mesir dan sejumlah negara Timur Tengah lainnya.

Walaupun Indonesia sejak 1999 sukses memangkas tingkat kemiskinan hingga tinggal setengahnya, masih ada 28 juta penduduk Indonesia yang tinggal di bawah garis kemiskinan.

"Tanpa adanya peningkatan upaya untuk mengatasi kemiskinan, ketidaksetaraan dan korupsi di dalam negeri, orang akan terpaksa meninggalkan Indonesia karena tidak dapat mencari nafkah yang layak di negeri sendiri," kata Eni Lestari, yang adalah seorang mantan TKI.

Praktek pemberian izin oleh pemerintah terhadap agen-agen swasta untuk mengelola "ekspor pekerja migran" telah mengakibatkan eksploitasi dan penganiyaan dalam skala memprihatinkan, tambahnya. Eni mengatakan sebelum ia datang ke Hong Kong sebagai TKI 15 tahun lalu, ia mendapat pelatihan selama beberapa bulan untuk memasak, mengasuh bayi dan berbicara bahasa Kanton untuk keperluan komunikasi sehari-hari.

Walaupun begitu, kebanyakan pekerja tidak menerima pelatihan maupun informasi yang cukup untuk mempersiapkan mereka menghadapi kehidupan yang baru di luar negeri, katanya. "Tidak ada pelatihan ataupun pengarahan mengenai hak-hak apa yang mereka miliki secara hukum sebagai pekerja migran, tidak ada nasihat apa yang harus mereka lakukan jika dianiaya, hanya diberitahu untuk, 'menghubungi agen Anda.' Tapi agen-agen ini seringkali juga menganiaya para pekerja mereka," kata Eni Lestari.

Moratarium yang pernah diberlakukan di Indonesia dan beberapa negara lainnya, seperti Malaysia, tidak berhasil mengurangi penganiayaan terhadap ART, menurut temuan yang dikumpulkan oleh lembaga-lembaga advokasi. Jika negara-negara ini ingin mencapai perbaikan yang nyata, mereka seharusnya membuat perundang-undangan yang dapat menjamin kontrak kerja bagi pekerja migran untuk menghindari penyalahgunaan oleh agen-agen tenaga kerja dan para majikan.