Laporan Kebebasan Beragama Soroti Intoleransi di Indonesia

Seorang pengunjuk rasa mengacungkan poster dalam demonstrasi menuntut agar Gubernur Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok ditangkap karena dinilai menista agama Islam, di Jakarta, 2 Desember 2016.

Departemen Luar Negeri Amerika, Selasa (29/5), mengeluarkan Laporan Tahunan Kebebasan Beragama yang menyoroti pencapaian dan sekaligus kemunduran kondisi kebebasan beragama di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Vonis terhadap Ahok, pemberlakuan syariah Islam di beberapa daerah dan keberadaan organisasi massa radikal menjadi sorotan.

Diantara ratusan lembar Laporan Tahunan Kebebasan Beragama yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri Amerika di Washington DC, ada 14 halaman yang khusus menyoroti Indonesia.

Beberapa sorotan utama, antara lain tentang vonis dua tahun penjara terhadap mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang dinilai bersalah melakukan penistaan agama Islam, vonis antara 3-5 tahun penjara terhadap tiga pemimpin senior kelompok Gafatar yang juga dinilai telah menista Islam, dan pemberlakukan hukuman cambuk di hadapan publik di Aceh sebagai penerapan hukum Syariah.

Laporan itu juga menyorot pembatasan kelompok Ahmadiah dan Syiah yang berlanjut dengan pengusiran paksa, diskriminasi dan pengrusakan tempat-tempat ibadah mereka.

Keberadaan kelompok-kelompok yang disebut sebagai “kelompok intoleran” seperti Front Pembela Islam FPI, Forum Umat Islam (FUI), Front Jihad Islam (FJI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan lain-lain juga disebut dalam laporan tersebut.

​Kebebasan Beragama di Indonesia Disorot

Ketua Indonesian Conference on Religion and Peace ICRP Dr. Musdah Mulia yang dihubungi VOA melalui telepon mengatakan tidak heran dengan luasnya sorotan terhadap Indonesia.

Menurut Musdah, laporan Departemen Luar Negeri AS senada dengan laporan tahunan ICRP.

. Tentara berjalan melewati masjid pengikut Ahmadiyah yang dibakar massa di Desa Ciampea, Jawa Barat, 2 Oktober 2010.

“Saya tidak kaget karena memang hal-hal yang disorot itu mencoreng nama baik Indonesia dan sayangnya terjadi di jaman pemerintahan Jokowi yang kita kenal telah berupaya keras melakukan reformasi di segala bidang,” kata Musdah.

“Tetapi memang tidak bisa dipungkiri ada elemen di dalam pemerintahan yang tidak konsisten memperjuangkan masalah HAM, termasuk kebebasan beragama,” kata dia menambahkan.

Reinterpretasi Ajaran Agama

Katib Am PBNU KH. Yahya Staquf menilai laporan yang memprihatinkan seperti ini sedianya makin mendorong perlunya merekontekstualisasi atau mereinterpretasi ajaran-ajaran agama.

Meski ada dukungan kuat untuk memperjuangkan agama, menurut Yahya, upaya itu selalu mendapat tantangan dari pihak Islam sendiri.

“Ada kelompok Islam yang maunya Islam saja. Ini terjadi sejak zaman Soekarno, dan hingga sekarang pergulatannya belum juga selesai,” kata Yahya.

“Oleh karena itu saya, dan bahkan almarhum Gus Dur dulu, selalu memperjuangkan rekontekstualisasi ajaran-ajaran Islam supaya lebih mengarah pada pengakuan pentingnya kebebasan beragama. Jika tidak direkontekstualisasi maka selamanya akan menjadi masalah,” papar Yahya.

Baca:Meski Ditentang, Shinta Nuriyah dan Komunitas Lintas Iman Yogyakarta Tak Surut Gelar Sahur Bersama

Ketika berbicara dengan VOA minggu lalu terkait pertemuannya dengan Wakil Presiden Amerika Mike Pence di Washington DC pada 24 Mei lalu, Yahya Staquf mencontohkan beberapa ajaran atau pemahaman yang perlu diredefinisi itu. Antara lain soal pemahaman bahwa orang kafir adalah musuh, atau perlunya membentuk kekhalifahan.

“Ada sebagian umat Islam yang tidak jujur melihat masalah. Ada elemen-elemen yang sampai sekarang masih dianggap sebagai ajaran agama, yang sebenarnya tidak sesuai lagi saat ini,” kata Yahya.

“Misalnya ajaran atau pemahaman bahwa orang kafir adalah musuh. Ini masih ada dalam mindset sebagian besar umat Islam dan ini harus diubah. Kita tidak bisa lagi hidup bermusuhan,” kata Yahya menjelaskan.

“Atau pemahaman bahwa umat Islam harus punya khalifah, ini ada dalam kitab-kitab klasik. Ini tidak bisa lagi dilakukan, sebagaimana yang diperjuangkan Hizbut Tahrir Indonesia HTI, karena jika dituruti maka risikonya adalah timbulnya kekacauan global.”

Warga mengikuti ibadah Minggu di tenda darurat dekat gereja yang dibakar di Desa Suka Makmur, Aceh Singkil, 18 Oktober 2015. Massa membakar gereja hingga mengakibatkan satu korban tewas dan beberapa terluka. Tak lama setelah pembakaran gereja, kelompok Islam setempat meminta pemda menutup 10 gereja. (Foto:dok)

Ilmuwan Prof. Dr. Komarudin Hidayat menilai hal ini terus berulang karena agama masih menjadi aset mobilisasi politik. Di Indonesia, menurut Komarudin, agama dan negara belum bisa dipisahkan.

“Maka siapa pun yang ingin meniti karir politik, maka ia akan memberi “gula-gula” kebijakan atau aturan agama yang menggiurkan pada umat beragama,” kata Komarudin. “Inilah model demokrasi di Indonesia, lain halnya dengan demokrasi yang ada di Amerika yang sudah terpisah sama sekali antara agama dan negara.”

Dr. Musdah Mulia menilai pragmatisme politik ini suatu hal yang berbahaya bagi kelangsungan NKRI dan demokrasi.

‘’Saya menyesalkan masih kentalnya pragmatisme politik untuk mengatasi isu-isu seperti kebebasan beragama. Termasuk menjadikan agama sebagai tawar menawar politik,” kata Musdah.

“Mungkin para tokoh menilai tidak perlu memperjuangkan hak kelompok minoritas misalnya karena berapa banyak sii suara mereka dalam pemilu. Sikap pragmatis seperti ini berbahaya bagi kelangsungan NKRI dan demokrasi di Indonesia,” ujar Musdah menegaskan.

Namun Katib Am PBNU KH. Yahya Staquf tetap optimis dengan kemampuan masyarakat sipil Indonesia melawan penyalahgunaan agama demi tujuan politik. Ia mencontohkan kasus Ahok.

“Ahok ini korban dari itu. Ada kelompok politik yang berkepentingan dalam persaingan politik dan secara sengaja menggunakan Islam sebagai senjata. Ini memang berbahaya,” kata Yahya. “Tetapi yakin lah selama ini pun kebhinekaan, keberagaman dll selalu menang.”

“Kasus Ahok membuktikan bahwa kita berhasil mengalahkan kelompok-kelompok garis keras ini kok, karena pada akhirnya mereka tidak mampu mengembangkan konsolidasi lebih lanjut karena manuver-manuver berbagai pihak untuk melawan mereka. Kita bisa lihat bagaimana kekuatan kelompok garis keras justru menurun, mereka tidak bisa konsolidasi lebih lanjut. Tetapi jika tidak dilakukan upaya berskala global untuk mengatasi yang seperti ini, maka akan terus muncul.”

Seorang pengikut Ahmadiyah memperlihatkan Alquran yang terbakar di Ciampea, Jawa Barat, 2 Oktober 2010.

Kongres Ulama Perempuan Indonesia Disorot

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama yang dikeluarkan Menteri Luar Negeri Amerika Mike Pompeo bersama Duta Besar Luar Biasa Untuk Isu Kebebasan Beragama Internasional Sam Brownback pada Selasa (29/5), juga memuji munculnya suara-suara lain dalam memperjuangkan kebebasan beragama dan isu yang terkait dengannya.

Antara lain Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang dilangsungkan April 2016.KUPI menghasilkan sejumlah fatwa penting, antara lain kriminalisasi perkosaan dalam pernikahan dan menaikkan batas usia kawin bagi perempuan dari 16 menjadi 18 tahun untuk mengatasi tingginya tingkat pernikahan anak.

Baca: Bulan Suci Ramadan, Jokowi Ajak Umat Islam Jaga Persaudaraan dan Toleransi

Prof. Dr. Komarudin Hidayat mengatakan meski tampak ada pembatasan, peran perempuan di Indonesia memang jauh lebih maju dibanding di negara lain.

“Peran perempuan di Indonesia jauh lebih maju dibanding di Timur Tengah dan bahkan Barat, hanya prakteknya bertahap,” kata Komarudin.

Dr. Musdah Mulia menilai tetap perlu dukungan negara untuk mendorong peningkatan peran dan suara perempuan.

‘’Masih perlu ada dukungan realisasi lebih lanjut karena meskipun kita sudah berjuang, kita butuh dukungan yang lebih besar dari negara. Banyak langkah positif yang dilakukan masyarakat sipil yang kurang didukung negara,” kata Musdah menambahkan.

Pertemuan Kebebasan Beragama

Ketika menyampaikan Laporan Tahunan Kebebasan Beragama ini, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo menegaskan “di mana ada serangan terhadap kebebasan fundamental agama, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan pers dan kebebasan berkumpul secara damai; akan ditemukan konflik, ketidakstabilan dan terorisme. Di sisi lain, pemerintah dan masyarakat yang menjunjung tinggi kebebasan ini, berada dalam kondisi yang lebih aman, stabil dan damai.”

Lebih jauh disampaikannya bahwa mengingat kebebasan beragama merupakan prioritas pemerintahan Trump, Departemen Luar Negeri akan mengadakan pertemuan tingkat menteri pada 25-26 Juli mendatang untuk memajukan kebebasan beragama, dengan mengundang diplomat-diplomat asing dari “negara-negara, perwakilan organisasi internasional, komunitas agama, dan masyarakat sipil yang berpandangan sama untuk menegaskan kembali komitmen kita pada kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia yang universal.” [em]